SEPASANG KEKASIH DI SUDUT KAFE.

1919 Words
Sosok itu masuk apartemen saat jarum pendek menunjuk angka sebelas malam, ia dapati keadaan di dalam sudah gelap, tangannya meraba tombol lampu di permukaan tembok dekat pintu utama, seketika cahaya memperlihatkan isi ruangan apartemen Dewa yang semakin rapi saja. Ia bergeming sejenak menatap sekitar seraya berdecak, laki-laki itu melangkah tinggalkan ruang tamu, masuk ke dapur dan temukan makanan di permukaan meja makan. Dewa mendekat, menatapnya sejenak sebelum beralih dekati kulkas dan meminum sebotol air dingin yang ia keluarkan dari sana, setelah itu keluar meninggalkan ruang makan tanpa menyentuh apa-apa lagi. Dewa tahu, ia mengecewakan istrinya lagi kali ini. Sosok itu berhenti sejenak di depan pintu kamarnya, ia menoleh tatap pintu kamar Mya yang tertutup rapat. Entah apa yang tengah Dewa pikirkan kali ini, ia menoleh tatap pintu dapur, sepasang kakinya ingin melangkah ke sana dan melawan anomali yang terus membuncah, tapi Dewa lebih egois rupanya. Ia menarik kenop pintu dan masuk kamarnya sebelum hari berikutnya akan berlangsung. *** Pagi telah menegaskan kalau Mya harus menelan kekecewaannya lagi begitu ia dapati masakannya masih utuh di permukaan meja makan, Dewa tak menyentuhnya. Mya terpejam sejenak di sisi meja makan, kedua tangannya terkepal kuat menahan emosi yang menghampiri, tapi sebuah tarikan napas sudah cukup membuatnya melapangkan kesabaran. "Nggak apa-apa kok, Wa. Mungkin kamu udah makan malam di luar," terka Mya sendiri, ia mencoba berpikir positif kali ini. Meski berat hati, tapi Mya terpaksa membuang semua masakannya ke tempat sampah, mencuci semua wadah kotor itu. Kali ini ia lakukan lagi aktivitas pagi membuat secangkir kopi serta setangkup roti panggang seraya merapal doa semoga Dewa akan menyentuhnya meski seteguk saja. Mya tetap bangun lebih pagi seperti kemarin, menyiapkan segala hal untuk sarapan suaminya, tapi entah mengapa bibir terasa kelu berucap seperti dijahit agar tak bisa mengajak bicara sosok itu. Mya bahkan tak melihat rupa Dewa sejak kemarin pagi hingga pagi lagi, saat Dewa pulang istrinya sudah terlelap dalam lelahnya, lantas kala pagi tiba laki-laki itu belum keluar kamar hingga Mya pergi ke kantor. Mereka seatap, tapi seperti terpisah jarak berkilo-kilo meter jauhnya, agak lucu memang. Bentuk kecil rasa menghargai seorang istri kepada suaminya sudah terhidang di meja, Mya bersiap keluar dari apartemen saat ia kenakan heels seraya duduk di sofa ruang tamu, matanya mengarah pada pintu kamar Dewa. "Aku pamit berangkat kerja, Wa," gumam Mya sebelum beranjak keluar dari apartemen. "Pagi, Mya," sapa Salsa yang juga baru keluar dari unit apartemennya, ia tersenyum menatap Mya yang kini mengangguk pelan tanpa lupa melukis sesuatu di wajahnya, tak perlu orang lain tahu seberapa menyedihkannya ia hari ini. "Nggak berangkat bareng Dewa?" "Nggak, aku terbiasa berangkat lebih pagi, kalau dia ...." Mya menelan ludah, bingung harus berkata apa. "Terbiasa bangun agak telat, udah mendarah daging." "Kok paham banget, ya." Salsa terkekeh saat mereka melangkah beriringan hampiri lift. "Dewa pulang jam berapa semalam?" Tiba-tiba Salsa bertanya seperti itu saat mereka sudah berdiri di dalam lift, hanya berdua. "Dewa?" Mya berkedip beberapa kali, ia bahkan tak tahu jam berapa suaminya pulang. "Eum, jam sembilan kalau nggak salah." Ia salah tingkah saat Salsa mengernyit padanya. "Lo serius?" Salsa memperhatikan Mya dengan seksama, tatapannya berbeda. Kenapa dia bohong, padahal gue lihat Dewa semalam jam 11 baru pulang waktu baru beli nasi goreng. Salsa manggut-manggut, ia tak bertanya lagi hingga mereka tiba di lantai dasar dan melangkah lewati lobi, menyapa beberapa orang yang hilir-mudik di sana. Saat Mya baru akan menuruni anak tangga pertama di beranda, Salsa menarik tangannya. "Lo kalau punya masalah atau curhat apa pun itu, langsung aja cari gue, ya, Mya. Hati-hati di jalan." Ia melepaskan Mya dan melangkah melewatinya menuju parkiran. Mya tertegun mendengar kata-kata Salsa tadi, apa teman barunya itu tahu sesuatu perihal Mya? Atau mungkin hanya ingin lebih akrab saja. Ia menatap mobil yang membawa Salsa pergi dari tempat itu, sedangkan Mya tinggal memesan taksi online yang akan membawanya ke kantor pagi ini, ia tak tahu jika seseorang sudah keluar dari kamarnya dalam keadaan rapi, memasuki dapur dan temukan lagi sarapan di meja makan. Sayangnya, sikap menyedihkan itu masih ia terapkan, membuat orang yang berharap akan selalu bisa menghargainya lagi-lagi kecewa. Makanan yang disiapkan istrinya dengan sepenuh hati lebih mirip seonggok sampah yang tak layak dipandang apalagi disentuh, mungkin begitu. *** Pagi ini sekitar pukul sepuluh, Mya dan beberapa atasan pergi ke pabrik tempat produksi varian makanan ringan produk perusahaan, Mya sekadar mengecek produk kemasan terbaru yang minggu ini akan diluncurkan ke pasar, sebab memperbarui cover dari sebuah produk miliki efek yang cukup besar untuk menarik minat pelanggan, belum lagi persaingan dengan sesama pegiat bisnis dalam bidang yang sama—membuat setiap perusahaan harus selalu memperbarui kualitas produk mereka. Mya berdiri di antara banyaknya karyawan pabrik pada bagian packing snack kripik kentang, puluhan mesin pengemas band sealer berjejer rapi dengan rentang jarak yang disesuaikan oleh pabrik. Ia mengamati dengan seksama proses pengemasan berlangsung—terutama saat bagian plastik aluminium harus miliki sedikit udara agar kemasan snack terlihat lebih bervolume—selain cover utama dari brand mereka. Pemeriksaan visual terhadap kemasan akhir dapat diselesaikan menggunakan kamera dengan resolusi tinggi. Pemeriksaan ini dapat memastikan bahwa kemasan telah ditutup dengan benar, tidak rusak, dan memenuhi semua kriteria kualitas. Selain itu, label dapat diperiksa terkait keberadaan dan posisinya, sedangkan isi label dapat diperiksa terkait ketelitiannya, termasuk barcode, nomor lot, tanggal kedaluwarsa, dan pernyataan alergen. Mya menatap arlojinya, sebentar lagi jam makan siang akan segera berlangsung. Ia putuskan melangkah tinggalkan area itu seraya merogoh ponsel dari saku celana katun abu-abunya. Mya dapati beberapa chat masuk dari Sakti. Lancar? Mya tersenyum tipis, Sakti memang paling bisa diandalkan setiap waktu, ia yang paling khawatir mengenai segala sesuatu menyangkut Mya. Perempuan itu sudah keluar dari pabrik, ia putuskan tetap berdiri di dekat pintu masuk seraya