CINTA ITU APA?

1787 Words
Ada rasa keterkejutan hinggap usai Mya membuka pintu kamar pagi ini, seseorang juga berdiri di depan kamarnya, padahal tempo hari laki-laki itu baru keluar jika Mya sudah berangkat ke kantor. Tatapan Dewa pun lebih dingin dari biasanya, ia lekat pada Mya tanpa berkedip sama sekali, tapi perempuan itu bersikap tak acuh dan melangkah melewatinya—sebelum tangan Dewa menahan lengan kanan Mya, begitu istrinya berhenti dan menoleh ia luruhkan tangannya dari lengan Mya, tak ingin menyentuhnya lebih lama. Mya bersidekap, tatapannya pada Dewa pun sedingin sikap laki-laki itu sekarang, sentuhannya tadi mungkin menyalurkan sesuatu, atau hal lain memang membuat Mya jadi tampak berbeda. "Apa lo ...." Dewa menarik napasnya, menatap ke arah lain. "Apa lo bakal bilang soal hubungan gue sama Marisa ke orangtua gue?" Jelas sudah ketakutan yang diperlihatkan Dewa, jadi ia sengaja menunggu Mya keluar kamar dan bangun lebih pagi untuk menanyakan rasa penasaran yang membuat ia tak bisa terlelap semalam. "Kamu takut?" Suara Mya seperti menantang. "Takut kehilangan atau takut untuk hal lain?" Keberaniannya meningkat sejak kejadian semalam. "Jangan basa-basi, tinggal jawab aja." Dewa juga mulai geram, ia paling menginginkan jawaban sejelas-jelasnya sekarang. Mya maju selangkah, ia menunjuk d**a Dewa. "Aku tanya sama kamu, Wa. Apa dalam kontrak itu ada catatan tentang hubungan kamu sama Marisa yang nggak bisa diberitahukan ke orangtua kamu? Apa ada catatan jika suami berhak berkhianat pada istri—" "Cukup!" bentak Dewa, "kita ini cuma main-main, kita cuma pura-pura, nggak ada cinta, nggak ada apa pun antara kita." Ia tengah menaikan rasa kesalnya pada tingkat tertinggi, tak hanya menyakiti Mya dengan sengaja, tapi berani membentak istri yang baru dinikahinya berapa hari lalu, janji di depan pendeta jelas semuanya palsu. Kalimat sarkas Dewa tadi membuat Mya semakin mengerti di mana posisinya, di tempat apa seharusnya ia berada, yang jelas bukan di samping Dewa, tapi di belakangnya dan sabar menunggu hingga Dewa menoleh saat sosok Marisa berdiri di depan Dewa. Mya mengangguk seraya tersenyum miris, ia benar-benar menyedihkan, bukan? Dewa menolaknya secara terbuka, tak ada satu pun kata yang bisa membuat Mya merasa lega, rasa sakitnya justru kian terlunta-lunta. Mya seperti tengah berdiri di tengah gurun pasir yang begitu terik tanpa siapa-siapa, matahari seolah berada di atas kepala, menyiksa saat ia rasakan panas dan haus tanpa menemukan setetes air. Mya alihkan pandang begitu Dewa menatapnya, ia benar-benar kesal mengapa harus secengeng itu menjadi perempuan, kenapa ia hanya bisa menangis, kenapa Mya tak bisa jadi tukang sulap yang akan memindahkan Dewa ke tempat lain—di mana Mya takkan bisa melihat laki-laki jahat itu untuk selamanya. Sepertinya Mya tersesat ketika datang ke apartemen Dewa, mungkin ia salah tempat. "Kenapa cuma diam? Bukannya semalam lo ngomong sebanyak yang lo mau." Dewa terdengar menantang, ia bahkan tak miliki rasa iba melihat seorang perempuan menangis, jika itu Marisa, mungkinkah Dewa akan bersikap sama? Ia menyudutkan Mya semena-mena, mungkin benar jika cincin pernikahan bukanlah sesuatu yang akan membuat sepasang manusia benar-benar terikat oleh satu hal, yakni cinta. Cincin pernikahan juga bisa mengikat sepasang manusia untuk menikam pasangannya dari belakang, membuatnya lemah dan tak bisa berbuat apa-apa. "Gue sama Marisa emang enam tahun pacaran, satu hal yang selalu gue inginkan sama dia adalah menikah, tapi surat wasiat konyol dari orangtua lo bikin gagal semua. Gue nggak rela kehilangan Marisa, gue nggak rela." "CUKUP, WA! CUKUP!" Mya tak tahan lagi, Dewa sudah menyeret mendiang orangtuanya ke dalam permasalahan mereka, yang Mya inginkan hanyalah keadilan sebagai seorang istri, hanya sebuah pengertian. Ia tak bisa membendung air matanya untuk tak terjun bebas, mengalir deras bulir demi bulir hingga bilur milik Mya semakin menyakitkan. "Kamu tahu apa yang salah dan benar dari kita, Wa? Aku salah, salah karena nggak tahu sedikit pun tentang kamu. Kamu benar, benar karena nggak ada cinta antara kita. Aku—" Mya menunjuk dadanya. "Aku bahkan nggak tahu cinta itu apa, aku nggak kenal kamu siapa, dan kenapa kita bisa di sini? Aku nggak berharap cinta, Wa. Karena sebelum aku bisa merasakan justru kamu udah melenyapkannya lebih dulu, aku hanya perempuan yang perlu dihargai sebagai seorang istri, itu cukup buat aku senang. Sayangnya, kamu nggak memiliki apa pun untuk itu, aku jadi bertanya-tanya akan sejauh mana pernikahan ini. Apa bisa berakhir sekarang?" Tiba-tiba Dewa menarik lengan Mya, memutarnya hingga posisi yang Dewa inginkan berhasil, sekarang istrinya terkungkung di depan pintu kamar Dewa. Ia menyukai posisi sedekat itu, menatap wajah Mya yang sembap terlihat cukup menghibur. "Lo mau kita pisah sekarang? Kasih tahu alasan yang pas buat bilang ke orangtua gue, apa tentang perselingkuhan?" "Ya, dari banyaknya harapan yang aku punya, mungkin berpisah dari kamu adalah satu hal yang harus aku utamakan, Wa." Tak ada rasa takut sedikit pun yang mampu menggoyahkan keinginan Mya. "Bisa kita ke pengadilan hari ini, Dewa?" Bugh! Mya sama sekali tak mengerjap saat Dewa meninju permukaan pintu di sebelahnya, ia tetap menatap lurus ke depan pada manik hitam yang dipenuhi kebencian. "Lo pikir kalau kita cerai, terus gue bisa sama Marisa? Ya enggak, lah! Justru mereka bakal benci sama dia, dan semua karena lo. Jadi, selama lo tetap sama gue—dia bakal aman, orangtua gue selalu mengira kita udah putus. Gue sama lo nggak akan cerai." Plak! "Kalau aku berkencan sama laki-laki lain juga nggak salah, kan!" Mya mendorongnya sekuat tenaga hingga Dewa mundur cukup jauh, ia melenggang begitu saja tanpa memedulikan Dewa yang kini terus memanggilnya. Mya keluar dari tempat itu, melangkah cepat melewati beberapa unit lain seraya mengusap air matanya, ia takkan biarkan orang lain tahu sedih seperti apa yang kini terasa menyiksa. Aku ingin janji, Wa. Kalau suatu hari hanya ada satu laki-laki di dunia dan itu kamu, inginku lekas lenyap dari bumi. *** Kepompong mungkin kesal jika ombak datang menerjangnya, menarik hewan kecil itu agar tenggelam tak berdaya, ia bisa apa? Ombak terlalu ganas, menarik lebih jauh siapa pun di jalannya tanpa meninggalkan jejak di pasir pantai. Sedangkan pohon kelapa menyukai desir angin, mengajaknya berdansa tanpa perlu takut dengan apa-apa, ia bisa membaca gerak tubuh dari batang yang terus bergerak mengikuti ritme kencangnya angin. Terserah jika kepompong tak menyukai ombak, tapi mereka akan selalu bertemu, bukan? Mya tak menyukai fakta itu, ia tak ingin menjadi makhluk kecil seperti kepompong yang tak berdaya saat ombak akan menariknya semakin dalam, terombang-ambing di kepung air sebelum meluruh jatuh menyentuh pasir, berikutnya kepompong akan merasakan jika ia tak lagi berjalan di tempat yang sama, tak lagi di pesisir. Sama seperti Mya, surat wasiat yang dibuat mendiang ayahnya telah membuat Mya terseret arus begitu jauh, membuatnya tenggelam tanpa menemukan seorang pun sudi menyelamatkan, ia semakin hanyut terbawa pusaran air hingga lemah tanpa mampu berbuat apa-apa, Mya pasrah pada keadaan. Seperti yang ia lakukan sekarang, berdiri di bibir pantai, sepasang kaki jenjangnya beralaskan sandal japit saja, ia tak sempat kenakan sepatunya saat melenggang begitu saja keluar dari apartemen. Desau angin tak cocok untuknya, saat mereka menyapa Mya tetap diam menatap lurus ke depan pada hamparan samudra yang terlihat kebiruan, siapa yang tak ingin menuju ke sana, mendekati sejernih apa lautan di depan mata. Mya tak bisa dirayu, raga serta pikiran seperti tercerai-berai saat ia mengingat serangkaian kata yang terucap dari bibir Dewa pagi tadi, sekarang sudah pukul empat sore, harusnya Mya berada di kantor. Sayangnya, selama seharian ini ia sama sekali tak berada di sana, Mya menghabiskan waktunya di dekat pantai. Untung sling bag sudah berada dalam genggamnya saat ia keluar kamar, jadi masih ada ongkos untuk pergi, entah itu berkeliling Jakarta selama seharian, atau mengelilingi dermaga dan berakhir di bibir pantai seorang diri, ponsel pun sengaja ia matikan agar tak ada yang mengganggunya. Ia merasa begitu kosong, jika saja Dewa sudi berterus terang atas keinginan menikahi Marisa, mungkin kisah mereka bisa berbeda, tapi Dewa memilih tetap menikahi Mya sesuai keinginan orangtuanya, menjadi penipu ulung untuk semua orang. *** Tepat ketika Mya masuk ke sebuah taksi yang berhenti di tepi jalan dekat gapura masuk komplek perumahan tempat tinggalnya dulu, motor seseorang sudah berbelok memasuki area itu, mereka bersimpangan, tapi tak menyadari kehadiran satu sama lain. Waktu sudah mendekati pukul dua belas, untungnya masih ada taksi yang lewat, mungkin terakhir. Motor merah itu berhenti di depan gerbang rumah milik seseorang, ia turun seraya melepas helm, bergerak cepat hampiri gerbang yang tingginya hanya seukuran d**a dengan lebar sekitar satu setengah meter, ia bisa membukanya sendiri. Rumah di depan mata terlihat sederhana, minimalis dan begitu asri oleh banyaknya tanaman bunga berjejer sepanjang halaman menuju beranda, kebanyakan di antaranya kamboja beragam warna. Sudah jelas si pemilik rumah adalah pecinta tanaman. Dewa melangkah lebih jauh seraya perhatikan sekitar, ia bahkan baru datang ke tempat itu sekarang—meski sebelumnya sang ayah sempat memberi alamat tempat tinggal Mya, tapi mereka tak pernah bertemu di tempat itu. Cahaya lampu yang menggantung di langit-langit beranda menyorot cukup jelas, Dewa bergeming sejenak tatap pintu bercat cokelat yang tertutup rapat. Apa dia pulang ke sini? Dewa menelan ludah, kedatangannya bukan sebab Mya yang tak kunjung pulang ke apartemen, tapi takut jika Mya benar-benar mengatakan kesalahan Dewa pada orangtuanya. Lucunya, hari ini Dewa pulang pukul delapan, ia berharap bisa menemui Mya untuk diajak bicara lebih lunak, tapi sayangnya perempuan itu tak ada di apartemen saat Dewa baru menyadari betapa sepinya aktivitas di sana hingga pukul sebelas, tak ada seseorang yang mungkin keluar dari kamar lain di sana. Dewa memberanikan diri membuka pintu kamar Mya dan dapat tak ada siapa-siapa. Kini tangan laki-laki itu terangkat menekan bel pada tembok di dekat pintu, tapi tak ada siapa pun yang keluar. Dewa mengernyit, rumah satu lantai itu seperti sepi, atau mungkin Mya sudah terlelap di dalam sana? Dewa mengedar pandang, ia dapati masing-masing jendela pada tembok di sisi kiri dan kanannya. Mungkin salah satunya kamar dia, pikir Dewa. Ia mengetuk beberapa kali untuk jendela kiri, lantas berganti jendela kanan, tapi tetap tak menghasilkan apa pun. "Siapa, ya, Mas?" Suara itu membuat Dewa menoleh dapati satpam komplek berdiri di dekat gerbang, ia menatap Dewa penuh kecurigaan. "Saya cari ... Mya." Dewa menghampirinya. "Dia tinggal di sini, kan?" "Iya, Mbak Mya memang tinggal di sini, tapi katanya udah pindah. Tadi dia sempat ke sini, tapi cuma duduk di sofa itu." Si satpam menunjuk sofa di beranda. "Tadi saya ketemu di depan, dia bilang cuma mampir." "Jadi, dia nggak ada di sini?" Dewa mulai mendidih, ia sudah repot-repot datang dan tak temukan siapa pun. "Makasih, Pak. Saya langsung pulang aja sekarang." Dewa melewati gerbang, menutupnya lagi sebelum duduk di jok seraya kenakan helmnya. "Mas ini siapanya Mbak Mya, ya? Pacar? Rekan kerja? Kok tengah malam ke sini?" "SUAMI," tandas Dewa sebelum lajukan motornya menjauhi tempat itu meninggalkan satpam yang kini terlihat kebingungan. "Mbak Mya udah nikah? Kapan? Saya yang setiap hari di sini aja nggak dengar kabar apa-apa, dia ngehalu kali, ya," pikirnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD