Penjelasan Reyhan

1946 Words
“Awas saja jika kau sampai bersikap kasar pada Hale! Aku tidak akan segan-segan membakar junior-mu sampai lotong, sekalian dengan bulunya!” Setelah mendengar ancaman konyol Johan barusan, Reyhan sontak berlari kecil dan menyusul Halsey. “Kau ingin apa?” tanyanya datar. Halsey berbalik. “Kenapa?” "Kau ingin ke mana?" tanya Reyhan lagi. "Tidak ada." "Lalu mengapa melintas di sini?" "Aku hanya ingin. Memangnya kenapa?" Dalam hati, Reyhan merutuk keras. Entah mengapa juga Johan sampai harus jatuh cinta dengan Gadis ini. Terlalu menyebalkan. "Kau ingin diperlakukan begitu juga, ya?" tanyanya masih berusaha lembut, sembari melirik ke arah sekumpulan Pria yang kini tampak asik melancarkan aksi dengan tawa menggelegar tanpa henti. "Aku sedang ada urusan, makanya harus melintas di sini. Dan oh, ya. Jaga ucapanmu, sebab aku bukan Gadis seperti itu," balas Halsey datar. Sudah cukup! Reyhan tidak akan bisa lebih lembut lagi! "Selesaikan nanti saja, dan kembalilah ke kelasmu!" perintahnya kemudian berlalu pergi. Tapi, baru juga beberapa langkah, Reyhan memutuskan untuk berbalik lagi tatkala menyadari jika Halsey malah semakin melangkah mendekat ke sekumpulan Pria-pria m***m itu. "Kau tidak dengar ucapanku, ya?!" tanyanya berteriak. "Bisakah kau berbicara lebih lembut seperti Johan? Aku tak suka dikasari!" balas Halsey ikut berteriak. Reyhan terdiam beberapa saat. Berusaha mengingat teriakan khawatir Johan, agar dirinya tidak sampai kelepasan dan bersikap kasar. Demi Johan, ia akan berusaha bersabar, setidaknya kali ini saja. "Aku akan mengantarmu ke sana," ujarnya dingin sembari menarik tangan Halsey tanpa izin. "Lepaskan aku, Reyhan! Jangan menyentuhku!" Setelah menghempas tangan Reyhan kasar, Halsey menatap nyalang Pria itu beberapa saat kemudian berlalu dari sana. “Wah. Gadis macam apa dia? Memangnya aku menyentuh sejauh apa, sih?! HUH?!” gumam Reyhan dengan emosi meletup-letup. Ia memutuskan untuk berbalik dan segera pergi saja. Setidaknya, Halsey sudah batal melintas di jalan itu, sehingga urusannya juga sudah selesai. ▪▪▪ “Menjauh, tidak?! ISH, MENJAUH, JOHAN! KAU GILA, YA?! HUH?!” Dengan perasaan kesal setengah mati, Reyhan mengusap wajahnya kasar, sembari sesekali menyempatkan untuk mendorong Johan lebih jauh. “Aku rindu Hale, Rey ...! Aku rindu menoel-noel lesung pipinya ...! AKU RINDUUUUUU! KAU DENGAR, KAN?!” “Aku bahkan sudah meminta Baila untuk memotret Hale sembunyi-sembunyi, tapi ... tapi tetap saja tidak berhasil! ARGH!” Reyhan tak bisa apa-apa selain mendengus lelah. Entah mengapa Alan tidak ikut berkumpul di apartemen Johan malam ini, tapi sungguh ..., ia benar-benar mengharapkan kehadiran pria itu sekarang juga. Johan jadi gila, dan itu karena Halsey! Kalau sekedar berteriak-teriak tak jelas saja, ia mungkin masih bisa terima. Tapi memeluk-meluk bahkan memukuli manja begitu?! Hanya Alan yang bisa menangani ini. Ia menyerah! “Pokoknya, aku akan ke rumah Hale sekarang!” ujar Johan serius, sembari langsung bangkit dan meraih jaketnya. Reyhan panik. Saking paniknya, ia ikut bergegas bangkit kemudian menarik kaki Johan susah payah. “Jangan, Bodoh! Kau, kan, sudah berjanji jika batas waktunya adalah 5 hari!” “Tapi, Rey ....” Johan melemah hingga terduduk ke lantai. “Aku benar-benar rindu ...! Kali ini bukan lebay yang kubuat-buat, ya. Aku tidak tahan untuk berlama-lama lagi!” lanjutnya frustrasi. Reyhan berdecak. “Tapi tinggal sehari lagi, Johan. Tidak sabaran sekali, sih?!” “Kau tidak mengerti, Rey! Sudah, deh. Jatuh cinta saja dulu, supaya kau bisa mengerti bagaimana rasanya!” Setelah menyaksikan Johan berlalu dengan raut kesal yang serius, Reyhan mendesah pelan. “Terserahmu, s****n! Terserahmu!” teriaknya sembari bergegas berdiri. Saat hendak melanjutkan acara menontonnya tadi, Reyhan lantas menoleh ke arah pintu apartemen tatkala mendengar suara berisik dari luar. “Johan? Kenapa kembali?” tanyanya bingung. Ia memandangi Johan dari atas hingga bawah, dan menyadari jika Pria itu tampaknya baru saja berkelahi lagi. “Dasar Johan kunyuk! Kau tahu?! HUH?! Bibir berdarah begini akan menghambat kenikmatan ketika aku berciuman!” Suara Alan ikut terdengar, dan itu lagi-lagi memaksa Reyhan untuk kembali melirik ke pintu apartemen. “Ya, ampun, Kak ...?! Lagian, kalian mengapa, sih, harus saling tinju gara-gara masalah sepele begi-” Omongan Atha menggantung tatkala mendapati sosok Reyhan tengah memandangnya. Ia bahkan tidak ikut melangkah masuk dan hanya terpaku di pintu. “Mengapa kau membawanya kemari?” tanya Reyhan datar, sembari kembali memalingkan wajah ke televisi. “Memangnya kenapa?” tanya Alan balik. “Kau tidak punya otak, ya?! Bawa Gadis itu pulang!” balas Reyhan mulai berteriak. “Bawa pulang saja sendiri!” Karena geram melampaui batas, Reyhan meraih bantal sofa di belakang punggungnya, kemudian melemparnya tepat ke wajah Alan. “Kau mau dia membawa masalah untuk kita?! Huh?! Bagaimana jika orang-orang salah mengira?! Memangnya kau mau dituduh menggilir Gadis tidak tahu malu yang mau-mau saja diajak ke apartemen seorang Pria malam-malam begi-" “CUKUP, REY! Kau tidak bisa mengerti jika aku sedang pusing, ya?!” teriak Johan tak kalah emosinya. Ia benar-benar tak habis pikir dengan penuturan Reyhan barusan. Terlalu keterlaluan! “Mulutmu itu ... tak bisakah kau lebih menjaga ucapanmu?! Apa perlu aku-" “PERSETAN, s****n! AKU TIDAK MAU DENGAR LAGI!” Reyhan langsung bergegas bangkit, kemudian melangkah menuju pintu apartemen. Atha masih berdiri di sana, dan Reyhan tentu bersikap tidak peduli dan memilih menyenggolnya hingga ia terdorong keras ke belakang. Atha langsung meringis. Menyentuh lengannya pelan, tanpa berani mendongak untuk balas menatap Reyhan sedikit pun. Ia sendiri juga tidak tahu penyebab Pria itu membenci dan menaruh rasa tidak suka padanya. Padahal ..., jika diingat-ingat, pertemuan mereka yang pertama kali, kan, tidak bisa dikatakan buruk. Apalagi waktu itu ia juga tengah menolong Reyhan, kok. “Kak Rerey ...? Maafkan aku ...,” lirihnya berusaha tak peduli lagi. Bagaimanapun tanggapan Reyhan setelah ini, ia akan berusaha tetap menerima seperti biasa saja. Bagaimanapun. “Jika semenjak bertemu, aku selalu membuatmu kesal, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu jelas apa alasanmu  sampai membenciku,  tapi ..., tapi kumohon jangan pulang seperti itu ...! Kau tahu, Kak? Aku merasa seperti pengganggu dalam persahabatan kalian. Aku merasa kehadiranku hanya selalu membuat kalian bertengkar, bahkan sampai saling memaki dan men-" “Cukup, Atha ...! Berhenti menyalahkan dirimu gara-gara s****n itu!” potong Alan muak sembari langsung menarik Atha mendekat. Tangannya mengusap rambut ekor kuda Gadis itu pelan, berusaha menenangkan. “Sudah selesai? Huh?” Reyhan berbalik dengan raut tak terbaca. “Kau serius ingin tahu mengapa aku benar-benar membencimu?” lanjutnya. Sementara Johan yang sejak tadi berusaha keras tak mengindahkan, kini sudah benar-benar bergegas hendak mengakhiri Reyhan s****n itu. Mengapa juga, sih, bisa ada manusia sepertinya?! Sekalinya bicara, pasti akan langsung mengena saking sadisnya. “Bisakah kau mengakhiri hal gila ini, Rey? Pulang saja jika memang ingin pul-" “Karena kau lancang! Tidak tahu batasan! Tidak mau menyadari jika beberapa orang bisa terganggu gara-gara sikapmu sebagai seorang perempuan yang terlalu agresif!” Reyhan memulai. “Kesalahan pertama, kau mengajak seorang Pria berkenalan duluan. Memangnya tidak punya malu, ya?! Jika tidak bisa bersikap seperti Halsey, setidaknya jangan terlalu sembarangan! Kau itu perempuan, dan perem-" “Jangan terlalu kelewatan-" “Tidak, Kak. Aku memang ingin dengar,” sergah Atha dengan suara bergetar. Bukan hanya ia, tapi ..., Gadis mana pun akan bereaksi sama jika dikatakan tidak punya malu. “Kesalahan kedua, kau lancang mengubah-ubah nama seseorang, bahkan tanpa persetujuan! Aku punya adik, ya. Dan adikku saja, ia tidak sampai selancang dirimu untuk mengubah-ubah namaku yang sudah kelewatan bagus!” “Oke, lanjut!” seru Alan. Ia tengah berusaha keras menemukan sesuatu yang janggal dari penjelasan Reyhan s****n itu. Kalau perlu, ia akan membuatnya malu sendiri sekalian! “Ketiga, kau menabrak mobilku hingga lecet parah. Selain itu, gara-gara kau menghalangi jalanku, aku juga ikut terlambat dan diberi hukuman hari itu!” “Lanjut!” Alan kembali berseru. “Keempat, kau lancang membaca pikiranku! Melanggar privasiku! Dan merusak nama baikku, di depan kedua s****n-s****n itu!” Reyhan menunjuk Alan dan Johan bergantian. “Untuk alasan yang terakhir, kurasa ..., itu adalah kesalahan Atha yang terfatal. Gara-gara kemampuan ajaibnya membaca pikiran, ungkapan batinmu yang mengatakan bahwa senyumnya manis jadi tidak sengaja ikut terbaca.” Alan mendesah kecewa. “Pulanglah, Rey. Setelah tertidur malam ini, kuharap, kau mulai bersedia mengakui perasaanmu sendiri.” Johan mengangguk membenarkan. “Hm. Semoga lekas jadi pria sejati, ya, Sayang! Bye-bye!” Setelah menyaksikan Reyhan berjalan menjauh dengan langkah gontai, Alan dan Johan sontak saling melirik kemudian terkekeh. “Atha ...? Sini. Jangan menangis lagi,” ujar Johan sembari menarik Atha mendekat. Tangannya mengusap pipi Gadis itu lembut, lalu berlanjut ke rambut setelahnya. “Hm. Terima kasih,” balas Atha pelan. “Ngomong-ngomong ... kau habis dari mana dengan Alan malam-malam begini?” tanya Johan kemudian. Alan tampak muncul dari arah dapur dengan segelas air di genggamannya. “Tadi, karyawan papi ada yang bermasalah. Mereka saling menuduh telah mencuri, dan keduanya tidak ada yang mau mengaku. Makanya ..., aku menjemput Atha saja. Selain tidak rumit dan menguras banyak waktu, memecahkan masalah itu juga bisa membuat papi  mengakhiri hukumanku.” Alan menyempatkan untuk meneguk gelasnya sekali. “Dan akhirnya ..., Atha bisa menyimpulkan pelaku yang sebenarnya, sekaligus memberi tahu juga di mana barang curian si pelaku tersebut bisa ditemukan,” lanjutnya lagi. “Bagus, deh. Ya, sudah. Antar Atha pulang sekarang,” balas Johan akhirnya. Beberapa detik setelahnya, Alan dan Atha pun bergegas pulang, meninggalkan Johan bersama kegalauannya sendirian. ▪▪▪ Setelah berdecak kesal, Reyhan memutuskan untuk memutar balik arah laju mobilnya menuju sekolah Sella. Gadis itu terlalu buru-buru, tadi. Saking buru-burunya, ia bahkan sampai lupa mengambil tasnya yang mungkin ia lepas dari punggung saat keasikan belajar di atas mobil. Sepulangnya dari apartemen Johan semalam, mereka berdua langsung keasikan nonton bersama sampai Sella lupa jika hari ini akan ada ulangan Matematika. Seperti yang diketahui, adiknya itu selalu dituntut mendapat nilai sempurna oleh kedua orang tua mereka di rumah. Makanya, Sella pun mati-matian saja menyempatkan untuk belajar di atas mobil dan mempelajari ulang beberapa materi yang belum sempat dikuasainya secara sempurna. Reyhan menepikan mobilnya cepat, kemudian langsung meraih tas Sella dan bergegas keluar. Setelah beberapa saat tampak sibuk mengetuk-ngetukkan jari di layar ponselnya, kini, benda pipih itu pun sudah berpindah ia tempelkan di kuping sebelah kanan. “Sella? Tasmu ketinggalan. Cepat kemari. Kakak sudah di depan gerbang,” ujarnya langsung. “Aku ... aku Fae, Kak. Sella sedang sibuk menangis, tuh. Biar aku yang ke depan, ya?” “Menangis? Kenapa?” “Gara-gara tasnya.” Reyhan mendengus. “Baiklah. Cepat, ya.” Sembari menunggu Fae datang, ia berpindah menumpukan badan di pintu mobil. Mengedarkan pandangan ke sekitar, yang di jam ini sudah lumayan sepi oleh pelajar SMP yang berlalu-lalang. Sebuah mobil mewah yang juga tampak berhenti tepat di seberangnya membuat Reyhan menoleh dan menontonkan mata ke arah sana. Sesosok Pria paruh baya dengan penampilan berkelas khas-khas pengusaha sukses bergegas keluar setelah pintu mobil sebelah kanan terbuka. Sementara detik berikutnya, pintu mobil sebelah kiri juga ikut terbuka, dan menampakkan sosok Gadis mungil berseragam SMP yang langsung menyusul ke depan mobil bersama Pria paruh baya tadi. Si Gadis gila, rupanya. “Terima kasih, ya, Nak, sudah menolong Bapak. Bapak akan datang ke rumahmu secepatnya, dan menggantikan sepedamu dengan yang baru,” ujar Pria paruh baya itu sembari tangannya mengusap rambut Atha pelan. “Tidak, Pak. Tidak perlu. Saya sangat ikhlas menolong, kok. Lagi pula ..., kerusakan sepeda saya juga tidak cukup parah,” balas Atha sopan, tapi malah berbalik memuakkan di mata Reyhan. “Baiklah. Bapak berutang budi padamu. Tapi kapan-kapan, jika kau butuh sesuatu, jangan lupa menghubungi Bapak, ya? Ini, ambillah.” Pria paruh baya itu tampak mengulurkan sebuah kartu nama pada Atha, dan diterima cepat pula oleh Gadis itu. “Terima kasih banyak, Pak. Saya duluan dulu,” balas Atha semakin sopan, sebelum akhirnya menyalami Pria paruh baya tadi dan berlalu pergi. “Nak?! Siapa namamu?!” Mendengar teriakan itu, Reyhan ikut melirik Atha lalu berpindah pada Pria paruh baya itu lagi. “Atha. Agatha Qyara.” ❀❀❀
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD