Happy Reading
--------------------
Hampir saja bibir mereka bersentuhan tatkala Ruby terperanjat oleh dering ponsel dari saku celananya. Memisahkan kedua, memberi jarak di antara mereka.
Ruby merogoh ponsel dari saku celana. Kalimaya menelpon, ia menolak panggilan itu.
"Kak, aku pulang, ya," pamit Ruby.
Topaz meraih lengan Ruby untuk kemudian ia peluk. "Hati-hati di jalan." ucapnya, melepas Ruby untuk pulang ke rumahnya.
****
Safir bermain dengan bayi kecilnya di atas ranjang, bayi menggemaskan menggerak-gerakkan bola mata indahnya mengikuti gerakan Safir yang menggeleng ke kiri kanan.
"Oohh lucu banget sih putri Papi." Ia menoel-noel pipi chubby bayi berumur satu bulan itu.
Safir menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan kemudian berujar, "cilukba …, cilukba…," ucapnya berulang-ulang.
Suara ketukan pintu di luar kamar menginterupsi Safir bermain dengan putrinya.
"Masuk," sahut Safir menoleh ke pintu.
Amber membuka pintu dan menyembulkan nya masuk ke dalam kamar, "Safir, ayah mertuamu datang." katanya.
Kening Safir berkerut tebal dan berpikir, untuk apa ayah mertuanya berkunjung di malam hari.
"Sendirian?" tanya Safir.
"Iya, dia datang sendiri." Amber masuk dan menutup pintu kemudian menghampiri Safir di tempat tidur. "Sudah sana temui, Kristal biar Mama yang temani."
Safir mencium kepala putrinya, "aku ajak Kristal ketemu Opanya, Ma." ucapnya, turun dari tempat tidur. Ia pelan mengangkat tubuh kecil Kristal dan membawanya turun ke lantai bawah.
"Malam ayah," sapa Safir, ia menghampiri Gemma yang tengah duduk sendirian di ruang tamu.
"Malam, menantu." Gemma berdiri.
"Sayang, ada Opa. Kamu di gendong Opa bentar," ucap Safir pada bayinya, seolah bayi kecil itu mengerti perkataannya.
Gemma menerima Kristal dari tangan menantu. "Cucu Opa … lucunya." Gemma menimang cucu pertamanya. Mendecak-decakkan mulutnya, kemudian mencium rambut Kristal yang hitam tebal.
"Ibu nggak ikut, Ayah?" tanya Safir.
Gemma duduk di sofa. "Nggak, aku datang sendirian. Bagaimana kabarmu?"
"Puji syukur sehat."
Tidak lama kemudian Amber datang membawakan kopi di atas baki.
Meletakkan satu untuk Gemma dan satu untuk Safir. "Silakan diminum besan," ucapnya ramah.
"Aduh jadi repot, terima kasih." Gemma menyerahkan Kristal pada Amber.
"Hanya segelas kopi, Besan. Saya justru merasa tidak enak hati." ucap Amber, menerima cucunya dari tangan Gemma.
Gemma terkekeh," kita sudah lama menjadi keluarga. Hal seperti ini tidak perlu dipikirkan." Gemma mengambil gelas kopinya lalu menyeruputnya.
"Kedatangan ayah kesini untuk bicara empat mata denganmu, Nak."Gemma meletakkan gelas kopinya di atas meja.
Sementara Gemma melihat ke arah ibunya. "Tidak masalah jika Besan juga mendengarnya." tambah Gemma.
"Ah, kalian bicara aja dulu, nanti aku menyusul. Mama antar Kristal ke kamar." ucap Amber, meninggalkan ruangan membawa cucunya naik ke lantai atas.
"Bicara apa, ayah?" Safir melihat ayah mertuanya.
"Ini tentang wasiat istrimu." ujar Gemma, seraya membawa tangan mengusap belakang lehernya.
Safir tersenyum tipis, masalah ini yang membawa Gemma ke rumahnya, di malam hari. Astaga.
'Apa masalah ini sekarang mendesak? '
"Bagaimana pendapatmu mengenai ini?" tanya Gemma, membangunkan Safir yang sempat terpaku di tempatnya.
"Oh …" Safir gugup, ia membawa tangan menggaruk poni rambutnya. "A-ayah, a-aku …" Safir gugup dan bingung harus bicara apa.
"Walaupun kau menolak keinginan mendiang istrimu. Kau tetaplah menantu di rumah kami, tidak ada yang merubah itu. Kendati demikian ayah dan Ibu mertuamu memiliki sedikit harapan kau membuka hatimu untuk keinginan Intan," ucap Gemma, wajahnya penuh harap.
Sesaat Safir membisu dan sibuk dalam pikirannya sebelum kemudian ia berujar. "Ruby masih terlalu kecil untuk berkeluarga ayah, aku takut dia belum siap." Safir mengutarakan pendapatnya.
"Kalau masalah Ruby, kau tidak perlu khawatir. Kami akan bicara dengannya. Jika kamu setuju dengan permintaan istrimu. Maka kita rencanakan pernikahan ini secepatnya." ucap Gemma.
"Aku minta waktu untuk mengambil keputusan, ayah."
"Benar, pikirkan baik-baik, Nak. Ini demi Kristal." ucap Gemma.
*
Seperginya Gemma, Safir duduk termenung di sofa itu. Memikirkan keputusan apa yang harus ia lakukan. Decakan kecil terdengar dari mulutnya. Ia menyugar rambut ke belakang sedikit kasar.
"Menikah dengan Ruby, Ya Tuhan, yang ada aku stres mengurus tuh anak." Safir merutuk dirinya yang begitu sulit mengatakan 'tidak' untuk permintaan Intan yang didukung oleh kedua mertuanya.
"Aku setuju Safir kau menikah dengan Ruby. Adik istrimu gadis baik kok." ucap Amber.
Wanita itu tiba-tiba saja ada di tempat itu. Tadi, ia sedikit mencuri pembicaraan Safir dengan Gemma dari ruang santai setelah menidurkan Kristal.
"Ruby memang orang baik Ma, tapi untuk jadi istri aku yakin dia itu belum siap. Lagipula Safir juga tidak ada niatan nikah." sergahnya.
"Dia atau kamu yang belum siap? Toh, ini keinginan mendiang istrimu. Kau ingin mengabaikannya? Silahkan." Amber mengambil gelas-gelas kosong dari meja dan meletakkan di atas nampan.
"Terkadang mengabaikan wasiat orang meninggal itu bisa jadi satu kesialan loh," Amber mencoba memprovokasi putranya.
Safir melirik Ibunya, kemudian berdecak mencemooh ucapan Ibunya. Ia bersandar pada sandaran sofa sembari memasang wajah malas.
***
Kalimaya sudah bersiap di lantai bawah. Malam ini mereka mengajak Ruby makan malam di luar.
Ruby turun dari lantai atas, ia mengenakan kaos oversized dipadukan dengan hotpant, rambutnya diikat ekor kuda hingga wajah kecilnya terlihat manis.
"Ruby, kenapa pakai celana itu sih? Kau semakin terlihat kekanak-kanakan." Kalimaya resah, sebenarnya ia sering melihat putrinya mengenakan celana pendek tapi, untuk kali ini 'tolong' jangan.
"Memangnya kenapa sih, Ma?"
"Kita makan di restoran sayang,"
"Terus … Ruby harus mengenakan gaun gitu? Males." Ruby memasang wajah cemberut.
"Sudah, ah. Ruby susah dibilangin, ayo Papa sudah nunggu di mobil." Kalimaya mendahului Ruby menuju pintu.
"Tumben ajak makan di luar, Pa?" tanya Ruby seraya memainkan ponselnya. Ia duduk di belakang jok pengemudi. Sementara Kalimaya duduk di samping suaminya.
"Kita sudah lama tidak makan di luar, Manja." jawab Gemma melirik sebentar putrinya dari kaca spion depan lalu kembali fokus.
Ruby bertukar pesan dengan Topaz, pria itu belajar membiasakan diri menjadi anak yatim piatu.
[Kak, udah makan belom?] dikirim untuk my love.
[Belum By, sebentar lagi. Kamu gimana? Sudah makan?] balas Topaz.
[Ini lagi di perjalanan menuju Restoran. Papa ajak makan malam di luar.]
[Wah mantap, makan yang banyak, ya.]
[Kak Topaz juga jangan lupa makan.]
[Oke sayang].
Ruby tersenyum membaca pesan Topaz, di akhir kata pemuda itu tidak lupa menyisipkan emoticon kiss.
Setibanya di Restoran mereka diantarkan pelayan ke ruang VIP.
"Wedeh …, sepertinya malam ini makan malam spesial, kita sampe masuk ruang VIP." ujar Ruby dengan riang, mengikuti langkah kedua orang tuanya menuju ruang VIP.
"Pasti dong sayang,"
"Perayaan apa sih, Ma? Ulang tahun Mama masih jauh, Papa juga apalagi Ruby,"
"Ini bukan perayaan apa-apa sayang," balas Kalimaya.
Ruby mengedikkan kedua bahunya. Tidak peduli apapun hari ini yang penting ia akan mengisi perutnya dengan hidangan enak.
"Silahkan masuk, pak." ucap pelayan setelah menggeser pintu ruangan itu.
Gemma lebih dulu masuk lalu istrinya kemudian di susul Ruby. Ruby terpaku melihat Safir dan Amber berada di tempat itu juga.
Safir dan ibunya berdiri menyambut kedua mertuanya. "Selamat datang ayah, ibu, silahkan duduk." ucap Safir.
"Kalian sudah lama menunggu?" Kalimaya menyapa Amber dengan cipika-cipiki, seperti biasa mereka lakukan selama ini.
"Baru sepuluh menit," balas Amber.
"Ruby, kemari sayang. Kenapa malah diam disitu?" tanya Kalimaya ketika melihat putrinya mematung di depan pintu ruangan. Menarik perhatian semua orang padanya.
Bibir Ruby berkedut seketika wajahnya pias. Menyerat langkah menghampiri meja makan. Memikirkan apa maksud dari makan malam ini.
"Malam, tante." sapanya lirih.
"Malam sayang, duduklah." Amber menyerahkan posisi tempat duduknya untuk Ruby tepat disamping putranya sementara dirinya berpindah tempat duduk di kepala meja.
Ruby duduk dengan rasa canggung dan menoleh kecil pada pria di sampingnya. Safir tampak serius mendengarkan Gemma cerita mengenai perjalanan mereka ke tempat itu.
"Bagaimana kalau kita makan dulu? Jam makan malam kita sepertinya sudah terlambat nih," Amber melihat kedua besannya bergantian, mengusulkan pendapatnya setelah memeriksa jam tangan yang melingkar apik di pergelangan tangannya.
"Iya benar, kita makan dulu." Safir menimpali seraya menekan sebuah tombol untuk memanggil layanan pelayan di bawah mejanya.
"Apa kabar Ruby?" tanya Amber sembari menunggu pelayan tiba membawakan makan malam yang sebelumnya sudah di pesan Safir saat melakukan reservasi tempat privasi itu.
"Baik, tante." balas Ruby mengulas senyum kecil dan tanpa sengaja bertemu pandang dengan Safir, wajah itu sontak tambah muram.
"Syukurlah, kau semakin cantik." Puji Amber.
Ruby tersenyum simpul.
"Ruby ini Besan, kalau niat dandan mah cantik. Cuma ya itu kita nggak tau kapan niat itu datang. Orangnya urakan dan pemalas." kata Kalimaya.
Ruby tersenyum kecut. Astaga dia menjelek-jelekkan putrinya sendiri. gumam Ruby dalam hati.
Tiga orang pelayan membawakan pesanan mereka diatas meja dorong. Menyapa dengan ramah, kemudian menyajikan makanan diatas meja.
"Pesanannya sudah semua, jika ada yang masih kurang. Ibu bapak bisa menekan tombol yang tersedia di bawah meja. Kami akan segera datang." Imbuh pelayan.
"Terima kasih," balas Safir.
"Selamat menikmati," ketiga pelayan membawa meja dorong keluar ruangan itu.
Amber memperhatikan menu makan mereka, kemudian dengan wajah berbinar ia mempersilahkan semua orang di meja makan untuk menikmatinya.
"Selamat menikmati." ucap Amber.
Makan malam mereka cukup hening, tidak ada percakapan antara mereka. Hanya suara dentingan garpu dan sendok yang saling beradu di atas piring. Terutama dari piring Ruby. Gadis itu terlihat payah memotong daging di atas piringnya.
Safir mendorong pelan piring miliknya maju ke depan kemudian menarik piring Ruby, sontak mengejutkan gadis itu.
Safir memotong-motong daging di atas piring Ruby untuk memudahkan Ruby memakannya, kemudian mengembalikannya kepada Ruby.
Perhatian kecil yang dilakukan Safir tidak luput dari pandangan Ibu dan kedua mertuanya. Membuat senyum terbit di bibir masing-masing dan berpura-pura tidak melihatnya.
Ruby tidak mengatakan apapun. Seperti kata terima kasih. Safir biasa melakukan itu untuknya kala mereka makan bersama dengan mendiang kakaknya. Safir tahu Ruby bukan gadis yang elegan seperti Intan. Adik iparnya ini selain manja tidak banyak bakat selain malas.
Setelah makan malam berakhir, tibalah mereka pada inti dari pertemuan itu.
"Seperti yang sudah kita bicarakan lewat telepon, Besan. Putra saya setuju menikahi Ruby sebagai ibu sambung cucu kalian." Amber memulai obrolan.
Ruby memuncratkan isi mulutnya yang belum sempat ia telan, terkejut mendengar ucapan Amber. Semua orang di meja makan melihatnya.
"Ruby, hati-hati dong sayang." Kalimaya menyerahkan tisu pada putrinya.
Di tempat itu, hanya Ruby yang terkejut dan terlihat bodoh, menoleh cepat pada Safir dengan raut wajah tidak percaya, Safir membalas tatapan Ruby dengan senyum simpul.
"Bagaimana denganmu Ruby? Kau setuju, kan?" tanya Amber meminta pendapat Ruby.
Ruby gelagapan, tidak siap dengan pertanyaan itu. Melihat kedua orang tuanya secara bergantian. Berharap Gemma atau Ibunya membantunya untuk menyatakan penolakannya. namun, itu sebuah kesia-siaan karena detik berikutnya Gemma berujar dengan yakin.
"Ruby pasti setuju menggantikan kakaknya menjadi Ibu untuk Kristal."
"Ruby?" tanya Amber ingin mendengar kesediaan gadis itu.
"Saya minta waktu untuk berpikir, tante," lirihnya, kemudian menundukkan kepala dengan perasaan kecewa.
"Tidak apa-apa, pikirkan dengan baik. Sampaikan pada Safir jika kamu setuju menjadi ibu sambung keponakanmu." ujar Amber. Tatapannya hangat menatap Ruby yang menunduk.
"Benar, By. Kakak tunggu jawabanmu, tidak ada paksaan disini sekalipun ini permintaan Intan." ucap Safir.
Ruby menoleh malas pada kakak iparnya itu.
***
"Pokoknya Ruby tidak mau menikah dengan kak Safir!" tegas Ruby begitu mereka tiba di rumah.
"Kenapa kamu nggak langsung nolak?" Kalimaya memungut sepatu dan kaos kaki putrinya yang sengaja ditinggalkan Ruby di depan pintu.
Ruby berbalik tubuh melihat Kalimaya, "ini tidak adil untuk Ruby Mama. Papa dan mama saja menikah karena cinta masa Ruby tidak? Ruby mau menikah dengan pria yang aku cintai dan mencintai Ruby." Ruby berujar sedih.
"Papa Mama setuju bukan semata-mata untuk Kristal, tapi untuk kebaikanmu juga." ucap Gemma.
"Kebaikan macam apa Papa? Yang ada kehidupan Ruby akan menyedihkan." Sahut Ruby, kedua manik matanya sudah berembun.
"Safir sudah menjadi keluarga kita lebih dari lima tahun, dia sangat baik. Memperlakukan Intan dengan baik."
"Itu karena mereka saling mencintai Papa!" Tukas Ruby menyela ucapan Gemma. Suaranya meninggi memenuhi ruang tamu itu. Gemma dan Kalimaya terpaku, untuk kali pertama melihat Ruby semarah itu.
Ruby menutup wajah dengan kedua telapak tangan kemudian menghentakkan tangannya kesal. berbalik berlari menaiki anak tangga satu persatu menuju kamar. Membanting pintu kamarnya.
Kalimaya dan Gemma masih terpaku di tempat, detik kemudian mereka saling melihat dan menghela nafas panjang.
"Kita tidak boleh melepaskan Safir. Dia seorang pria pasti butuh pendamping. Rencanakan sesuatu yang bisa membuat Ruby patuh." ujar Gemma berjalan menuju sofa.
"Rencana seperti apa? Aku takut Ruby semakin kesal." Kalimaya duduk di sofa panjang.
Gemma tampak memikirkan sesuatu, kemudian berpindah tempat ke sofa istrinya. Gemma berbisik di telinga Kalimaya.
"Ih jangan macam-macam, Pah." ujar Kalimaya.
"Dengan cara itu, Ruby nggak bakalan nolak." Gemma yakin dengan rencananya.
"Terserah Papa deh, mama ikut aja." Kalimaya menoleh ke arah lantai atas. Mencemaskan putrinya yang marah.
****
Ruby menunggu Topaz di bangku taman belakang kampus mereka. Topaz sudah mengirim pesan untuknya kalau ia terlambat datang ada urusan mendadak yang harus diselesaikan mengenai toko pakaian.
Satu jam setia menunggu di taman dan seperti biasa untuk membunuh rasa bosan Ruby memainkan game dalam ponselnya. Beberapa menit kemudian, dua telapak tangan besar menutup matanya dari belakang, ini kebiasaan Topaz.
"Topaz, jangan bercanda deh." ucap Ruby.
Topaz melepas tangan dari wajah Ruby. "Kau pasti bosan. Iya kan?" tanyanya, mengecup pipi imut, membuat kedua mata gadis itu membelalak. Topaz duduk di samping Ruby.
"Bosan sih tapi, mau gimana lagi? Pacar aku sekarang jadi orang sibuk." Goda Ruby mencebikkan bibir dan melipat kedua tangan di depan dαda.
"Bukan begitu sayang, aku harus meneruskan usaha toko pakaian Mama. Begitu caraku untuk bertahan hidup sekarang." Topaz mencubit pipi Ruby.
"Bang Emerald uda pulang?" tanya Ruby.
Emerald abang Topaz. Pria itu sudah berkeluarga dan tinggal di singapore bersama istrinya."
"Sabtu mereka akan pulang. Aku mau mengenalkan kamu dengan mereka."
"Kan, sudah kenal,"
"Beda By, kemarin mereka mengenalmu sebagai teman biasa. Kapan Ruby ada waktu?"
"Besok malam."
"Oke deh, nanti aku minta kakak ipar masak."
"Jangan sampai merepotkan, kak."
"Nggaklah. Tenang aja, justru mereka ingin kenal kamu lebih dekat." ujar Topaz, merapikan anak rambut Ruby yang dimainkan angin.
"Kata kamu mau mengatakan sesuatu. Apa?" tanya Topaz. Mengingat inti dari pertemuan mereka selain temu kangen.
"Aah, umm…" lagi-lagi Ruby kehilangan keberanian untuk bercerita tentang rencana perjodohannya dengan kakak iparnya.
"Napa, By?"
"Lain kali aja deh kak aku ceritanya. Sekarang belum siap."
Kedua alis topaz terangkat naik ke atas, "Apa sih By? Kakak sangat penasaran." ucapnya.
"Mmm Ruby akan cerita setelah makan malam nanti." lirih Ruby menatap kedua manik mata Topaz yang sedang menatapnya dengan tatapan penasaran.
"Ya sudah nggak apa-apa, kakak tunggu kamu cerita."
Topaz merasa lapar, ia ingat dari pagi dia belum makan. "Lapar By, kita ke kantin yo. Atau Ruby mau cari makan diluar?" tanya Topaz.
"Makan di kantin aja, kak." Ruby beranjak dari tempat duduknya. Mereka meninggalkan tempat itu dengan bergandengan tangan menuju kantin kampus.
****
Safir mendorong troli belanjaan sembari membalas pesan Ruby yang mengajaknya bertemu.
[ketemu dimana, By?]
Safir mengambil pampers bayi dan memasukkan ke troli. Ponselnya berdenting.
[Terserah kakak dimana]
Safir berdecak kecil.
Yang ajak ketemu siapa sih? Dia apa aku? Ah, si manja ini. Ia bergumam dalam benak. Kemudian mengirim balasan pesan Ruby.
[Kakak ada di Kokas datanglah. Kita ketemu di Sajva Coffee.]
Balas Safir seraya mendorong troli dan tidak sengaja menabrak seorang perempuan bertubuh semampai.
"Aoh, hei hati-hati dong." kesal perempuan itu.
Safir segera menghampiri untuk minta maaf. "Maaf, saya tidak sengaja, Mbak." ucap Safir penuh penyesalah.
"Lain kali perhatikan jalanmu, dunia ini sangat sempit." Perempuan itu mengibaskan bokongnya yang di cium ujung troli Safir tapi, detik kemudian ia memperhatikan wajah Safir dengan mata menyipit.
"Safir?" Perempuan semampai menatap lekat wajah safir.
"Mbak kenal saya?" Safir tampak bingung melihat perempuan berambut coklat di hadapannya.
"Berlian. Kau lupa denganku?" Perempuan itu menyebut namanya.
Safir mencoba mengingat.
"Well, kita memang sudah lama nggak ketemu. Tapi aku masih sangat mengenalmu. Pacar pertama." ujar Berlian, menyunggingkan senyum dari bibirnya yang seksi.
Safir menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menghentakkan kaki di lantai, setelah mengingat perempuan di hadapannya. Ia tidak percaya bisa lupa dengan perempuan ini.
"Oh my God! Erli?"
"Yes."
"Sorry, nggak langsung mengenalimu tadi." Safir mengulurkan tangan dan mereka berjabat tangan. "Hei, kita cari tempat duduk." Ajak Safir, meninggalkan troli belanjanya begitu saja.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Safir. setelah mereka duduk di kafe kopi tidak jauh dari tempat mereka bertemu.
"Aku baik dan kamu?"
"Seperti yang kamu lihat. Aah … seingatku kamu kuliah di Jerman. Benar, kan?" tanya Safir, memperhatikan wajah Berlian. Cantik dengan kulit putih. Bibir sensual dengan dagu lancip.
Perempuan ini cinta pertamanya saat duduk di bangku sekolah menengah atas. Cukup lama mereka tidak bertemu dan kini Berlian menjelma menjadi perempuan dewasa yang menarik.
"Mmm, aku baru dua minggu balik ke kota ini." Jawab Berlian, memperhatikan wajah Safir. Bibir tipis nan merah muda serta dua alis tebal yang membuatnya tampak seksi.
Sayangnya pria ini sudah menikah. Pikir Berlian.
"Jadi …, kau berhasil meraih cita-citamu itu?" tanya Safir. Dulu mereka berpisah karena Berlian memilih kuliah di Jerman untuk menjadi seorang pelukis terkenal.
Berlian mengedikkan kedua bahunya, "Begitulah,"
Safir mengangguk kecil.
"Bagaimana denganmu?" tanya Berlian seraya menyedot kopinya dengan sedotan.
"Aku ...dokter gigi," ucapnya. "kau sudah menikah?" tanya Safir.
Berlian memandang safir sebentar, kemudian tersenyum tipis. "Belum, masalah hati aku tidak seberuntung kamu." ucapnya, menunduk kecil.
Safir merogoh ponselnya ketika merasakan denting disana.
[Kakak ada dimana? Aku sudah di Sajva Coffee.] begitu isi pesan Ruby.
[Tunggu sebentar, aku akan kesana.] balas Safir, lalu meletakkan ponselnya di atas meja.
"Binimu?" tanya Berlian.
"Bukan, adik ipar saya." Safir menyeruput kopinya.
"Fir, mmm boleh aku minta nomor ponselmu?" tanya Berlian, menyodorkan sendiri ponselnya pada pria depannya.
Safir tidak keberatan, ia mengambil ponsel Berlian dan mengetik nomornya disana lalu menyerahkan pada Berlian.
"Erli, aku senang bertemu denganmu. Tapi, kayaknya kita harus berpisah deh, aku harus menemui adik iparku di lantai atas." ucap Safir.
"Oke, nggak apa-apa." Berlian turut beranjak dari tempat duduknya dan mereka sama-sama keluar dari kafe dan berpisah di depan pintu masuk kafe.
Ruby menopang dagu dengan siku tangan di atas meja. Menunggu Safir dengan bosan padahal baru berapa menit ia tiba di tempat itu. Sangat berbeda ketika menunggu Topaz, berjam-jam pun ia sanggup.
Safir mengetukkan jarinya di atas meja membangunkan Ruby dari lamunannya. "Maaf, kakak terlambat." ucap Safir, meletakkan satu cup cappucino untuk Ruby. Saat di depan pintu kafe, ia melihat meja Ruby kosong lantas ia ke kasir dan memesan satu untuk Ruby.
"Kakak ngapain disini?" tanya Ruby dengan raut kesal. Ia memperhatikan cappucino di depannya.
Safir mengernyit bingung, pertanyaan macam apa itu. "kan Ruby yang ajak kakak ketemu disini."
"Maksud Ruby, kakak ngapain di Mall ini?"
"Wah belum jadi istri aja kamu sudah protektif." Goda Safir.
"Dih, nggaklah."ketus, melipat lengan di depan dαda serta memalingkan muka.
Safir tersenyum, sikap Ruby mengingatkannya tentang Intan. Cara Intan dan Ruby ngambek nyaris sama. Hanya saja Ruby terlihat lebih menggemaskan. Mungkin karena Ruby memiliki wajah kecil dan mata bulat bak boneka.
"Minumlah, ini untukmu." ujar Safir ketika melihat Ruby menelan salivanya.
"Sengaja beli buat Ruby atau bekas minum kakak?"
"Astaga Ruby." Safir mengambil sedotan dan menusuk tutup cup cappucino, sebagai bukti kalau minuman itu belum di sentuh mulut Safir.
"Aku sengaja beli untukmu." ucap Safir menyakinkan Ruby.
Ruby segera menarik gelas dan menyedot isinya. Menyegarkan tenggorokan hingga isi perutnya.
"Jadi kita mau bahas apa?" tanya Safir.
Ruby mendengus, berdecak, kemudian menatap malas Safir.
"Aku nggak mau menikah dengan kakak." ucapnya tegas.
Safir mengangguk. "Alasannya?" tanya Safir.
"Ya intinya Ruby nggak mau. Memangnya harus ada alasan untuk itu."
Safir menarik napas panjang, "Kakak sudah bilang setuju menikahimu, Ruby. Kalau tiba-tiba aku menemui ayah dan ibu lalu bicara omong kosong yang ada mereka akan menganggapku mempermainkan keinginan Intan."
"Tidak apa-apa kak. Yang penting kita nggak nikah." Desak Ruby.
Safir menyugar rambutnya sembari menghela nafas panjang. "Kenapa bukan kamu saja yang menolak?" tanya Safir.
"Aku sudah menolak kak. Bahkan dari awal." Ruby meninggikan suaranya. Hingga beberapa mata pengunjung melihat ke arah mereka.
"Ruby punya pacar dan aku mencintainya."lirih Ruby, matanya bergerimis kemudian menunduk menyembunyikan dari Safir agar tidak terlihat cengeng.
Safir tahu itu. Ia diam dan memperhatikan Ruby. Hatinya terenyuh.
Egois, jika dia harus merenggut kebahagian gadis ini. Pun pernikahan macam apa yang akan ia jalankan jika Ruby meletakkan hatinya pada pria lain. Sementara dalam rumah tangga. Istri adalah jantung dalam keluarga.
"Bagaimana dengan cowok itu?"
"Bagaimana apanya?"
"Dia mencintaimu?"
"Umm, kami saling mencintai. Dia cowok baik-baik." jawab Ruby yakin.
Safir mengangguk, ia mengulurkan tangan menepuk puncak kepala Ruby.
"Ya udah, nanti kakak temui ayah dan membatalkan ucapanku malam itu." ucap Safir.
"Secepatnya kak, sebelum aku dikenalkan kak Topaz pada keluarganya."
"Kamu mau di kenalkan?"
"Iya." Ruby mengambil kopinya dan meminumnya. "kakak di mall ini ngapain?"
"Belanja keperluan Kristal."
"Bagaimana kabar Kristal? Ruby sudah lama nggak melihatnya."
Safir berdecak, " kau sengaja menjauhi kakak dan Kristal."
"Bukan begitu,"
"Lalu apa dong? Bahkan saat kristal dibaptis kau tidak datang, kau juga menatapku dengan tatapan marah. Apa aku melakukan kesalahan? Apa permintaan menikah itu berasal dari mulutku?" tanya Safir, bertopang dagu melihat wajah pias Ruby.
Ruby berdecak sebal," Ah sudalah, Ruby mau pulang. Males ditanya macem-macem." Ruby beranjak dari tempat duduknya. Ia mengambil capuccino miliknya.
"Ruby pulang kak, jangan lupa loh dengan ucapan kakak. Temui Papa." ucap Ruby mengingatkan kakak iparnya. "dan terima kasih kopinya." tambahnya dengan suara lirih, lalu meninggalkan Safir sendirian.
****
Malam ini Ruby tampak berbeda dari hari biasanya. Ia tampil cantik. Outfit yang ia kenakan kemeja dress berwarna putih yang dihias dengan scarf di bagian leher. Sementara untuk kaki ia mengenakan sneaker putih. Rambutnya digelung ke atas hingga wajah cantiknya terlihat semakin imut.
Ruby kini berada ditengah -tengah keluarga Topaz. Setelah makan malam mereka berjalan baik. Kini mereka duduk di sofa dalam ruang tamu. Melanjutkan obrolan-obrolan ringan. Seperti, Kapan dan dimana, pasangan itu bertemu dan Ruby menjawabnya dengan jujur.
Bayi Cempaka berusia lima bulan merengek di pangkuan Emerald, saat mereka berkumpul di ruang tamu. Emerald menyerahkan pada istrinya.
"Imut banget, kak." ujar Ruby, menyentuh pipi tembem bayi itu. "Berapa bulan ini?" tanya Ruby.
"Lima bulan, dia kuat nyusu jadi gemuk begini." ujar Cempaka.
"Pantesan. Aku juga baru punya ponakan, usianya satu bulan lebih."
"Oh iya?"
"Tapi dia sudah nggak punya Mama kak." Topaz menimpali.
Topaz dan Ruby saling tatap, Ruby tidak berharap Topaz menyinggung masalah itu di dalam keluarga itu.
"Ibunya kemana?" tanya Cempaka.
Topaz menggaruk tengkuknya, saat melihat wajah Ruby tampak tidak senang membahas masalah Intan.
"Meninggal saat lahiran, kak." lirih Topaz.
"Astaga, turut berduka cita, Ruby. Melahirkan memang taruhan nyawa." Cempaka melihat ke arah suaminya yang duduk di sofa single.
Ruby mengangguk.
"Yang meninggal kakak dari pihak Ruby?"
"Iya bang, kakak kandung Ruby." sahut Topaz menimpali.
"Kalian berapa orang bersaudara?" tanya Emerald lagi.
"Dua bang, sama kayak kita."
"Perasaan aku nggak nanya kamu deh, nyaut aja." ketus Emerald melempar kulit jeruk dan mengenai kepala adiknya yang duduk di karpet bulu.
Ruby dan Cempaka terkekeh.
"Kan mewakili." Sahut Topaz, melempar balik kulit jeruk kepada Emerald.
"Jadi Ruby anak satu-satunya sekarang?" tanya Emerald pada Ruby.
"Iya bang,"
Emerald mengangguk kecil.
"Sabtu kami akan pulang ke singapore, kami harap hubungan kalian berjalan dengan baik. Kami tunggu kabar rencana pernikahan kalian." ujar Emerald.
"Tapi, kalau boleh selesaikan dulu kuliahmu Topaz, iya kan sayang?" tanya Cempaka pada suaminya.
"Benar. Selesaikan kuliahmu dan cari pekerjaan bagus." ujar Emerald.
"Ruby baru masuk kuliah bang, tapi Topaz tahun ini selesai kuliah. Artinya aku bisa menikahi Ruby meskipun dia masih kuliah?"
"Ya itu terserah kalian. Kalau kamu mau menunggu nya sampai selesai kuliah ya tidak masalah. Kalau mau langsung nikah juga nggak apa-apa. Yang penting Ruby dan kamu siap membangun rumah tangga." ucap Emerald.
Topaz tersenyum ke arah Ruby, "aku akan menikahinya setelah Topaz dapat pekerjaan yang bagus. Aku akan mengambil alih tugas papanya untuk menjaganya." ucapnya.
"Holooh …"Cempaka melempar biji jeruk mengenai kepala Topaz. Kemudian melirik ke arah suaminya. "kau mirip seseorang. Persis." ucapnya pada Topaz. "Bicaranya manis, sangat manis sebelum menikah." Emerald terbahak, ia tahu istrinya menyinggungnya.
Setelah mereka selesai berbincang ringan di ruang tamu, Topaz membawa Ruby duduk-duduk di beranda rumah. Disana ada bangku panjang untuk mereka bersantai.
"By, kamu nggak buru-buru pulang, kan?" tanya Topaz, mengambil tangan Ruby dan menggenggamnya.
"Ini sudah jam berapa?"
"Delapan malam, mau langsung balik?"
"Jam sepuluh sudah harus tiba di rumah. Aku sudah janji sama Papa." ujar Ruby, menyandarkan kepala di bahu Topaz.
"Aku antar jam sembilan, ya?"
"Umm,"
"By, aku belum mengatakan ini padamu."
"Mengatakan apa?” tanya Ruby menjauhkan kepala dari lengan kekasihnya.
“Kamu cantik malam ini, dan aku suka.”
Ruby terkekeh, “lirik lagu.” ucapnya, kembali menyandarkan kepala di bahu Topaz dan memeluk lengan pacarnya itu dengan manja.
“Tapi memang benar kamu cantik malam ini,” ucap Topaz, mengelus tangan Ruby yang memeluk lengannya.
"By, waktu itu kamu bilang akan cerita sama aku masalah keluargamu yang kemarin. Masalah apa sih, By?" taya Topaz.
Ruby menarik kepalanya yang bersandar manja di bahu Topaz, menatap pria itu dengan tatapan lekat.
"Apa masalahnya besar?" tanya Topaz. Mimik wajah Ruby seketika berubah sendu.
"Kau akan terkejut mendengarnya," lirih Ruby, menunduk.
Topaz menaikkan dagu Ruby dengan jarinya. "siapa tau aku bisa bantu, setidaknya menghiburmu." ucap Topaz, menatap lekat wajah kekasihnya.
"Sebelum meninggal kak Intan memintaku …"Ruby menggantungkan ucapannya, jantungnya bertalu melihat wajah kekasih yang begitu lembut menatapnya.
"Minta apa?"
"Menikah dengan kak Safir." ucapnya lirih.
Suaranya nyaris tidak terdengar tapi, telinga Topaz sejak awal sudah waspada hingga lirihan itu begitu jelas menembus telinganya.
"Apa?" tanya Topaz, tidak percaya dengan apa yang didengar oleh telinganya.
"Kak Intan, memintaku menjadi ibu sambung Kristal." ucap Ruby dengan nada jelas. Menatap wajah Topaz yang terkejut.
"Lalu?" lirih Topaz.
"Aku menolak, tapi kedua orang tuaku setuju."
Topaz tersenyum pedih, mengalihkan wajahnya ke arah lain. Begitupun dengan Ruby, gadis itu menundukkan kepala lebih dalam. Ia tahu Topaz akan kecewa namun, Ruby tidak ingin menunda lama untuk mengatakan bebannya.
“Lalu bagaimana dengan kakak iparmu?Apa dia setuju?”
Ruby mengangkat wajah menatap sedih Topaz kemudian mengangguk.
“Kak Safir setuju." lirihnya.
Topaz tertawa sumbang, kemudian ia beranjak dari duduknya, masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Ruby dalam keadaan bingung dan sedih.
Tidak lama kemudian, Topaz keluar rumah lengkap dengan jaket memeluk tubuhnya, ia juga membawakan tas selempang Ruby.
"Aku antar pulang, By." ucapnya tanpa melihat Ruby.
Ruby menghampiri Topaz mengambil tas miliknya dari tangan Topaz. "Kua marah?" tanya Ruby.
Wajah Topaz yang muram sudah sangat menjelaskan. "Aku juga sama sepertimu, Paz. Terkejut saat kakak memintaku sesuatu yang tidak pernah aku harapkan. Kau tahu? Karena permintaan itu aku membencinya padahal dia sudah tiada." Ruby mengikuti langkah Topaz menuju motornya terparkir.
"Topaz!" panggil Ruby dengan menggeram, bukan respon seperti ini yang diharapkan dari Topaz. Apa salahnya? Dia juga tersesat dalam situasi itu.
Topaz berhenti melangkah dan berbalik melihat Ruby. Pandangan mereka bertemu dengan pandangan yang memiliki arti berbeda. Topaz dengan pandangan marah sementara Ruby memandangnya sedih.
"Katakan sesuatu, jangan diam seperti ini." ucap Ruby, ia tampak putus asa.
Topaz menghentakkan nafas kasar dari mulutnya, berbalik dan mengambil helm yang menggantung di motor dan menyerahkan pada Ruby.
Ruby menerima benda itu melemparnya asal di lantai parkiran. Ia duduk dan menangis.
Topaz berdecak, lagi-lagi menghela nafas kasar. Mendongakkan kepala ke atas. Ia sangat kecewa untuk kabar yang ia terima dari Ruby.
Sementara di waktu yang sama Kalimaya dan Gemma termangu mendengar ucapan menantu mereka. Pria yang belum lama mengambil keputusan menikahi putri mereka datang dan menarik kembali ucapannya.
"Ruby sudah menemuimu?" tanya Kalimaya.
"Sudah, Bu. Kami sudah sepakat untuk melupakan keinginan mendiang istriku."
"Safir …." lirih Kalimaya, tatapannya memelas kemudian menoleh pada suaminya yang duduk tepat di sampingnya. "Pah, bagaimana menurutmu?"
"Itu sudah menjadi keputusan mereka Mah. Kita harus menghargainya." Gemma berujar. Tidak dapat menyembunyikan rasa kecewanya terhadap keputusan menantunya.
"Maafkan saya ayah, ibu." ucapnya lirih.
Kalimaya dan Gemma saling tatap lalu ganti menatap Safir dihadapan mereka. Gemma mengambil ponsel dari atas meja dan melihat waktu di sudut layar ponselnya.
"Sudah malam, Ruby belum pulang. Hubungi dia." ucap Gemma pada istrinya meletakkan ponselnya di atas meja.
"Ayah, Ibu. Saya juga harus pulang. Maaf jika aku sudah mengecewakan kalian." ucap Safir.
"Tidak apa-apa, kami tidak bisa memaksakan keinginan Intan pada kalian." ucap Gemma.
Kalimaya menjauh untuk menelpon putrinya. Sementara Gemma mengantarkan Safir ke depan rumah.
"Saya pamit, ayah."ucap Safir mengambil tangan Gemma dan menyalimnya.
"Hati-hati di jalan." pesan Gemma.
"Iya, ayah,"
Safir masuk ke dalam mobilnya lalu menghidupkan mesin mobil, sebentar menoleh keluar jendela mobil melihat Gemma. Ayah mertuanya sudah masuk dan menutup pintu rumah. Safir gusar atas sikap kekanak-kanakannya.
Gemma mengemudikan mobilnya dan berhenti di depan pagar rumah saat melihat Ruby turun dari atas motor Topaz tepat di depan pagar rumah Ruby.
Ruby melepas helm dari kepalanya dan menyerahkan pada Topaz.
"Kak, majuin kedepan motornya. Itu mobil kak Safir mau keluar." ujar Ruby pada Topaz.
Topaz menoleh ke arah mobil kemudian berdecak kesal. Ia mendorong motornya ke depan supaya tidak menghalangi mobil Safir keluar.
Safir mengemudi melewati pagar dan meninggalkan tempat itu. Lewat kaca spion Safir melihat Topaz mengecup pipi Ruby lalu mengulurkan tangan merapikan rambut Ruby, sementara adik iparnya terlihat tersenyum.
Safir menghembuskan nafas kasar, menginjak pedal gas mobil menjauhi tempat itu.
"Aku masuk, ya." ucap Ruby.
"Mmm, selamat malam Ruby,"
"Malam juga, hati-hati di jalan kak."
Ruby masuk ke halaman rumah, melambaikan tangan saat motor Topaz melaju meninggalkan tempat itu.
Ruby tersenyum, ia memegangi pipinya yang di kecup Topaz. Merasa hatinya di taman bunga, walau sempat bertengkar dengan Topaz. Tapi, Topaz sudah meminta maaf pada Ruby.
Topaz terkejut dan tidak tahu harus bagaimana. Terutama saat Ruby mengatakan jika kedua orang tuanya setuju atas perjodohan ini.
Dibandingkan dirinya, kakak ipar Ruby lebih jauh sempurna darinya. Tentu orang tua Ruby akan lebih memilih Safir untuk menjadi pasangan kekasihnya. Namun, Ruby sudah berjanji akan memperjuangkan Topaz dan mencintai pria itu sampai mereka mendapatkan restu dari kedua orang tuanya.
Ruby masuk ke dalam rumah dan mendapati kedua orang tuanya duduk termangu di sofa. Mengabaikan televisi yang menyala.
"Ma Pa." sapa Ruby. Kalimaya menoleh sebentar padanya kemudian kembali dengan pikirannya.
Ruby ingat di depan tadi ia melihat kakak iparnya.
Apa kakak Ipar sudah bicara dengan Papa-Mama?
"Ruby sudah pulang," ucap Ruby.
"Pergilah ke kamarmu." ujar Gemma tanpa melihatnya.
Jangan-jangan kak Safir mengatakan kalau aku punya pacar.
"Tadi aku melihat kakak Ipar kesini, dia mau ngapain, Ma?" tanya Ruby memberanikan diri tetap berada di antara wajah-wajah tegang itu.
"Menolak menikahimu." ketus Kalimaya.
Ruby menipiskan bibirnya, besok ia harus menemui Safir dan mengucapkan terima kasih.
Ruby perlahan meninggalkan ruang tamu. Tidak sabar akan mengabari Topaz supaya pria itu tidak perlu khawatir lagi.
Di anak tangga pertama Ruby berlari di tempat saking bahagianya. Kemudian menaiki anak tangga satu persatu seraya berdendang dalam hati. Tidak peduli sekalipun hati orang tuanya bersedih.
Esok akan membaik setelah kedua orang tuanya mengenal Topaz. Ruby yakin itu.