Ratu Dewi Basundari. Gadis keturunan Sunda tulen, bukan blasteran dari suku manapun. Bertubuh tidak terlalu tinggi, kulit yang kuning langsat, hidung pesek, berdahi lebar, dan pipi yang tidak tirus. Meski segala detail pada tubuhnya tidak memenuhi kriteria cantik ala wanita Korea, namun bila semua itu dipadukan menjadi satu kesatuan seorang gadis Sunda, Ratu Dewi Basundari, terlihat cantik, penuh pesona, dan sangat Indonesia.
Ditambah kecerdasannya dalam bidang akademis, olahraga dan kesenian menjadi nilai tambah gadis itu. Pasalnya, tidak ada satu lomba pun yang ia ikuti tanpa membawa medali kemenangan saat kepulangannya. Hal itu membuat Ratu Dewi Basundari, benar-benar seperti seorang 'Ratu' dalam segala hal.
Belum lagi kecerdasan dalam mengatur emosi dan mimik muka, Ratu Dewi Basundari paling ahli dalam hal terlihat baik-baik saja di depan orang lain. Ia tidak menunjukkan emosinya. Bukan hanya sekedar wajah datar ala poker face, tapi senyum manis dengan apel pipi yang tetap merona meski dalam hatinya sedang meronta meluapkan amarah. Siapa yang mampu melakukan hal itu? Tidak ada! Tapi Ratu Dewi Basundari, Bisa!
Hal inilah yang sangat disukai oleh Sonya Fatmala, seorang direktur pemasaran di perusahaan Global Chem. Bekerja sebagai seorang direktur yang diasisteni oleh Ratu Dewi Basundari, bagaikan menangkap ikan dalam kuali menggunakan jaring. Sangat-sangat mempermudah. Delapan tahun berkolaborasi, mereka bagaikan pistol dan amunisi yang bekerja sama.
Kini sekretaris cantik itu bukan lagi bertuan pada Sonya Fatmala, melainkan pada seorang Harry Lesmana, CEO di perusahaan Global Chem yang masih muda, tampan dan tentu saja kaya raya.
Awalnya itu menjadi kebanggaan bagi seorang Ratu, namun pada akhirnya ia menyesali rasa bangganya itu. Belum satu hari, ia sudah merindukan Sonya Fatmala, sahabat sekaligus mantan bosnya.
"Aku harap kau bisa beradaptasi dengan cucuku. Aku percaya kemampuanmu, Ratu!" Harapan dan sanjungan dari seorang pria beruban mantan CEO Global Chem ini tertuju untuk Ratu.
Ia hanya bisa tersenyum menggambarkan kesanggupannya yang bertolak belakang dalam hatinya.
"Terima kasih atas kepercayaan anda, Pak. Saya sungguh senang bisa melihat anda hari ini." Itu bukan basa-basi, itu kesungguhan. Ratu memang sangat senang ketika terdengar seseorang mengetuk pintu dan masuk ke ruangan Harry.
Karena kedatangan Pak Bagus lah, yang menghentikan obrolan konyol Harry saat ia mengutarakan ingin menikahi Ratu.
"Harry! Ini adalah pertama dan terakhir kalinya aku menjengukmu di perusahaan, aku senang kau bisa langsung mengerti keadaan di Global Chem hanya dalam waktu singkat. Besar harapanku pada kalian untuk kemajuan perusahaan ini!" Bagus menatap Harry dan Ratu.
"Kau bisa mengandalkanku, Kek!" Wajah serius Harry terlihat di depan kakeknya.
Ratu sungguh takjub pada transformasi Harry yang terjadi hanya dalam beberapa detik saja. Ketika berbicara dengan kakeknya, Harry terlihat sangat berwibawa, image sebagai pemimpin yang kompeten terwujud pada Harry. Namun mengapa sebelumnya Harry terlihat seperti ABG dewasa yang masih labil saat di depan Ratu saja?
"Aku tau yang kau pikirkan, sayang ...," ujar Harry dengan lirih di depan Ratu yang sedang melamun.
Kini mereka hanya berdua saja. Bagus dan asistennya sudah pergi dari ruangan Harry. Dan wajah Harry berubah menjadi seperti yang sebelumnya.
"Kau pasti sedang berpikir tentang aku yang sangat serius saat membicarakan perusahaan dengan kakek, ya, kan?" Harry tersenyum menyindir. "Jika kau berpikir bahwa aku adalah anak muda yang hanya tau bersenang-senang, itu artinya kau salah menilaiku, Sweety!" tegas Harry tepat di hadapan Ratu.
Langkahnya begitu luwes, gerakannya begitu sensual, kini ia sudah berada di belakang Ratu. Membelai leher jenjang gadis itu dengan punggung tangannya, meniupkan napas hangat pada tengkuknya, Harry adalah penggoda wanita yang cukup ulung. "Don't judge a book just from the cover," desahnya tepat di telinga Ratu.
Suara sensual tersebut membuat gadis itu meremang dan beberapa titik saraf sensitifnya melayangkan sinyal yang membuat gadis itu tak nyaman.
Namun Ratu adalah Ratu, berusaha untuk tetap berdiri tegak. Mengabaikan bulu kuduk yang berdiri dan sensasi geli akibat tiupan-tiupan nakal dari seorang Harry.
Tidak ada geliat, tidak ada balasan, apalagi desahan manja.
"Maafkan saya, Pak! Saya tidak memikirkan apapun tentang anda!" serunya membalas pernyataan Harry. "Dan saya juga tidak berani memberi penilaian pada anda seperti yang anda katakan," tambahnya.
"Oh, jadi kau menuduhku bila aku telah salah paham? Kau menilaiku tidak pandai memahami pemikiran seseorang?" pancing Harry kali ini.
"Saya sama sekali tidak membahas mengenai kemampuan anda, Pak Harry. Saya hanya berkata jika saya tidak memberi penilaian apa-apa pada Bapak!" tegas Ratu.
"Tapi kau menyangkalnya, Nona Ratu!"
"Saya hanya meluruskan."
"Ratu ...!"
"Iya, Pak!"
"Berapa usiamu?"
"Usia saya 32 tahun, Pak."
"Kau lebih tua dariku ternyata. Jadi ... aku harus memanggilmu apa?" Tiba-tiba saja Harry mengalihkan pembicaraan.
"Saya hanya sekretaris anda, Pak. Anda cukup memanggil nama saya."
"Kau benar! Tapi ... kau adalah calon istriku!"
Ratu hanya tersenyum mencoba untuk mengontrol emosinya. "Namaste," ujarnya dalam hati.
"Apa ada hal PENTING yang bisa saya bantu, Pak? Jika tidak ada yang PENTING maka saya akan kembali ke bangku saya di luar." Ratu menegaskan kata PENTING agar Harry berhenti bermain-main.
"Emmm ada. Buatkan aku kopi!"
"Baik, Pak!"
Meski ini yang pertama kali mendapat perintah untuk membuat kopi dari Harry, namun Ratu tak perlu bertanya kopi seperti apa yang diinginkan oleh seorang Harry Lesmana. Bukan seorang Ratu jika ia tak tahu selera kopi milik bosnya. Semalaman dia mempelajari segala hal mendetail mengenai Harry.
Espresso double shot, no sugar, dengan kandungan kopi robusta empat puluh persen. Selera yang mengerikan menurut lidah Ratu.
Enam puluh mili liter Espresso double shot dalam sebuah cangkir kopi tertuang untuk sang bos baru, Harry.
Ratu segera meninggalkan mesin espresso dan menuju ke ruangan Harry kembali. Ngomong-ngomong mesin espresso, di lantai ini terdapat dapur khusus untuk menyediakan sajian bagi sang CEO.
Tapi, apakah ketepatan takaran secangkir kopi akan menjadi nilai lebih di mata Harry? Ratu tidak boleh terlalu banyak berharap pada bos nya yang sangat ajaib ini.
Sluuuurp
Crema menempel di filtrum bibir Harry, meninggalkan jejak buih-buih kecil berwarna kuning kecoklatan di bibir atasnya.
"Ratu ...?" Harry memutar-mutar telunjuk di atas kopinya.
"Iya, Pak?" Mata Ratu langsung tertuju pada telunjuk Harry.
"Pengaduknya!"
Ratu terkesiap, ia pikir kopi yang berasal dari mesin espresso tak perlu diaduk lagi. Selama bersama Sonya, ia tak pernah membuat kopi karena sahabatnya itu adalah pecinta milk tea, no coffee in her life.
"Maafkan, saya! Akan segera saya ambilkan."
Sambil menjilat crema pada bibir atasnya ia berkata, "Tak perlu terlalu tegang, Queen! Hal seperti ini tidak akan mengurangi gajimu!" Harry berteriak agar terdengar oleh sekretarisnya itu, karena Ratu sudah pergi kembali ke dapur.
Pria itu tersenyum manis memperlihatkan lesung pipitnya. "Ini sangat menyenangkan, Ratu," desisnya sambil membayangkan wajah Ratu yang memerah, saat gadis itu menyadari ia sedang melakukan kesalahan.
"Pak, ini pengaduknya. Silakan!" Ratu menyodorkan sebuah sendok pengaduk untuk Harry begitu ia kembali.
Harry menerima sendok pengaduknya.
"Kau tau, Ratu? Begitu keluar dari filternya, espresso ini akan membentuk lapisan paling pekat yang mengendap di dasar cangkir. Lapisan ini disebut heart, jantung. Sama seperti fungsi jantung pada manusia, heart pada espresso ini juga bagaikan jiwanya kopi." Harry masih terus memutar-mutar sendoknya membentuk pusaran dalam cangkir.
"Jenis kopi yang digunakan dalam sebuah espresso, akan terasa berbeda-beda melalui heart-nya. Bisa dikatakan, heart ini adalah identitasnya kopi." Harry masih melanjutkan penjelasannya.
"Bagiku, segelas espresso ini melambangkan seorang lelaki. Sementara heart yang ada di dasar espresso--" Ting ting, Harry menggantung kalimatnya sambil mengetuk dasar gelas hingga menimbulkan bunyi nyaring akibat peraduan sendok dan gelas." --adalah seorang wanita belahan jiwa dari lelaki itu. Kenapa? Karena kesuksesan seorang laki-laki dapat dilihat dari wanita yang berada di belakangnya, wanita itu adalah identitas dari laki-lakinya." Harry menuntaskan penjelasannya sebelum menyeruput kopi lagi.
Sementara itu, Ratu mati-matian menahan bibir bawahnya agar tidak jatuh dan menganga. Seorang Harry ternyata bisa juga berfilosofi? Ini baru hari pertama, sepertinya Ratu harus lebih bersiap-siap untuk kejutan lain di hari berikutnya.
"Ratu ...?"
"Iya, Pak?"
"Kau tidak punya pekerjaan lagi?"
"Ah, ada, Pak."
"Kenapa kau tidak kembali pada bangkumu? Apa kau masih terpesona padaku dan masih ingin lebih lama di ruangan ini?"
Kepalan tangan Ratu terbentuk, namun ia tetap berusaha memancarkan senyuman dan menahan kata-kata kasar di hadapan bosnya.
"Ah, tidak, Pak! Baiklah, saya akan kembali."
Ratu berbalik dan meninggalkan ruangan bosnya.
"Aku bisa memindahkan mejamu ke dalam jika kau ingin." Harry berkata tepat saat Ratu menutup pintu ruangan itu dari luar.
Tentu saja Ratu langsung menyebik begitu pintu ruangan bosnya ia tutup sambil menghentak-hentak kakinya.
Seandainya itu bukan bosnya, pasti sudah ia lempar dengan sepatu sejak tadi.
"Fyuuuh! Namaste."
*
Lagi-lagi, lesung pipi Harry muncul karena senyumnya begitu ia menggoda Ratu. Entah apa yang mendasarinya, namun wajah serius Ratu begitu menyenangkan bila ia buat untuk menahan kesal.
"Ratu ...," desis Harry menyebutkan nama sekretarisnya. "Aku tidak tau apa kau lupa atau bagaimana? Tapi aku tidak akan pernah berhenti mengingat kejadian itu, Ratu," gumamnya seorang diri. "Dan akan kupastikan untuk membuatmu mengingat semuanya!"
Pria itu pun bangkit dari duduknya ia menikmati pemandangan padatnya kota dari lantai enam kantornya. "Begitu membosankan," keluhnya.
Harry berjalan dan mengintip ke arah jendela depan ruangannya. Ia ingin melihat apa yang sedang dilakukan oleh wanita itu.
Pikiran jahil kembali muncul di benaknya.
Belum ada lima menit Ratu duduk di kursinya, telponnya sudah berdering.
"Halo?"
"Iya, baik, Pak."
Ratu langsung menggunakan kembali sepatunya dan berdiri. Ia masuk ke ruangan bosnya yang ternyata laki-laki itu sudah berdiri di balik pintu.
Dengan sopan, Ratu membungkuk dan mempersilakan bosnya untuk keluar.
"Silakan, Pak!"
"Terima kasih, Nona Ratu."
Tidak ada protes kali ini, Harry berjalan mendahului Ratu. Namun ia tiba-tiba menghentikan langkahnya sehingga membuat Ratu pun ikut berhenti.
Membuka sikunya, Harry pun menoleh pada Ratu yang ada di belakangnya. "Kau mau bergandengan denganku?"
*
Bersambung~