AKU TAK SALAH MENILAI

1499 Words
"Heeh?" "Kamu tidak tuli kan?" melihat respon Aida, Reiko bicara lagi. 'Kenapa orang kaya zaman sekarang pelit sekali sih? Dia kan punya uang dan dia bisa dong pesan online? Kenapa harus menyuruhku untuk memasak lagi untuknya dan pasangan zina-nya? Aku kan sudah lapar sekali.' Aida ingin menolak. "Selama tinggal di sini kamu tidak bisa menolak perintahku. Demi perjanjian kita." "Baik Pak." Tapi sayangnya setelah Reiko bicara begitu, pikiran tentang adik-adiknya membuat Aida ingat kalau ada perjanjian di mana dia tidak boleh menolak perintah Reiko selama mereka tinggal bersama di apartemen itu. "Bagus. Buat jangan lama-lama. Dan setelah selesai bersihkan dapurnya juga seperti semula." “Huuuh.” Aida malas menjawab. Dia memilih menaruh piring nasi gorengnya setelah menghempaskan napas pelan. Reiko sendiri juga sudah membalikan badan menuju ke kursi makan. Dia duduk menghadap ke arah dapur sambil mengamati Aida yang sedang menyiapkan permintaannya. 'Sesuai dengan dugaanku tadi, dia cukup rapi memakai alat-alat di sana. Memasaknya tidak berisik dan dilihat-lihat, cara kerjanya sistematis.' Tadi kan Reiko mengamati hanya dari tempat persembunyian. Berbeda dengan saat ini dia bebas mengamati kemana gerakan tubuh Aida. Sungguh keadaan yang membuat Aida juga tak nyaman. 'Kenapa dia harus duduk di sana sih? Kan bisa cari kursi lain yang bisa membelakangiku gitu?' Tapi tetap Aida berusaha untuk tidak memperhatikan Reiko. Dia hanya melirik Reiko dari bagian kaca di mana bisa memantulkan bayangan Reiko tanpa Aida terlihat seperti berniat ingin mengawasi pria itu. Mereka tidak melakukan pembicaraan apapun. Aida lebih memilih untuk cepat-cepat menyelesaikan tugasnya di saat Reiko juga hanya mengamati. Hanya suara alat masak saja yang terdengar karena gerakan tangan Aida menyelesaikan tugasnya Hingga: "Ini nasi gorengnya Pak." Akhirnya setelah seperempat jam nasi goreng itu pun jadi. "Dari mana kamu belajar menggunakan alat-alat di dapurku?" Tapi tak langsung pergi dan membawa nasi goreng yang sudah ditaruh Aida di meja. Reiko yang penasaran justru menanyakan sesuatu yang mengganjal di hatinya itu. "Lihat dari acara memasak di YouTube, Pak. Dan suka lihat juga MasterChef di TV. " 'Apa jangan-jangan dia pikir aku nggak bisa ngegunain alat-alat itu dan aku akan mati kelaparan di rumah ini, begitu?' Aida biasanya bukan orang yang selalu negatif thinking. 'Atau mungkin dia sengaja tidak mau mengajariku supaya aku membuat kesalahan dan tiba-tiba kebakaran lalu aku mati mengenaskan terbakar di sini?' Tapi berbeda saat dirinya bersama dengan Reiko. Rasa-rasanya kecurigaan pada pria berstatus suaminya itu membuat Aida mengambil sebuah kesimpulan yang bisa menimbulkan emosi dalam benaknya "Kamu belajar masak dari mana?" Lah tadi kan dia udah tanya menjurusnya ke sini juga? Kenapa dia tanya lagi? Dia sedang mengintrogasiku bukan? Aida paham apa yang dilakukan Reiko ini bolak-balik bertanya, pasti menguji tingkat kejujurannya. "Suka bantuin ibu di rumah dan dari televisi atau YouTube, Master chef." "Acara Master Chef?” "Salah satunya Pak." "Emang kamu mau jadi chef?" "Sejauh ini belum ada niatan ke sana sih Pak." "Ok, baguslah," jawab Reiko yang kini sudah berdiri sambil mengambil dua piring itu sebelum dia melirik Aida dan bicara lagi. "Karena setahuku acara itu menampilkan orang-orang yang bisa memasak profesional bukan memasak makanan yang tidak bergizi seperti ini." 'Hahaha, kenapa aku jadi puas sekali mengerjainya seperti itu?' Reiko tak habis pikir. Tapi ini memang membuat dirinya geli. Dia berbisik seperti ini sudah meninggalkan Aida dan melangkah menuju ke arah tangga. 'Baru kali ini aku melihat seorang wanita yang lumayan pintar. Dia bisa melawanku dengan hanya menunjukkan sedikit emosi, tapi itu pun juga kadang-kadang, jarang sekali terlihat. Logikanya juga cukup kuat. Dan selalu saja bisa menemukan jawaban yang tepat di luar nalarku setelah beberapa detik aku bicara, skill yang bagus.' Yang ini memang sesuatu yang sangat menarik untuk Reiko. Dia tak pernah menemukan seorang wanita seperti Aida sebelumnya. 'Boleh juga diuji,' pikir hati Reiko sambil mengamati dua piring yang dia bawa dan kini pria itu sudah ada di anak tangga paling atas menuju ke arah kamarnya. 'Dan yang pasti, sepertinya dia lumayan juga skill memasaknya. Ayam di nasi goreng ini matangnya perfect, nasi goreng tak terlalu berminyak dan pas. Dia tahu cara mengolah makanan. Atau mungkin hanya aku yang merasa nasi goreng ini enak padahal hanya nasi goreng biasa dengan bumbu instan?' yang ini Reiko masih belum yakin 'Tapi dulu aku juga pernah makan buatan Brigita dengan bumbu instan seperti ini minyaknya agak berlebihan karena memang dia bukan orang yang suka memasak.' Reiko masih ragu-ragu, tapi ada sesuatu yang membuat dirinya bertambah yakin Ketika "Wah nasi gorengnya enak banget sayang. Kalau ada lagi aku juga mau nambah. Selalu suka deh sama masakan buatan kamu." 'Rasanya aku tidak salah kalau menilai masakannya memang enak.' Ini yang membuat Reiko berpikir kalau dia tidak sendiri menduga bahwa masakan Aida itu enak. Dan memang sebenarnya Reiko yang lebih pandai memasak dan selalu menyiapkan makanan biasanya. "Bukan aku yang memasaknya, Bee." "Heeh?" Brigita pun mengerutkan dahinya dan refleks memalingkan wajahnya menatap Reiko. "Tadi aku melihat dia sedang memasak. Aku pikir dia lapar dan dia membuat nasi goreng. Aku mencicipinya rasanya lumayan, jadi aku nyuruh dia buat bikin untuk kita juga." "Jadi ini masakannya? Kamu menyuruh aku makan masakan w************n itu?" Mata Brigita terbelalak tak suka. Dia marah pada Reiko. Karena siapa lagi yang dimaksud dia selain Aida? Di apartemen itu kan hanya ada mereka bertiga. "Apa salahnya, Bee? Lagi pula aku tidak mungkin menyuruh orang luar untuk membersihkan apartemen ini lagi karena aku tidak mau terlalu banyak orang yang tahu tentang masalahku dengannya. Dan kamu sendiri juga tadi bilang masakannya enak bukan?" "Ya aku bilang begitu karena aku pikir ini masakanmu." "Jadi karena ini bukan masakanku, ini tidak enak menurutmu?" "Tidak." Brigita mencebik. Dia tak mau memuji makanan itu lagi walaupun sebetulnya dia tahu ini berlawanan dengan kenyataan yang sebenarnya. "Bee, kamu tidak perlu berbohong di hadapanku hanya untuk masalah sepele seperti ini." "Jadi kamu mau aku bilang masakan ini enak begitu?" sinis Brigita. "Hmm. Aku ingin kamu bicara sesuai dengan apa yang ada di dalam hatimu. Mungkin untuk orang lain, klienmu atau siapapun itu kamu boleh berbohong. Tapi tidak untukku, Bee. Karena kita akan menjadi satu, kamu kekasihku, bagian dari aku." Reiko bicara sambil mengambil piring di tangan Brigita dan menaruhnya ke lantai "Kalau sama orang yang akan menjadi pasanganmu saja kamu masih membohongiku, bagaimana bisa timbul kepercayaan di antara kita?" Pertanyaan yang lembut disampaikan oleh bibir Reiko tapi sebetulnya membuat Brigita geram Tapi "Aku hanya tidak mau dia terlalu banyak ikut campur dalam kehidupan kita karena aku cuma takut kamu akan berpaling hati padanya." "Hahaha, kamu nih ada-ada aja, Bee. Aku tidak tertarik padanya." Setelah gelak tawanya, Reiko mengelus rambut Brigita sambil menatap wanita itu dengan penuh cinta. "Bagiku pernikahan itu adalah menentramkan semua hasrat yang bergejolak dalam diriku. Dan bagaimana jika aku tidak terpuaskan dengan sesuatu yang tidak dia miliki?" kini Reiko pun geleng-geleng kepala sambil mencubit pipi Brigita "Lihat itu." Tangan kekar laki-laki itu pun menunjuk satu bagian kamarnya yang dilapisi oleh cermin "Di sana kamu bisa melihat ada seorang wanita cantik di sampingku yang tubuhnya selalu saja menggodaku bagaikan morfin," bisiknya di telinga Brigita yang sudah memandang cermin tersebut "Lalu kenapa aku harus mencari wanita lain yang tidak bisa memberikan seperti apa yang kamu berikan padaku? Bahkan sesuatu yang kenyal dan favoritku itu dia tak punya." "Ehm." sebuah bujuk rayu yang cukup ampuh membuat Brigita kembali tersenyum "Janji ya kamu nggak akan ngelihat dia walaupun itu hanya sedetik." "Hmm, tidak akan aku melihatnya sedetik dengan perasaan cinta seperti ini." Sebuah janji yang sangat mudah sekali dikatakan oleh Reiko sambil geleng-geleng kepala. "Dia hanya akan mengurus rumah ini, sayang. Lagi pula itu bayaran yang setimpal bukan untuk semua yang sudah keluargaku berikan untuk biaya sekolah adiknya?" Sesaat Brigita pun memikirkan penjelasan Reiko. Dia masih ragu untuk memberikan sebuah jawaban "Kamu juga tinggal di sini kan, Bee?" "Tapi kan aku tidak setiap saat tinggal di sini. Kamu pikir aku akan tinggal di sini setiap saat juga? Banyak pekerjaan yang harus aku lakukan di luar dan kamu tahu sendiri aku banyak sekali kegiatan ke luar kota bahkan ke luar negeri sama sepertimu." Benar yang dikatakan Reiko. Bahkan seminggu mereka bisa bertemu dua kali pun biasanya sudah sangat bagus sekali karena kesibukan masing-masing. "Lagi pula apa yang kamu takutkan, sih Bee? Aku tertarik padanya saat aku sudah berulang kali mengatakan dia tidak akan pernah menarik hati dan mataku?" Reiko juga sedikit mendesak pada kekasihnya. "Baiklah kalau begitu. Tapi aku tidak mau melihat kamu dekat dengannya." "Deal." "Tapi kamu janji ya harus cari cara secepat mungkin mengeluarkannya dari rumah ini." "Hmm. Aku memang sedang memikirkan itu." "Makasih sayang." mmmuuuah Begitu mudah perjanjian itu dibuat. Begitu mudah Brigita kembali tersenyum dan ini menenangkan hati Reiko "Oh iya minum untukku mana?" Hingga setelah obrolan itu mereda dan kemarahan hilang, Brigita teringat sesuatu yang dibutuhkan oleh tenggorokannya. "Oh ya aku lupa tadi sekalian ambil minum. Tunggu sebentar aku ambilkan dulu." mmuahhh. Setelah memberikan kecupan ulang pada Brigita, Reiko yang sudah mendapatkan anggukan kepala wanita terbaik dalam hatinya itu pun kini berjalan menuju pintu dengan dua piring di tangannya bergegas turun melewati anak tangga. Namun kembali dia berhenti sejenak sambil tersenyum tipis 'Ternyata dia memakan nasi goreng itu juga?'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD