Chandani's LL 12. Bitter Start

2282 Words
Chandani meremas-remas kedua tangannya. Air matanya masih terus mengalir dari bola matanya. Dia tetap bertahan di hadapan Mama mertuanya, meski rasanya sudah tidak sanggup. “Kenapa kau diam saja? Kau pasti berpikir kalau apa yang aku katakan itu ada benarnya bukan??” sindir Arisha lagi.             Chandani tidak tahan. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Kau harus sadar diri! Kau disini tidak lebih dari seorang benalu! Kau harus paham itu!” ketus Arisha mengucapkan kata terakhirnya.             Dia lalu pergi dari hadapan Chandani yang masih menangis. Tidak peduli jika beberapa pelayan lainnya ikut menyaksikan pembicaraan serius mereka di dapur. …             Dari sudut ruangan, kedua pembantu setia keluarga Zhakaria Afnan melihat dan mendengar langsung ucapan dari Nyonya besar mereka, Arisha kepada Chandani. Setelah mereka lihat Nyonya besar mereka sudah keluar dari dapur, mereka lalu mendekati Chandani. “Non Chandani? Sudah Non, jangan menangis lagi. Jangan diambil hari, Non.” Bi Atik ragu mendekatinya. “Iya, Nona. Sudah, Non. Nanti kalau sampai ada yang melihat Non Chandani menangis, maka akan terjadi masalah lagi, Non. Dan Nyonya Ica pasti akan menyalahkan Nona Chandani lagi,” sambung Bi Susi sekilas melirik Bi Atik.             Mereka bingung harus berbuat apa. Ingin memeluk Chandani, tapi mereka merasa tidak pantas kalau harus memeluk majikan mereka sendiri.             Bagaimana pun Chandani, Bi Atik dan Bi Susi tetap menganggap Chandani sebagai majikan mereka. Karena Chandani merupakan istri dari Zhain. Anak dan cucu satu-satunya keluarga Afnan.             Mendengar ucapan Bi Atik dan Bi Susi, Chandani pun mengusap pipinya. Dan berusaha untuk meredakan air mata yang keluar dari sudut matanya.             Chandani lalu berusaha tersenyum manis di hadapan mereka. Dia mengangguk kecil dan menetralkan perasaan sedih di hatinya.             Mereka merasa terenyuh melihat senyum Chandani. Tidak habis pikir, setelah apa yang baru saja dia alami, dia masih sempat untuk mencetak senyuman di wajah sendunya itu. “Bi, apa saya boleh masuk ke kamar Bibi?” tanya Chandani sopan dan lembut kepada mereka.             Mereka saling melirik satu sama lain. Bukan tidak mau, tapi mereka merasa tidak pantas apabila majikan mereka masuk ke dalam kamar para pembantu. “Kenapa, Bi? Tidak boleh ya?” tanya Chandani mulai tersenyum kecut di depan mereka. “Oh bo-boleh, boleh kok, Non.” ujar Bi Atik sambil tersenyum tipis karena melihat Chandani berwajah sedikit muram. “Tapi, Non? Apa tidak apa-apa kalau Non Chandani masuk ke dalam kamar pembantu? Kamar kami kecil, Non. Sempit dan tidak ber-AC,” sambung Bi Susi kepadanya.             Chandani tersenyum manis, dia lalu menggelengkan kepalanya. “Enggak apa-apa, Bi. Memangnya ada ya peraturan kalau seseorang tidak boleh masuk ke dalam kamar pembantu?” tanya Chandani bercanda sambil tertawa pelan.             Bi Atik dan Bi Susi saling melirik satu sama lain. Mereka heran, terbuat dari apakah hati Nona Chandani mereka ini. Sampai bisa melupakan masalah yang baru saja terjadi. Bahkan sempat membuat dia menangis akibat perkataan yang menyayat hati dari Mama mertuanya sendiri. “Kita disini sama kok, Bi. Bibi disini kan bekerja untuk keluarga Papa. Semua manusia di mata Allah tetap sama kan, Bi? Tidak ada perbedaan diantara kita disini,” ujar Chandani lembut memegang tangan Bi Atik dan Bi Susi.             Mereka hampir saja menangis mendengar ucapan Nona Chandani mereka itu. Hanya mendengar penuturan Chandani, mereka tidak menyangka kalau Chandani memiliki tutur kata yang sangat sopan kepada orang yang lebih tua.             Sangat berbeda dengan Nyonya besar mereka, Arisha Cantara. Bagi mereka semua para pelayan, Arisha memang Nyonya yang baik. Tapi sikapnya sedikit sombong dan cara bicaranya seakan menyiratkan bahwa ada kesenjangan dan batasan antara majikan dan para pembantu.             Banyak para pembantu dan pelayan yang berbisik, kalau seharusnya Nyonya besar mereka itu beruntung mendapatkan menantu seperti Nona Chandani mereka. Walaupun tidak berpendidikan, tidak berasal dari keluarga berada, dan sebatang kara, tetapi Chandani memiliki hati yang baik dan tulus. Sikap dan perilaku yang sopan. Dan lagi Chandani memiliki wajah Asia yang cantik natural. …             Karena ucapan Chandani yang menurut mereka sangat pilu. Mereka akhirnya mengajak Chandani untuk masuk ke dalam kamar mereka. “Ya sudah, Non. Ayo, kita ke kamar kami. Nona Chandani mau masuk ke kamar kami sekarang, bukan?” ajak Bi Atik lalu sedikit melihat sekitarnya.             Bi Susi juga berjaga-jaga. Takut jika Nyonya besar mereka, Arisha akan melihat mereka di dapur bersama dengan menantunya, Chandani. Mereka hanya tidak mau Chandani akan menjadi pelampiasan marah Nyonya besar mereka itu lagi.             Karena mereka sudah tahu, bahwa sejak acara lamaran itu hingga sekarang, Nyonya besar mereka itu selalu saja sensitif apabila ada seseorang menyebut nama Chandani.             Mereka berjalan menuju kamar pembantu yang terletak di sudut dapur. Walau sedikit ragu-ragu, tapi mereka tidak bisa menolak keinginan menantu baru di rumah ini. … Kamar Bi Atik dan Bi Susi.,             Chandani duduk diatas kasur empuk Bi Atik dan Bi Susi yang disanggah dengan kayu jepara klasik. Entah kenapa Chandani merasa nyaman disini. Walau hanya terdapat satu tempat tidur yang ukurannya tidak terlalu besar untuk ditempati oleh dua orang. Dua lemari berukuran sedang. Satu kamar mandi berukuran kecil. Televisi yang dipajang diatas dinding. Serta satu kursi panjang yang terletak di bawah televisi. Baginya kamar ini cukup luas jika dihuni untuk dua orang.             Bi Atik dan Bi Susi saling memandang dan tersenyum sendiri. Mereka juga sangat bahagia karena melihat Nona Chandani mereka kembali menampilkan senyuman manis di wajahnya dengan perasaan yang sudah membaik. “Bi? Saya nyaman disini,” ujarnya senyum sambil memandang Bi Atik dan Bi Susi bergantian. “Eh … iya, Non.” Bi Susi sedikit menundukkan badannya.             Bi Atik terdiam sesaat. Dia pikir kalau Nona Chandani mereka tidak boleh terlalu lama berada di kamar mereka. Karena kalau ada salah seorang majikan mereka tahu, maka Chandani pasti akan kena batu amarah dari Mama mertuanya, Arisha.             Dengan ragu, Bi Atik membuka suaranya. “Ehmm … Non? Maaf sebelumnya jika saya lancing,” ujar Bi Atik terdiam sebentar, ingin mengetahui respon dari Nona Chandani mereka.             Chandani lalu menoleh ke arahnya, begitu juga Bi Susi. “Ehmm … begini, Non. Maaf jika ucapan saya ini sedikit menyinggung perasaan Non Chandani. Tapi, Non Chandani sebaiknya segera keluar dari kamar kami. Kami tidak mau sampai Tuan dan nNyonya besar sampai tahu kalau Non Chandani berada di dalam kamar kami. Maaf jika saya terlihat seperti mengusir Non Chandani dari kamar kami,” ucapnya sopan sambil menundukkan kepalanya.             Chandani terdiam. Dia pikir, apa yang mereka bilang juga ada benarnya. Jika sampai mereka semua tahu kalau dirinya berada di dalam kamar pembantu, mereka pasti akan marah besar. Terutama Mama mertuanya, Arisha. Dia harus menjaga image Mama mertuanya itu.             Pikirnya, dia tidak boleh lagi membuat kesalahan yang semakin membuat murka Mama mertuanya itu. Karena itu pasti akan menimbulkan kebencian yang lebih dalam lagi di hati Mama mertuanya kepada dirinya. “Iya, Bi. Saya mengerti kok,” balas Chandani tersenyum sendu pada mereka.             Dia berjalan mendekati Bi Atik dan Bi Susi yang duduk di kursi panjang dekat nakas mereka, lalu duduk di samping Bi Susi.             Mereka mengernyitkan dahinya. Tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Nona besar mereka itu. “Bi? Apa saya boleh meminta sesuatu sama Bi Atik dan Bi Susi?” tanya Chandani lembut pada mereka. “Apa itu, Non?” balas Bi Susi berbalik tanya.             Bi Atik hanya diam sambil tersenyum ke arah Chandani. “Bi, ap-apa saya boleh memeluk kalian berdua?” tanya Chandani ragu-ragu, dia menundukkan kepalanya sambil memilin jari telunjuknya.             Hati kedua pembantu itu terasa sakit dan sesak. Mereka sungguh tidak tahan melihat keadaan Nona Chandani mereka yang seperti ini. Seperti meminta perlindungan di rumah ini. “Bo-boleh kok, Non.” Bi Susi ragu menjawabnya sambil mengangguk iya.             Chandani lalu memeluk Bi Susi. Tak sadar bahwa dia mulai meneteskan air matanya. “Bi? Apa saya boleh memohon sesuatu pada Bibi berdua?” tanyanya lagi masih tetap memeluk Bi Susi. “Boleh, Non. Apa itu, Non?” tanya Bi Atik yang berada dibelakang Bi Susi sambil mengelus lembut puncak kepala Nyonya mereka itu.             Tanpa mereka sadari, mereka juga ikut meneteskan air mata. Walau mereka belum mengenal sepenuhnya Chandani, tapi sikap dan ketulusan menantu baru di rumah ini jelas terlihat dari sorot mata dan tutur bahasanya yang sangat sopan sekali.             Bi Susi mengelus lembut punggung Nyonya mereka. Dia membiarkan Chandani menangis di dalam pelukannya. “Bi? Izinkan saya untuk menganggap Bi Atik dan Bi Susi sebagai Ibu saya sendiri. Apa boleh Bi?” tanyanya dengan suara menahan isakan tangisnya lebih kuat. “Boleh, Non. Boleh … sudah ya, Non? Jangan menangis lagi,” jawab Bi Susi tanpa berpikir panjang. Baginya menenangkan Nyonya mereka adalah hal utama saat ini. “Iya, Non Chandani. Jangan menangis lagi. Ayo, kita keluar sekarang, Non.” Bi Atik mengajaknya hati-hati karena perasaannya mulai tidak enak.             Chandani lalu melepas pelukannya dari Bi Susi. Lalu berdiri dan berjalan ke arah Bi Atik.             Bi Atik yang mengerti, dia lalu berdiri dan memeluk Nyonya Besar mereka, Chandani. … Beberapa menit kemudian.,             Mereka lalu keluar dari kamar. Dan kembali berjalan menuju dapur. Deg!             Mereka berhenti melangkahkan kakinya. Saat melihat seorang wanita sudah berdiri disana. Arisha bersedekap di dadanya dan menatap tajam ke arah mereka bertiga. Tidak ada tatapan bersahabat dari ekspresi wajahnya saat ini. ..**.. Yah! Arisha tahu kalau Chandani bersama dengan mereka berdua. Awalnya Arisha hendak menyuruh Chandani untuk melakukan apa yang dia perintahkan. Dia pikir kalau Chandani mungkin masih berada di dapur. Tapi setelah dia kesana, ternyata tidak ada Chandani disana. Dia lalu mencari Chandani di setiap sudut rumah. Bahkan bertanya kepada beberapa pelayan, tetapi mereka juga tidak melihatnya. Dia sempat berpikir kalau Chandani sudah kabur dari rumah mereka karena ucapan pedas darinya. Tapi setelah dia mencarinya kesana-kemari, dia baru sadar kalau Bi Atik dan Bi Susi juga tidak dia temukan sedari tadi. Dia yakin, Chandani pasti bersama dengan mereka. Dia lalu berjalan menuju kamar Bi Atik dan Bi Susi. Benar dugaannya, terdapat suara samar-samar di dalam sana. Walau dia tidak bisa mendengar dengan jelas, tapi dia yakin kalau dia mendengar suara Chandani di dalam sana. Dia memilih untuk pergi dari kamar itu, dan menunggu mereka di dapur. Dia akan menunggu mereka bertiga keluar dari kamar. Dan tidak sabar untuk memberi hukuman pada Chandani karena sudah sembarangan memasuki ruangan yang ada di rumahnya ini tanpa seizinnya. *** Arisha bersedekap di dadanya dan menatap tajam ke arah mereka bertiga. Tidak ada tatapan bersahabat dari ekspresi wajahnya saat ini.             Bi Atik dan Bi Susi lalu melepas pegangan tangan mereka dari lengan Chandani. Mereka lalu pergi dari dapur menuju halaman belakang rumah.             Chandani kembali bergemetar. Dia takut. Apa lagi sekarang, apa lagi yang akan Mama mertuanya lakukan padanya. “Ikut aku ke kamar sekarang,” pinta Arisha pada menantunya itu. Dia berjalan menuju kamarnya.             Chandani, dengan perasaan takut dan bercampur aduk. Dia mengikuti Mama mertuanya dari belakang. “I-iya, Ma.” Dia berusaha tegar dan berpikiran positif mengenai apa yang akan dilakukan sang Mama mertua terhadapnya. … Kamar Zhaka dan Arisha., Plak!! Plak!!             Arisha menampar kedua pipi Chandani secara bergantian. Amarahnya sudah menggebu.             Chandani meringis kesakitan. Dia mencoba untuk menahan air mata, walau kakinya saat ini sudah sangat melemas. “Berani sekali kau berkeliaran di rumah ini tanpa seizinku! Kau pikir kau ini siapa, huh?!” bentak Arisha dengan suara emosi.             Satu ayunan tangan kembali dilakukan Arisha sekuat tenaganya. Plak!! Buughhh!!             Arisha menampar kembali pipi kiri Chandani hingga Chandani tersungkur ke lantai. “Aahhkk! Ampun, Bu. Ssshh …” Chandani sangat pilu dengan suara pelan. Dia pun mengeluarkan air matanya.             Arisha memegang kasar lengannya seraya menyuruh Chandani untuk berdiri. “Cepat berdiri!” bentak Arisha lagi.             Sesaat Arisha sadar, dia melepas cekalan tangannya dari lengan menantunya itu. Dia berbalik membelakangi Chandani. ‘Apa yang sudah kulakukan? Kenapa aku menjadi seperti ini??’ bathin Arisha berbicara sendiri, seakan dia sadar kalau yang dia lakukan barusan adalah salah.             Dia kembali menghadap Chandani yang masih memegang pipinya sambil sesekali sesenggukan menahan tangisnya. “Jangan sok menangis di depanku! Jadi, diamlah!” bentak Arisha masih mengontrol nada bicaranya.             Chandani seketika diam dari isakan tangisnya. Walau wajahnya sudah sangat perih sekali.             Arisha memperhatikan pipi Chandani, terlihat bekas lima jarinya di wajah putih mulus menantunya itu. Entah kenapa jantungnya terasa nyeri melihatnya. Deg!             Hatinya sesak. Dadanya terasa sesak sekali sekarang. Kenapa perasaannya seperti ini kembali muncul kala dia melihat menantunya berwajah seperti ini.             Chandani memberanikan diri untuk berbicara. “Bu? Kenapa ibu bersikap kasar sama Chandani? Kalau Chandani ada salah sama ibu. Tolong maafkan Chandani, Bu. Chandani minta maaf,” ujar Chandani dengan nada pelan sambil menitihkan air matanya.             Arisha diam menatap manik mata menantunya itu. “Bu? Chandani tahu, Chandani tidak pantas bersanding dengan Mas Zhain. Tapi apakah tidak ada kesempatan untuk Chandani menunjukkan bakti dan hormat Chandani untuk keluarga ini?” tanyanya lagi tanpa ragu.             Dia pikir, tidak masalah jika Mama mertuanya akan memarahinnya habis-habisan dan menamparnya kembali. Yang penting dia sudah mengatakan sesuatu yang mengganjal di hatinya. “Dengar! Aku tidak sudi menerimamu sebagai menantuku! Tidak akan pernah sampai kapanpun! Kau dengar itu!” bentak Arisha di depan Chandani dengan satu jari telunjuk terangkat.             Chandani menggelengkan kepalanya sambil terus menitihkan air matanya. “Satu lagi, jangan pernah menyentuh apapun yang ada di rumah ini selain aku yang menyuruhmu, kau mengerti?!” ketusnya pada Chandani. ”Kau hanya boleh menjelajahi beberapa tempat saja di rumah ini! Tempatmu hanya di dapur, ruang tamu, kamar putraku, dan teras depan! Kau mengerti?!” ketus lagi. “Iya, Bu. Chandani mengerti,” jawabnya mengangguk iya dengan suara serak akibat menangis. “Sekarang, keluarlah! Cepat keluar!” bentak Arisha dengan nada sedikit pelan. *** *** -Chandani Oyuri- Bu.. Apa salah Chandani ? Apakah Chandani begitu buruk sehingga Ibu sungguh tidak mau menerima Chandani menjadi menantumu ? Apakah salah kalau Chandani meminta itu kepada kalian yang ku sayang Bu.. Maafkan Chandani, jika Chandani membuatmu kesal Chandani berjanji, akan menjadi menantu yang baik di rumah ini Chandani berjanji, tidak akan mengecewakan kalian semua Terutama suamiku, Mas Zhain Chandani berjanji akan menjadi istri yang baik untuk Mas Zhain
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD