Hari- hari Nadhira di rumah baru mereka terasa nyaman, terlebih dia merasa Adam lebih memperhatikannya.
Hari ini tepat satu minggu mereka tinggal di rumah yang Adam sewa. Dan hari ini juga Nadhira berencana untuk memberitahu tentang kehamilannya pada Adam, terlebih saat ini dia sering merasa mual.
Nadhira tak ingin Adam mengira jika dia sengaja menyembunyikannya.
Nadhira meraih ponselnya untuk menghubungi Adam yang belum juga pulang, sejak siang dia sudah menyiapkan kejutan untuk suaminya itu.
Sebuah cake yang dia buat sendiri juga masakan kesukaan Adam, tak lupa kado berisi sebuah testpack dan laporan tentang kehamilannya sudah tersaji cantik di atas meja, kini dia tinggal menunggu Adam pulang.
Namun sudah lewat pukul enam sore, Adam belum pulang juga.
Apakah Adam mengambil lembur?
Nadhira masih menunggu Adam menerima panggilannya, hingga dia berniat mematikan telepon karena berpikir Adam sibuk, barulah terdengar suara berat suaminya.
"Hallo, sayang?" sapanya.
"Hallo, Mas. Kamu kok belum pulang sih, udah jam enam loh?" Nadhira masih tersenyum, tangannya memainkan tali pita di atas kotak kado di depannya.
"Iya, Mas lupa bilang sama kamu, Mas ada lembur." gerakan Nadhira terhenti, begitupun senyumannya yang tiba-tiba memudar.
"Lembur?"
"Iya, Pak Santos mau Mas kerjakan proyek baru." Pak Santos adalah atasan Adam di kantor.
"Hm, ya udah deh, gak papa." meski Nadhira merasa kecewa, namun Adam juga memiliki tanggung jawab tentang pekerjaannya.
"Gak papa kan kalau kamu makan malam duluan? Gak usah tunggu Mas, ya?!" Nadhira kembali bergumam untuk mengiyakan perkataan Adam "Ya, udah Mas balik kerja dulu."
Nadhira menghela nafasnya saat matanya tertuju pada hidangan di atas meja.
"Gagal lagi deh." tangannya terulur untuk membuka kotak hadiah di depannya lalu menatap isi di dalamnya, lama Nadhira terpaku disana hingga sebuah suara mengingatkannya.
"Ya kali lo curiga laki lo selingkuh."
"Tapi, ya, sumpah gue gak pernah liat dia lirik cewek lain di kantor, padahal cewek-cewek kantor banyak yang idolain laki lo, bisa di bilang sekali dia ngedip cewek-cewek pasti ngejar dia."
Nadhira menggeleng, lalu membuka ponselnya untuk menghubungi Amel "Hallo, Mel, apa kabar?"
"Baik, gimana sama lo?"
"Gue baik, Mel lo masih di kantor gak?"
"Iya nih gue di minta lembur, biasa lagi sibuk- sibuknya." Nadhira menghela nafasnya lega, itu berarti Adam tidak berbohong.
"Iya lah resiko bawahan kan nurut sama bos."
"Ya, gitu deh."
Nadhira tersenyum "Oh ya, Mel bisa minta tolong gak?"
"Hm, apa?"
Nadhira memejamkan matanya "Gue tadi hubungi Mas Adam, tapi hapenya gak aktif, bisa tolong-"
"Loh, Pak Adam udah pulang kok."
Degh..
"Hah?"
"Iya, tadi gue lihat dia pulang awal."
"Bu- bukannya kantor lagi sibuk?"
"Ya, tetep aja kan buat yang punya jabatan kayak laki lo bisa kerja dari rumah."
Hening, hingga suara Amel kembali terdengar "Kenapa emangnya, laki lo belum pulang?"
Nadhira tersadar dari lamunannya "Enggak, mungkin masih di jalan, gua bilang kan nomernya gak aktif." Nadhira terkekeh menutupi hatinya yang gelisah, pemikiran buruk tiba-tiba terlintas di kepalanya.
"Oh, gitu, ya tunggu aja kali bentar lagi nyampe ... eh, Nad udah dulu ya, ada pengawas." Amel menutup panggilannya menginggalkan Nadhira yang masih terpaku dengan ponsel di tangannya.
Nadhira mengerjapkan matanya lalu kembali melihat ponselnya saat sebuah pemikiran terlintas, dengan cepat Nadhira menekan nomer Galuh untuk menghubungi ayahnya itu.
"Hallo, Nad." Nadhira mengigit ujung kukunya saat mendengar jawaban dari sebrang sana.
"Hallo, Yah, apa kabar?" tanyanya berbasa-basi.
"Baik, gimana kamu?"
"Aku juga baik, Ayah lagi dimana?"
"Ayah di pabrik, kenapa?"
"Enggak, udah sore kenapa Ayah belum pulang?"
"Lagi banyak pesenan, jadi Ayah bikin lemburan buat anak- anak."
"Hm, gimana kabar Mama Elisa sama Livia, Yah."
"Mereka baik, hari ini Elisa bawa Livia jalan- jalan ke pasar malam, katanya Livia mau naik komedi putar."
"Oh, terus kenapa Ayah gak ikut aja, kan bisa main sama- sama."
"Maunya, tapi Ayah lagi sibuk akhir- akhir ini."
"Hm, ya udah, kapan- kapan aku sama Mas Adam berkunjung ke rumah, ya Yah. Ayah jaga kesehatan."
"Ya, kamu juga."
Nadhira menghela nafasnya beberapa kali untuk menghilangkan pikiran buruknya.
"Gak mungkin Mas Adam pergi sama Elisa kan?" gumamnya.
"Tapi, kenapa dia bohong? dan bilang kalau dia lembur?" Nadhira meremas rambutnya frustasi. "Gak bisa terus begini, bisa- bisa aku gila." Nadhira beranjak untuk merapikan meja makan, percuma saja, kejutan yang sudah dia buat berakhir gagal, sebab Adam akan pulang malam.
Saat Adam pulang, Nadhira memejamkan mata, dia yang sebenarnya belum tidur memilih pura-pura tidur untuk menghindari percakapan, perasaannya yang sejak tadi gelisah merasa tak perlu dia ungkapkan dia takut itu malah membuat rumah tangganya dipenuhi keraguan.
Karena mungkin saja itu hanya sekedar perasaannya saja, dia percaya Adam tak mungkin mengkhianatinya.
Nadhira mendengar suara langkah Adam mendekat, lalu duduk di sebelahnya.
Pria itu menarik selimutnya untuk menutupi seluruh tubuhnya dan mengecup dahinya dalam sebelum beranjak dan terdengar pintu kamar mandi terbuka lalu tertutup.
Nadhira membuka matanya kembali setelah memastikan Adam tidak ada, merubah posisi tidurnya menatap langit- langit kamarnya, dia tak boleh mencurigai Adam, pria itu bahkan sudah membuktikan jika dia melakukan permintaannya untuk pindah dari rumah ayahnya.
Nadhira mengusap permukaan perutnya lembut "Kita akan kasih tahu Papa tentang kamu, pasti Papa senang." Nadhira menghela nafasnya dan tersenyum, dia harus segera menyingkirkan pemikiran buruk tentang suaminya, karena dasar dari sebuah pernikahan adalah kepercayaan terhadap pasangan.
Jadi, Nadhira akan berusaha berfikir positif mulai sekarang, terlebih pemikiran negatif ini tak baik untuk janinnya, mengganggu pikiran warasnya hingga jika terus dia biarkan, mungkin dia akan gila.
Nadhira mendudukkan dirinya dan melihat jam di dinding kamarnya, pukul 10 malam, di saat yang sama Adam keluar dari kamar mandi, dan nampak terkejut "Mas berisik dan bangunin kamu ya?"
Nadhira menggeleng "Mas udah makan?"
"Belum." Nadhira mengerutkan keningnya menatap Adam dengan kesal.
"Kamu gimana sih Mas, gimana kalau sakit? biarin perut gak diisi." Nadhira beranjak mengikat rambutnya dan keluar kamar.
Adam tersenyum dan mengikuti Nadhira "Harusnya kamu makan, pesen makanan kek." langkah Nadhira terhenti lalu memejamkan matanya mengingat Adam berbohong dan mengatakan dia lembur.
Melihat Nadhira berhenti, Adam pun mengeryit "Kenapa?" Nadhira menggeleng, lalu melanjutkan langkahnya turun ke lantai satu untuk menuju dapur.
Nadhira menghangatkan masakan sementara Adam duduk di depan meja bar di depannya, menopang dagu dan memperhatikan Nadhira.
"Kenapa kamu liatin aku kayak gitu?" Nadhira tersenyum salah tingkah.
"Emang gak boleh liatin istri cantikku."
Nadhira tertawa "Bisa aja gombalnya."
Masakan sudah hangat dan Nadhira menyajikannya di depan Adam "Lain kali, makannya jangan telat Mas, kamu suruh aku makan, malah kamu sendiri gak makan."
Adam tersenyum "Sebenernya aku cuma mau masakan kamu aja, abis makanan diluar beda selera, kalau masakan kamu udah pasti enak." ucapnya dengan bangga.
"Kamu, nih." Nadhira terkekeh, dia duduk di sebelah Adam dan memperhatikan Adam yang makan dengan lahap.
"Oh, ya, Mas. Tadi aku telepon Amel dia juga lembur kan?"
Uhuk! Adam tersedak makanan, dan Nadhira dengan segera memberikan air minum "Hati- hati dong, Mas."
"Kamu tahu kan Mas, dasar pernikahan itu sebuah kepercayaan, aku harap jangan hilangkan kepercayaan aku terhadap kamu." Adam mendongak menatap Nadhira yang tersenyum.
"Aku akan mencoba menutup mata dan telinga aku, dan tetap percaya sama kamu, tentu saja selama kamu juga menanamkan kepercayaan itu."