Di Tengah Jalan

1452 Words
Selanjutnya, tak ada lagi percakapan yang terjadi. Hanya terdengar deru mobil yang menemani, juga suara klakson yang sesekali terdengar menjerit. Setelah merasakan laju mobil yang kian memelan, Atha lantas melirik ragu-ragu ke arah Reyhan yang tampak bergegas keluar dari mobil. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar dan mendapati suasana yang sudah lumayan sepi. Selain itu, di tiap sisi jalan juga hanya ada pohon yang berjejer rapi tanpa ada rumah yang memauti. Atha meneguk ludah susah payah. “Apa ... mobil Kak Rerey mogok, ya?” gumamnya semakin panik. Tidak, tidak. Ia akan menunggu satu menit lagi saja. Jika dalam waktu itu Reyhan tidak juga kembali ke mobil, maka ia baru akan menyusul keluar. “Tapi ... ini sudah satu menit,” gumamnya kemudian. “Aku takut jika harus berlama-lama lagi ...,” lanjutnya lirih. “Tapi ... bagaimana jika Kak Rerey marah?” gumamnya lagi. Atha menggeleng cepat. Setelah menarik napas sebanyak mungkin, ia lantas membuka pintu, dan menyusul Reyhan di muka mobil. Pria itu tampak sibuk memeriksa bagian depan mobil. Tapi setelah menyadari jika Atha juga menyusulnya keluar, ia menoleh cepat. “Masuk saja. Di sini dingin,” ujarnya sembari fokus memeriksa lagi. “Maksudku ..., ekhem. Maksudku, tidak perlu ikut keluar. Kau bisa mengganggu konsentrasiku,” lanjutnya. Atha tetap mendekap erat kedua lengannya, kemudian melangkah mendekat. “Aku ... aku takut sendirian,” cicitnya. Tanpa memberi sahutan, Reyhan kembali fokus memeriksa lagi. Sementara itu, Atha  memutuskan untuk mengedarkan pandangannya ke sekitar. Sepi. Gelap. Hanya ada suara hewan malam yang mengisi keheningan di antara mereka. “Ekhem.” Atha berdehem, berusaha menetralkan rasa takutnya. “K-Kak Rerey? Aku ... aku takut. Di sini sangat gelap ...,” bisiknya lagi sembari mendekat perlahan dan memegang jaket Reyhan. “A-apa masih lam-" “Ck! Jangan menyentuhku!” Reyhan menepis kasar tangan Atha dari jaketnya. “Masuk ke mobil saja!” lanjutnya lagi. Tapi, Atha tetap kukuh dan tak menurut. Dengan mata berkaca-kaca, ia bahkan semakin mendekat pada Reyhan saja, dan menarik jaket Pria itu lebih erat. Reyhan memejam. Menarik napas sekali, seolah berusaha menahan gejolak membentaknya di tenggorokan. “Apa yang kaulakukan?” tanyanya pelan. Atha menggeleng tanpa melepas sedikit pun tangannya dari jaket Reyhan. “Aku takut ....” “Bukan urusanku. Menjauh sebelum aku yang mendorongmu,” balas Reyhan lagi, masih dengan nada pelannya. Atha semakin menggeleng. Tangisnya bahkan sudah terdengar meski belum terlalu keras. “Kumohon, Kak ..., hiks. Aku takut ....” “Maksudmu? Apa yang kau takutkan?” "Gelap. Aku takut gelap dan tempat sepi. Aku ... aku merasa banyak yang mengawasi. Aku merasa-" Reyhan langsung terkekeh. “Aku ini Pria normal, lho. Aku serius akan memerkosamu jika kau tidak minggir dan berhenti mengganggu konsentra-" “Cukuuup! Hiks!” Atha langsung berjongkok di tempatnya, kemudian menumpahkan tangis di lekukan tangan. Reyhan yang menyaksikan itu juga tidak peduli lagi. Ia kini berpindah memperbaiki mesin mobilnya serius, meski decakan kesal beberapa kali dikeluarkannya setiap isakan Atha terdengar. “Sana. Masuklah,” ujarnya sembari menutup kap mesin. Tapi ..., Atha tak bergerak dari posisinya. Gadis itu bahkan semakin keras terisak, hingga Reyhan tidak sanggup untuk bersikap baik lebih lama lagi. “Hey, Bodoh! Kau dengar aku, tidak, sih?!” teriaknya mulai emosi. “WOY!” “Dengar, tidak, sih?!”  Reyhan berjongkok, kemudian menarik tangan Atha kasar. “Kau ingin tetap di sini saja, ya?!” tanyanya lagi. Atha mendongak sekilas, dengan tangisnya yang semakin mengalun keras. “Tidak mau ...! Hiks. Tidak mau ...!” balasnya menggeleng-geleng. “Ck! Masuk ke mobil, Bodoh! Cepat!” Reyhan kembali menarik tangan Atha. “Tidak mau, Kak! Kumohon, jangan ...! Hiks.” Reyhan meremas kepalanya emosi. Muak. Tidak sanggup untuk bersikap baik lagi. Tidak mau? “TIDAK MAU APA, BODOH?! HUH?! KAU TIDAK MAU PUL-” “Aku tidak mau diperkosa ..., hiks. Tidak mau ...!” Reyhan semakin tercengang-cengang. Saking tercengang-cengangnya, ia bahkan langsung melepas kaca matanya kemudian berpindah menatap Atha penuh sorot emosi. “YA, TUHAN. SIAPA JUGA, SIH, YANG SUDI MEMERKOSA GADIS SERBA RATA SEPERTIMU?! HUH?!” teriaknya benar-benar tak habis pikir. “Tapi kau sendiri yang meng-" “Aku masih terlalu waras untuk berbuat sekeji itu! Cepat, masuk!” Reyhan langsung menarik tangan Atha cepat, kemudian mendorong Gadis itu ke dalam mobil tanpa ampun lagi. Memerkosa dia bilang?! Betapa pun tak punya hatinya ia, perbuatan sekeji itu takkan sampai dilakukannya juga! Memangnya tidak punya otak, apa?! Setelah melajukan mobil, Reyhan melirik Atha. “Kau tidak capek menangis, ya?!” bentaknya semakin kesal. Atha menoleh. “Ma-maafkan aku, Kak ..., hiks. Aku ... aku t-tidak tahu bagaimana cara menghentikan-" “Berisik!” potong Reyhan tidak tahan lagi. Jika bukan karena Johan dan Alan, maka sudah sejak tadi Gadis ini akan ia tinggal di jalanan saja. Terlalu lebay! Cengeng! Merepotkan! Ia tidak suka! “B-berhenti di sini saja, Kak!” Reyhan menoleh sekilas pada Atha, sembari mobilnya yang juga turut ia tepikan. Setelah mengedarkan pandangannya ke sekitar, ternyata, rumah Gadis itu masih terpaut beberapa meter lagi. Ia tahu gara-gara alamat yang dikepoinya dari Sella hari itu. Tapi ..., persetan saja. Bukan dirinya juga, kan, yang akan kelelahan. “Terima kasih,” ujar Atha lagi, sebelum akhirnya menutup pintu mobil. Reyhan ikut melajukan mobilnya juga. Melewati tubuh mungil Atha yang menyusuri g**g sempit dengan langkah gontai, sebelum akhirnya mengerem pelan, dan memundurkan mobilnya lagi hingga sejajar dengan Atha. Atha mengernyit tatkala menyaksikan kaca mobil Reyhan terbuka banyak. Terlebih setelah Pria itu tampak mengulurkan beberapa lembar tisu, dan, “sebenarnya aku tidak suka berbagi tisu dengan orang asing, tapi karena kulihat ingusmu sudah meleleh-meleleh, jadi ... ini.” Atha menerima beberapa lembar tisu yang diulurkan Reyhan tadi. “Aku hanya kasihan, kok. Tapi jika kau tidak mau repot-repot, tidak perlu mengelapnya. Siapa tahu ..., memakan ingus bisa membuat tubuhmu lebih tinggi dan tidak rata-rata amat lagi.” Atha menelan saliva pasrah tatkala Reyhan sudah melajukan mobilnya lagi. Ia lantas berbalik perlahan sembari mulai mengelap sekujur wajahnya lemah. Jika dipikir-pikir lagi, ada untungnya juga ia bisa membaca pikiran orang-orang lewat mata. Karena jika tidak ..., maka mungkin ... hidupnya akan ia lalui dengan penuh tangis seperti saat bersama Reyhan tadi. Gara-gara mengenakan kaca mata, ia jadi tidak bisa membaca pikiran pria itu lagi. Ia jadi tidak bisa membedakan antara ucapan serius dan ancaman lagi. Ia jadi terbatas. Perasaannya jadi sensitif, dan tangisnya juga tak bisa ia kontrol lebih baik. “DASAR ANAK SAMPAH! DARI MANA SAJA KAU KELUYURAN DAN BARU PULANG JAM BEGINI?!” Bersamaan dengan menggemanya teriakan itu, sesosok Wanita paruh baya sudah langsung menarik Atha kasar, kemudian mendorongnya masuk hingga terjerembab ke lantai semen rumah. “Maaf, Bu. Maafkan aku ...,” balas Atha lirih. Wanita itu sudah tampak kembali dengan sebuah sapu lidi di tangan kanannya. “BERAPA UANG YANG PACARMU ITU KASIH?! CEPAT, KELUARKAN!” Atha menggeleng lemah. Tidak punya kekuatan lebih lagi meski sekedar berbicara. “LALU APA MAKSUDMU BARU PULANG DI JAM BEGINI?! KAU HABIS MEMUASKANNYA DI RANJ-" “AKU BUKAN GADIS SEPERTI ITU, BU! Berapa kali aku harus mengatakan-" SREK! SREK! Atha meringis keras tatkala sapu lidi tadi berhasil menghantam sekujur betisnya. Yang semalam saja belum sepenuhnya sembuh, tapi sekarang bahkan sudah dibuat lebih parah lagi. “Kau sudah berani membentak-bentak, ya?! Huh?! Masih mending aku membiarkanmu pergi bersama dengan pria itu! Masih mending juga aku sudi memperlakukannya sebagai tamu!” Wanita itu berkacak pinggang dengan d**a naik turun penuh emosi. “Kau tidak lupa, kan, sudah berapa malam berturut-turut kau selalu pulang malam?! Kau semakin melunjak saja! Andai waktumu beberapa malam ini kaugunakan untuk bekerja, setidak-“ “... sih, aku selalu gagal judi melulu?!” Sosok Pria paruh baya berpenampilan berantakan tampak muncul dari balik pintu. Ia terpaku mendapati Atha sudah terduduk di lantai, dan istrinya yang memegang sebuah sapu lidi di tangan kanannya. “Mengapa kau baru pulang?! Aku mencarimu sejak tadi!” teriaknya sembari langsung menghampiri Atha di lantai. “Mana uang hasil jualanmu tadi siang? Sini. Aku harus melunasi utang-utang judiku lagi,” lanjutnya sembari mulai meraba-raba saku celana Atha. Atha menggeleng lemah. “Tidak ada, Pak ...! Tidak ad-" “Lalu ini apa?! Ini uang, g****k!” Atha menggeleng keras tatkala beberapa lembar uang di sakunya tadi sudah berada di tangan Arman. “Kembalikan, Pak ...! Itu uang untuk modal berjual-“ “Halah, berisik kau! Itu bukan urusanku!” sergah Arman cepat, sebelum akhirnya langsung bergegas bangkit dan meninggalkan rumah. “MAS?! Kembalikan uang itu!” Salma langsung berteriak, kemudian menyusul suaminya yang sama sekali tak mengindahkan. Melihat itu, Atha ikut bergegas bangkit. Secepat mungkin ia berlari masuk ke kamarnya, kemudian mengunci dan menumpukan tubuhnya di belakang pintu. Sepanjang malam, ia terduduk dan lanjut terlelap di sana. Di belakang pintu kamarnya, dengan lekukan tangan yang ia jadikan bantal. ❀❀❀
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD