Safir, pria berusia 30 tahun, berperawakan tinggi dengan tubuh ideal duduk memeluk foto istrinya dalam kamar yang penerangannya remang.
Tangisnya terdengar pilu dan menyayat hati. Bulir-bulir air matanya mengalir menganak sungai membasahi kedua pipinya. Sudah tujuh hari istrinya pergi jauh ke tempat yang tidak bisa dijemput. Surga.
Intan istrinya yang cantik, dewasa, dan ramah begitu tega menyakiti hatinya. Tega meninggalkannya bersama buah cinta mereka. Dan ... tega meninggalkannya dengan sebuah permintaan konyol.
Menikahi Ruby, adik iparnya sendiri.
Safir semakin terisak, perlahan membaringkan tubuh di ranjang seraya mengeratkan pelukannya pada bingkai dimana mendiang istrinya tersenyum manis.
"Aku merindukanmu, Tan. Kau sangat tega pergi ketempat yang tidak bisa kujemput." Andai saja Safir tahu dimana letak surga. Sudah pasti menjemput istrinya kembali ke dalam pelukannya.
Kembali ke dalam kehidupannya, seperti hari- hari kemarin saat mereka bercanda tawa, saat mereka bertengkar dan berakhir pada cumbu mesra. Tapi, takdir begitu kejam memisahkan keduanya. Membuat tempat berbeda yang tidak bisa didatangi Safir.
Kamar Safir kini berubah menjadi dingin, tidak lagi hangat seperti yang lalu-lalu. Saat Intan masih berada di sisinya. Safir menoleh ke arah pintu saat mendengar ketukan.
"Safir."Suara panggilan terdengar dari luar kamarnya. Suara itu milik Amber, ibunya. "Kau sudah tidur, Safir?" tanya Amber sembari mengetuk pintu pelan.
Safir bangun dari baring nya, meletakkan foto di atas nakas. Menghapus jejak air mata di pipi sebelum ia melangkah membukakan pintu.
"Apa, Ma?"
"Sudah makan?" Amber mencemaskan putranya, sejak menantunya meninggal Safir mengurung diri dalam kamar, lalai dengan kesehatannya. Bahkan Safir belum menemui putrinya yang masih dalam perawatan medis di rumah sakit.
Putrinya harus dirawat dalam inkubator karena kehilangan hangatnya rahim Sang ibu.
"Bentar lagi, Ma." Safir menutup pintu tapi, berhasil ditahan oleh Amber.
"Putrimu sudah bisa kita jemput dari rumah sakit. Menurutmu dia tinggal bersama siapa? Mertuamu atau disini? Mama sangat berharap disini, Safir."
Beberapa jam lalu, Amber menerima telepon dari dokter yang merawat cucunya di rumah sakit. Memberi kabar baik kalau cucunya sudah bisa dibawa pulang setelah tujuh hari dirawat dalam inkubator.
Safir melihat raut wajah ibunya penuh harap. Mereka sudah lama menanti bayi itu. Pernikahannya dengan Intan berjalan lima tahun dan baru dihadiahi seorang putri. Tapi, kebahagian itu harus berbalut duka.
"Nanti aku bicarakan dulu dengan kedua mertuaku, Ma."
Amber mengangguk, "mau aku bawakan makan malammu?"
"Nggak usah, Ma." Lirih Safir.
Tiba-tiba Amber memeluk putranya. Ikut terluka dengan luka yang dirasakan putranya. Ia pernah di posisi putranya saat kehilangan suaminya. Safir masih berusia enam tahun kala itu dan dia harus dihadapkan pada situasi yang menyakitkan.
Amber paham bagaimana rasanya kehilangan orang yang paling kita cinta. Sangat sakit seolah kehilangan separuh napas. Amber tidak bisa memaksa Safir bangkit dan baik-baik saja, karena kehilangan yang paling berat itu adalah kehilangan karena kematian. Butuh proses yang panjang untuk bisa pulih.
"Kau boleh berduka tapi, tolong jangan lalai kesehatanmu, Safir. Putrimu membutuhkanmu. Putrimu menunggumu menggendongnya." ujar Ambar.
Safir membalas pelukan Ibunya, menangis pilu di bahu Amber. "aku takut tidak bisa bertahan tanpa Intan, Ma." Safir terisak.
"Safir." Amber mengelus punggung putranya. "Mama yakin, kau pasti sanggup." ucap Amber menyakinkan putranya. Amber yakin, secara perlahan putranya pasti bisa menerima kepergian Intan tanpa harus melupakan.
"Tujuh hari tanpa Intan rasanya makin gila. Apa yang harus aku lakukan, Ma?" Safir Menumpahkan air matanya. Menunjukkan kerapuhannya di pelukan Sang Ibu.
Kemarin Safir masih bersamanya, berc*mbu dan merayu. Safir tidak pernah menduga akan kehilangan Intan dalam waktu sekejap.
Di pelukan Sang ibu Safir membawa ingatannya pada kejadian seminggu yang lalu. Saat menerima kabar mengejutkan dari Ibunya. Intan masuk ruang bedah karena terpeleset saat menuruni anak tangga rumahnya dalam keadaan hamil delapan bulan.
Safir membela jalanan ibukota menuju rumah sakit dari klinik tempatnya bekerja. Setibanya disana ia harus dihadapkan pada situasi yang menyakitkan.
"Keadaan Intan sangat kritis Safir. Dia tidak punya waktu yang lama. Kami sudah berusaha keras. Tapi pendarahannya begitu banyak. Kami tidak bisa berbuat banyak. Dia tahu hal itu. Aku sudah bilang padanya. Pada masa persalinannya akan ada konflikasi tapi pasien bersiteguh memilih bayinya. Memberi kebahagian untuk keluarganya dan mengorbankan hidupnya." Dokter menjelaskan keadaan Intan yang sebenarnya pada Safir.
Safir menitikkan air mata saat melihat tanda tangan Intan pada surat pernyataan yang ditunjukkan dokter padanya. Intan memilih menyelamatkan bayinya dan meninggalkannya.
Safir menyeret langkahnya keluar dari ruangan dokter. Ia melihat keluarganya yang berkumpul di ruang tunggu bedah. Wajah semua orang disana menegang, menunggu kabar dari ruang operasi.
Safir menyeka air mata di wajah sebelum membawa langkahnya menghampiri keluarganya. Duduk lemah di samping Ruby.
"Apa kata dokter, Safir?" Tanya Kalimaya, mertuanya. Ia tak ingin membuat semua orang panik, lantas ia memilih bungkam.
Ruby membaca raut wajah kakak iparnya, menyimpan kesedihan yang begitu dalam.
"Kakak apa yang terjadi?" tanya Ruby memasang wajah curiga.
Safir menipiskan bibir, menyentuh kepala Ruby lembut. "Semua baik-baik saja." ucapnya lalu menundukkan kepala.
Empat jam berakhir, dokter meminta keluarga masuk ke ruang sedasi. Keluarga merasa lega dan membawa langkah masuk ke ruangan Intan.
Intan terlihat pucat, jarum infus tersambung ke dalam nadinya mengantarkan darah masuk ke tubuhnya.
Safir menggigit bibirnya kuat, melihat istrinya masih sanggup tersenyum. Manik mata Safir berkaca-kaca duduk di samping bangsal Intan.
"Tan." Ia menggenggam tangan Istrinya. Dingin.
"Kenapa kau menangis?" Tanya Intan saat melihat cairan bening terjatuh dari manik pria itu. Safir segera menyeka dan menggelengkan kepala.
"Safir."gumam Intan. Menatap lekat wajah Safir.
"Jangan katakan apapun. Aku sudah mengetahuinya. Kau sangat jahat." Safir melirih. Menyeka kembali air mata seraya meremas tangan Intan dalam genggamannya.
"Ini namanya pengorbanan Safir. " Intan menoleh pada keluarganya yang tengah berbahagia menyambut cucu pertama di keluarga mereka lalu ia kembali melihat Safir.
"Aku senang melahirkan dan memberimu seorang putri." ucapnya, mengulas senyum dari bibir pucatnya.
Safir mengangguk, memalingkan wajah dari tatapan istrinya. "Putri kita sangat manis," ujar Intan dengan suara lemah.
"Yah, mirip denganmu."
"Tidak, dia mirip Ruby."
Safir mengernyit lalu membawa tatapannya pada Ruby. Gadis di sana sibuk memainkan ponsel sembari senyum-senyum. Berbagi gambar ponakannya ke media sosial.
"Benarkah? Mungkin karena dia Aunty nya."
"Dan akan menjadi ibunya." sambung Intan.
Safir melihat Istrinya dengan tatapan tanya. Tidak paham apa yang dimaksud Intan.
"Menikah dengannya Safir. Aku ingin putriku segera punya Ibu."
"Apa maksudmu? Kau Ibunya." Tanya Safir, menatap istrinya ganjil.
Intan melihat ke arah Ruby lalu memanggil adiknya dengan suara kecil.
"Manja." Panggilnya.
Manja panggilan akrab Ruby di keluarga. Anak bungsu. Adik satu-satunya Intan. Usia mereka terpaut jauh.
Dalam tahun ini usia Intan 28 tahun sementara Ruby di angka 18 tahun.
Ruby menghampiri seraya mengantongi handphonenya.
"Kakak selamat, ya. Dan terima kasih sudah menjadikan Ruby menjadi Aunty. " ucap Ruby dengan riang menatap kakaknya. Ia juga tersenyum pada Safir.
Intan mengangguk, "kau sudah dewasa."
"Belum, Ruby ingin tetap kecil dan di manja sama kakak." ujarnya dan diakhiri kekehan ringan.
Intan menipiskan bibir. "Ruby, kakak ingin minta sesuatu padamu."
"Intan cukup. Kau terlalu banyak bicara. Istirahat, kumohon." Safir menyela ucapan Intan. Dia tahu kemana arah pembicaraan ini.
Intan melihat suaminya lalu menggelengkan kepala. "Jangan khawatir sayang, waktu istirahatku akan panjang tanpa ada yang mengganggu."
"Intan!" Safir menggeram. Rasa sedih, takut dan emosi menjadi satu dalam diri Safir.
Semua orang terdiam, melihat ke arah mereka. "Jangan katakan apapun. Aku mohon." Safir menunduk seraya menangis tanpa melepas genggaman tangan dingin Intan.
"Ada apa ini?" Gemma mendekati menantu dan kedua putrinya. Begitu juga dengan Amber dan Kalimaya.
Baik Safir dan Intan tidak menjawab pertanyaan Gemma, lalu tatapan tanya beralih pada Ruby.
"Manja?"
Ruby menggeleng, ia juga tidak mengerti kenapa Safir meninggikan suara pada kakaknya.
"Safir…, suamiku." Panggilnya lirih. "Aku tidak bisa menepati janjiku hingga menua bersamamu." sambungnya, menarik perhatian semua orang di ruang itu. "Maafkan aku." lirihnya kecil dari bibirnya yang pucat.
Safir menggeleng cepat, "Tidak Intan, kita akan menua bersama. Kau akan baik-baik saja. Mengerti." Safir meletakkan telapak tangan Intan di sisi wajahnya.
"Ada apa ini?" Gemma tidak tahan lagi melihat situasi ini. Menantu dan putrinya seolah mengabaikannya. Terlebih Putrinya bicara omong kosong.
Air mata Intan menitik jatuh berlabuh pada bantal putih yang menopang kepalanya.
"Safir aku lelah. Rasanya sangat dingin." bergumam kecil. Tatapannya sangat sendu.
"Ruby, mintakan selimut pada perawat." Perintah Safir.
"Baik, kak."
"Ruby," Intan menghentikan Ruby yang bahkan belum berbalik.
"Yah,"
Intan mengulurkan tangannya dan perlahan Ruby menerima dan menggenggamnya erat.
"Aku mohon menikahlah dengan Ruby." Pintanya pada Safir lalu melihat ke arah adiknya yang berdiri di sisi Gemma.
Semua keluarga tercengang mendengar ucapan Intan. Terutama Ruby. Gadis remaja itu sontak menarik tangan dari genggaman Intan lalu menggelengkan kepala.
"Apa yang kau bicarakan?" Tanya Safir seraya menggelengkan kepala. Deras air mata membasahi pipinya membentuk sungai kecil disana.
Intan melihat adiknya yang tengah menatap heran dirinya. "Ruby, kakak mohon jadilah Ibu dari putriku. Gantikan aku membesarkannya. Aku berharap kalian menikah dan merawat putriku dengan baik." Ucapnya lambat-lambat.
Ruby menggelengkan kepala."jangan bicara omong kosong. Kakak ini kenapa sih?" Ruby melihat kedua orang tuanya yang membisu menatap Intan. Berharap mereka menegur ucapan kakaknya
"Safir," suara itu semakin kecil "Kumohon. …."Mata Intan semakin mengecil dan menutup.
"Intan!" Semua orang di ruangan itu memanggil nama itu bersamaan, kecuali Ruby.
Gadis itu mundur hingga tubuhnya mentok pada dinding. Ia merosot menutup kedua telinga dan memperhatikan semua orang panik membangunkan Intan.
"Intan! Bangun! Buka matamu sayang. Aku mohon." Safir membuka paksa mata istrinya.
"Intan bangun …."Tubuh Safir bergetar menangis melihat petugas medis memeriksa keadaan Intan.
"Maaf, pasien sudah tiada. Kami turut berduka cita."
"Papa, bangunin putriku!" Kalimaya Menjerit begitu dokter memastikan keadaan Intan. Putrinya kembali pada pemiliknya. Meninggalkan sebuah kebahagiaan juga kesedihan.
Kalimaya terjatuh beruntung Gemma sigap menangkap tubuh istrinya.
*
"Safir, cukup menangis nya." ujar Amber, sudah sejak tadi pria ini memeluknya dan menangis getir. Mengulang kembali kesedihan tujuh hari yang lalu saat Intan menutup mata untuk selamanya.
Dimalam yang sama seorang gadis menatap dirinya di depan cermin. Rupa gadis yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah atas ini tampak menyimpan kesedihan yang dalam.
Bagaimana tidak? Satu minggu yang lalu kakaknya meninggalkan sebuah permintaan yang sulit dikabulkan.
Menjadi istri dari suaminya.
Menjadi Ibu untuk putrinya.
Konyol bukan?
Ruby gadis berambut sebahu menyeka bulir yang terjatuh tanpa ia sadari. Hatinya penuh dilema.
Sebuah ketukan dari luar kamarnya menarik perhatiannya dari depan cermin. Menoleh ke arah sumber suara.
"Ruby …," Panggil Kalimaya, Ibunya. "Kau sudah tidur?" Tanya Kalimaya dari balik pintu.
Ruby melangkah menuju pintu tanpa menjawab panggilan Ibunya. Ia membuka pintu lebar.
"Belum tidur kan, Nak?"
"Belum."
Kalimaya masuk dan mengikuti langkah putrinya dan duduk di pinggiran ranjang.
Kalimaya melihat wajah putrinya yang menyimpan kesedihan. Sama hal seperti dirinya, masih berduka atas kepergian putri pertamanya. Tapi, hidup akan terus berjalan tanpa peduli apa yang harus dilewati. Kalimaya menarik kedua bahu putrinya untuk menghadapnya.
"Ruby, besok ponakan mu pulang dari rumah sakit. Kau ikut jemput?" Tanya Kalimaya.
"Mama aja. Ruby ada urusan masalah kuliah." tolak Ruby.
Kalimaya mengangguk kecil, "Mama sangat berharap kau ikut." ujar Kalimaya lembut seraya membelai sayang helai rambut Ruby.
"Besok Ruby sibuk."
"Ruby—"
"Mama." Ruby menepis tangan Ibunya. "Maaf, Ruby nggak mau ikut." ucapnya lirih, menundukkan kepala.
"Baiklah. Nggak pa-pa Ruby. Biar Mama Papa yang kesana. Tidurlah, ini sudah malam." Lembut tangan Kalimaya menyentuh kepala putrinya. Ia tahu Ruby masih marah atas permintaan kakaknya.
••••
Safir menandatangani semua berkas kepulangan putrinya di bagian administrasi. Tadi sebelum kebagian admin, Safir lebih dulu masuk ke ruang bayi. Putri kecilnya masih tertidur seraya menghisap ibu jarinya. Dia sangat manis. Wajahnya bersinar seperti berteman malaikat.
Safir akan merawatnya sampai besar. Mereka akan hidup berdua sampai buah cintanya bersama Intan menikah kelak atau setidaknya dewasa.
Dia tidak perlu menikah apalagi harus memenuhi keinginan konyol sang istri, menikahi adik iparnya.
"Dia sangat manis." ujar Amber begitu Safir menyelesaikan urusan biaya perawatan bayinya dalam seminggu ini.
"Mmm. Mirip istriku." Safir menyentuh pipi merah putrinya. Kontak fisik yang ia lakukan di respon baik putrinya. Bayi kecil membuka mata lalu menjulurkan lidah seolah meledek. Safir tersenyum dibuatnya.
"Dia bahkan mengikuti sikap manjamu." Safir membatin dalam hati. Mengedarkan tatapannya seolah mencari sosok Intan disana.
Safir tersenyum kecut.
Apa yang ia harapkan? Istrinya sudah menyatu dengan tanah. Sebelum dapat merasakan haru dipanggil Mami oleh putrinya.
Ya, seperti kesepakatan mereka sebelum semua ini terjadi. Safir dan Intan sepakat putrinya memanggil mereka dengan sebutan Papi Mami. Mengingat itu Safir kembali sedih.
Ah, Intan. Kenapa pergi begitu cepat? Meninggalkan aku dalam kepahitan.
Safir menengadah, menahan air pada pelupuk matanya agar tidak terjatuh.
"Kita sudah bisa pulang?" Tanya Amber. Bersiap mengambil cucunya dari tangan perawat.
"Mmm, semua sudah beres." Safir mengambil semua perlengkapan bayinya dalam seminggu ini.
Dia menjinjing tas dan membawanya keluar setelah berpamitan pada dokter bayi.
Amber mendorong kereta bayi cucunya berjalan menuju ruang tunggu. Disana besannya sudah menunggu mereka.
Kedua mertua Safir berdiri dan segera menyambut. Kalimaya mengambil cucunya dari kereta bayi. Menggendongnya, memperhatikan lekat wajah manis cucunya.
"Ya Tuhan dia manis sekali."
Kalimaya mencium pipi cucunya lalu menunjukkan pada suaminya.
Gemma tersenyum haru. Bahagia saat cucu pertama mereka lahir dan sedih karena kehilangan putri pertamanya.
Kebahagiaan yang mereka dapat berbalut duka.
Kalimaya meletakkan bayi dalam kereta dorong. Tiba-tiba ia teringat akan putrinya. Hatinya hancur kembali berduka. Kalimaya menyembunyikan wajah di bahu suaminya dan terisak disana.
"Sudah, semua kejadian ini terjadi atas kehendak Tuhan. Kita tidak boleh larut dalam kesedihan. Kita punya tanggung jawab besar membesarkan bidadari kecil ini." Gemma mengusap punggung istrinya, menenangkan hati sang istri walau dirinya pun dalam keadaan yang terluka.
"Iya itu benar." Amber menimpali ucapan Gemma.
Kalimaya mengusap wajah basah itu. Mengangguk dan melihat kembali bayi manis dalam kereta dorong.
"Bagaimana kabarmu, Safir?" Tanya Gemma pada menantunya.
Terus terang raut wajah Safir cukup menjelaskan. Kalau pria itu masih sangat menderita tapi, sebagai orang tua ia berhak bertanya. Mungkin untuk sekedar berbasa-basi, atau memulai obrolan.
"Baik ayah mertua." ucapnya, menipiskan bibir sekejap.
"Syukurlah. Kau punya tanggung jawab besar harus bangun dari keterpurukan ini." Gemma menepuk lengan menantunya.
"Terima kasih, Ayah Mertua."
Kedua ibu paruh baya berhenti membicarakan tentang cucu mereka saat melihat kehadiran Ruby di tempat itu.
Gemma juga memasang raut terkejut. Mengingat putrinya menolak ikut.
"Oh, kau datang, sayang?" tanya Gemma
Ruby mengangguk, "urusannya cepat selesai jadi aku putuskan singgah." ucapnya sekilas menatap Safir. Pria itu tersenyum kecil padanya. Ruby memalingkan wajah dan mendekati Amber.
"Apa kabar, Tante." Sapanya menyalim tangan Amber. Mertua mendiang kakaknya.
"Puji syukur baik, Ruby. Bagaimana denganmu?" Amber menyentuh kepala Ruby lembut, memberi berkat. "Semoga kebahagian meliputi mu." ucapnya.
"Amin, baik tante."
Ruby melihat bayi dalam kereta dorong. Tampak biasa, sama sekali tidak menyentuh hatinya seperti saat pertama kali bayi itu lahir. Kala itu dia bersemangat membagikan momen kebahagian itu ke media sosialnya.
Mengumumkan bahwa dia sudah menjadi Aunty. Namun, kali ini ia begitu dingin pada bayi yang menjadi penyebab kakaknya meninggal.
Ruby mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans dan menyibukkan diri dengan benda pintar itu.
Sementara semua orang dewasa sibuk melanjutkan bicara. Menentukan dimana tinggal Sang bayi.
"Baiklah. Kami sepakat." ujar Gemma dan diangguki istrinya, setuju kalau cucu mereka tinggal bersama Safir, Papi sang bayi.
•••••
"Manja, masalah permintaan mendiang kakakmu. Kau sudah pikirkan, Nak?" Tanya Gemma saat mereka menikmati makan malam di meja makan.
Ruby menelan semua isi mulutnya. Meletakkan sendok makannya di atas piring. Ia melihat kedua orang tuanya bergantian yang refleks berhenti mengunyah makanan.
"Permintaan apa? Menikah dengan kak Safir?" Ruby bertanya dengan raut wajah kesal. Bisa-bisanya membahas itu saat mulut dan perutnya menikmati makan malamnya.
Kedua orang tuanya saling tatap lalu perlahan mengangguk seraya melanjutkan mengunyah makanan di mulut masing-masing.
Ruby berdecak, mengangkat gelas minumnya dan menghabiskan isinya. Kemudian beranjak dari tempat duduknya.
"Ruby," Kalimaya menahan putrinya yang bersiap meninggalkan meja makan. "Apa ini sulit, sayang. Permintaan kakakmu, Mama juga setuju Ruby menggantikan Intan men—"
"Ruby nggak mau." Sahutnya.
"Setidaknya untuk ponakan mu, Ruby." ujar Kalimaya. "Kau mau orang lain menjadi Ibunya? Seme—"
"Itu lebih baik, Mama." Sahut Ruby dengan nada kesal.
Ruby mengalihkan tatapannya pada Gemma. Pria setengah baya itu mengembuskan nafas pelan.
"Safir pria baik dan bertanggung j—"
"Tapi, dia suami kakakku, Papa. Aku tidak mau menikah dengannya." Ruby meninggalkan meja makan setelah menyela perkataan Gemma, ayahnya.
Ruby melompat ke atas ranjang, menelungkupkan wajahnya pada bantal. Ruby berpikir kedua orang tuanya tidak akan setuju dengan permintaan konyol kakaknya.
Tapi, lihatlah! Kedua orang tuanya bahkan tidak bertanya pendapatnya. Gemma dan Kalimaya mendukung keinginan Sang kakak.
Menikahkannya dengan Safir.
Apa mereka tidak merasa risih? Seperti yang dirasakan Ruby. Menikah dengan kakak iparnya sesuatu yang sangat … ah, entahlah. Ruby tidak dapat menjelaskannya.
Ruby mengangkat wajahnya dari bantal. Rasanya ingin teriak sekeras mungkin. Untuk melegakan dαdanya yang sesak. Ruby akhirnya memilih menangis, melempar bantal ke lantai. Duduk di ranjang dan memeluk kedua kakinya merapat ke dαda. Sesenggukan sendirian di dalam kamar itu.
Sementara di tempat lain, makan malam Safir tidak senikmat saat istrinya masih ada. Di meja makan ini biasanya istrinya melayaninya dengan telaten. Menyajikan makanan diatas piringnya dengan berbagai menu. Wajah istrinya selalu berbinar saat melayaninya di meja makan. Kadang kala mereka makan satu piring berdua. Safir menyuapi istrinya atau sebaliknya.
"Makan yang banyak, Sayang." Hampir saja Safir mengatakan itu saat melihat bayangan Intan duduk di hadapannya. Safir menelan kuat salivanya begitu menyadari bangku itu kosong.
Safir meletakkan sendoknya di atas piring. Menyudahi makan malam, sebenarnya dia belum menikmati makan malam yang disajikan Amber. Ia bangun dari duduknya dan menggelengkan kepala. Kepalanya terasa pusing. Safir berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai atas.
"Safir." Amber menghentikan langkah kaki putranya yang memijak di pertengahan tangga.
Safir berbalik dan melihat ke anak tangga dimana Ibunya berada.
"Apa, Ma?"
Amber tampak menimbang apa yang ingin disampaikannya. Tentu saja tentang pengganti menantu di rumahnya.
"Mama mau bicara," ujarnya, meminta sebentar waktu putranya.
Safir mengangguk kembali menuruni anak tangga. Mengikuti Amber ke ruang santai. Safir mendaratkan tubuhnya di sofa menghadap televisi.
Amber mengambil remote tv dan mematikan televisi yang sejak tadi menemani waktu luangnya.
"Mama mau bicara apa?" Tanya Safir seraya memijat-mijat pangkal hidungnya.
"Ini mengenai adik iparmu." Safir refleks menghentikan tangannya lalu melihat Ibunya dengan tatapan tanya. "Dan mengenai keinginan mendiang istrimu." Tambahnya.
Safir menghela napas panjang, "aku tidak memikirkan untuk menikah lagi, Ma." ujarnya, santai.
"Tapi, putrimu butuh sosok Ibu."
"Mama."
"Ruby juga bukan orang asing. Dia adik mendiang istrimu lagipula ini keinginan Intan."
"Justru karena dia adik iparku, Mama. Astaga, ini nggak masuk akal. Aku nggak bisa menikah dengannya." ucap Safir. Ia menyugar rambutnya ke belakang dengan Kasar.
"Kau masih muda, Safir. Satu tahun atau dua tahun kau bisa kuat tanpa pendamping, tapi bagaimana dengan hari-hari selanjutnya?" Amber menatap dalam putranya.
Safir berdecak, mengalihkan tatapannya dari Ibunya.
"Mama tau ini berat untukmu. Tapi, percayalah Safir hidup sendiri itu sangat berat."
"Mama sanggup." Safir mengingatkan Amber yang juga bernasib sama sepertinya. Ditinggal pasangan saat usia muda.
"Pria dan perempuan itu berbeda, Safir."
"Sama aja, Ma. Sudah ah, aku naik ke atas. Kasihan Kristal sendirian."
Safir beranjak tempat duduknya meninggalkan Ibunya sendirian di ruang santai.
Safir membuka pintu pelan lalu membawa kakinya masuk. Berjalan menuju boks putrinya yang ia beri nama Kristal. Bayi kecil itu masih tidur di bawah selimutnya.
Safir melangkah ke tempat tidurnya. Duduk di tepi ranjang, mengambil foto istrinya dari atas nakas lalu memeluknya. Kembali pada kesedihan. Mengingat kembali permintaan Intan.
"Aku tidak bisa Intan, aku tidak bisa menikahi Ruby. Dia adik kita." ucapnya seraya memejamkan mata.
*
See you tomorrow