hubungi nomor Sakti. "Gimana? Lancar?" "Lancar, kok. Di kantor gimana?" "Aman kok nggak ada bom meledak, nggak ada teroris juga." Mya terkekeh kecil mendengar lelucon garing itu, ia memang gampang tertawa, tapi juga gampang menangis. Sebagian besar perempuan bisa seperti itu, bukan? Menonton film dan merasakan peran yang dimainkan terlalu melankolis pun bisa membuat penonton ikut hanyut dalam tangis, terkadang beberapa hal bisa seperti sihir. "Mya, kita bisa makan siang sama-sama," ucap Albert—seorang direktur yang ikut datang ke pabrik bersama Mya serta satu rekan lain, ia masih terbilang berkharisma meski mendekati kepala empat. Entah sejak kapan Albert sudah berdiri di dekat Mya. "Ey." Mya luruhkan lebih dulu ponselnya, ia cukup terkejut kali ini. "Iya bisa kok, Pak." "Oke, nanti saya sama Pak Mike tunggu di mobil, ya. Sepuluh menit sebelum berangkat." Setelah itu Albert meninggalkan Mya sendirian lagi, perempuan itu kembali tempelkan ponselnya ke telinga. "Maaf, ya, Sak. Tadi Pak Albert ngajak ngomong, mau makan siang sama-sama," tutur Mya. "Nggak apa-apa, ya udah kita siap-siap sendiri. Bakal aneh makan siang tanpa Mya. Bye." Panggilan pun berakhir, Mya masukan lagi ponsel ke saku celana seraya bergerak hampiri area parkir mobil tak jauh dari posisinya sekarang. *** Mya diminta mencari meja kosong lebih dulu saat kedua atasannya sibuk menjawab telepon masing-masing di kamar mandi, perempuan itu memutuskan duduk di dekat pintu masuk kafe, kaca tebal di sebelahnya menjadi pemisah antara ruang utama serta beranda kafe. Beruntungnya, hujan baru turun tepat saat mereka baru tiba di tempat itu, tak ada serangan petir kali ini. Mya hempaskan pantatnya pada sofa, ia letakan cross body bag putihnya di permukaan meja seraya keluarkan ponsel dari saku celana, bola mata Mya menoleh tatap guyuran hujan di luar kafe yang semakin deras. Percikan dari paving block basah di halaman kafe sama sekali tak mampu menyentuh kaca tebal di dekatnya, beberapa orang di tepi jalan berlari kecil menyeberang, mencari halte terdekat sebagai tempat berlindung. Seringkali Jakarta rumit, tapi bisa juga menjadi sedikit sunyi seperti sekarang meski aktivitas di sekitar Mya tak benar-benar sepi. Kafe yang ia datangi tampak ramai oleh pengunjung, tadi saat di perjalanan Albert begitu antusias berkisah perihal kafe yang akan mereka datangi, Albert sering datang ke kafe dengan varian sushi terenak itu saat ia melakukan kunjungan ke pabrik selama menjabat sebagai direktur. "Mau pesan apa, Mbak?" Seorang pramusaji meletakan buku menu di depan Mya, ia bersiap mencatat pesanan. Mya meraih buku menu, membuka cover dan berpikir sejenak menatap deretan menu sushi di sana. Ia cukup bingung, kedua atasannya belum datang, jika Mya memasan langsung—belum tentu kedua atasannya juga miliki selera yang sama. "Saya mau—" "Norimaki!" "Temaki!" seloroh Albert dan Mike bersamaan, mereka melangkah tak jauh dari Mya yang kini tersenyum kecil tanggapi dua atasannya. Mya tutup buku menu dan meletakannya di permukaan meja. "Ya udah, Mbak. Norimaki sama Temaki aja, ya." "Baik, saya permisi." Sang pramusaji melenggang pergi usai mencatat pesanan, sedangkan Albert serta Mike sudah duduk di kursi pilihan mereka. "Kalian harus sering-sering ke sini, lupain dulu itu stres ngurus kerjaan, manusia kan butuh santai, bukan robot soalnya," ujar Albert menatap Mya dan Mike bergantian, pria beranak dua itu menjadi favorit banyak karyawan di kantor, selain wajah chinese dari keturunan Tionghoa yang ia miliki, Albert juga dikenal supel dan suka bercanda, jarang sekali melihat pria itu bersikap tegang atau dingin pada bawahannya. "Iya, iya. Kalau kita kan kentara stres ngurus kerjaan, belum lagi bini sama anak-anak di rumah, nah kalau si Mya ini stres tambahannya apa?" Mike melirik Albert, perkataannya kentara menggoda Mya. "Kamu belum ada rencana mau nikah, Mya?" "Eum, saya—" Ia bingung harus menjawab apa, jika mengakui pernikahannya dengan Dewa sama saja Mya melanggar aturan mereka. "Hush!" Albert mendorong pelan bahu Mike. "Jangan digodain, Mya mau nikah kalau dia udah bangun istana. Betul nggak, Mya?" Perempuan itu tertawa kecil lagi, tapi ia menyetujuinya sebagai alasan kebohongan. "Saya ke toilet sebentar ya, Pak." Ia beranjak tinggalkan keduanya, Mya cukup senang bisa menyingkir dari obrolan itu meski entah dilanjutkan lagi tanpa dirinya atau tidak, yang jelas Mya tak ingin membahas apa pun perihal pernikahan, baginya terdengar cukup tabu. Ia melangkah tanpa memperhatikan keadaan di depannya sampai tak sengaja berserobok dengan seseorang yang baru keluar dari salah satu pintu toilet, untung tak ada yang jatuh. "Astaga, maaf ya, saya nggak sengaja. Saya yang salah, tadi kurang ...." Perkataan Mya seperti dibawa pergi oleh angin, ia tak mampu lagi menyambung dialognya saat wajah orang di depannya membuat otak Mya bergerak cepat menyortir deretan wajah yang cukup familier dalam ingatan. Seperti kaset dari film lama, begitu abu-abu dan bersekat-sekat, tapi ia yakin wajah yang dilihatnya kali ini belum lama dirangkum netra. Lantas, memori tempo hari mulai merayap di kepalanya, menjadi rangkaian yang membuat Mya semakin tertegun. "Iya nggak apa-apa, lain kali hati-hati, ya." Sosok itu melenggang tanpa tahu lawan bicaranya dibuat makin bisu saat merasa sudah menemukan satu nama yang cocok untuk sosok tadi, meski Mya sendiri cukup skeptis tentang menyatukan nama yang didengarnya dari Salsa serta perempuan dalam foto di kamar Dewa. "Marisa?" Mya memutar tubuh dan bergerak cepat tinggalkan area toilet, ia tak ingin kehilangan jejak perempuan tadi. Namun, saat langkahnya terhenti di dekat meja kasir bersamaan netra memperhatikan sekitar, Mya kembali tertegun pada satu sudut titik fokus bola matanya kini, ia terperangkap dalam pemandangan yang membuat dadanya seperti dicabik-cabik tanpa ampun hingga darah bercucuran. Informasi dari Salsa hari itu seolah kembali berdengung di telinganya seperti sebuah nyanyian yang akan diputar berulang kali bila masih suka, lantas Mya menyatukan semua dengan sepasang manusia duduk bersebelahan di sudut kafe, tampak begitu mesra saat si laki-laki menyuapkan sushi pada perempuan yang Mya tabrak di toilet tadi. Canda tawa mereka seperti caci maki di telinga Mya, pemandangan yang benar-benar mengolok dan membuat Mya tampak konyol. Ia yakin benar-benar menyesal datang ke kafe sushi itu hari ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD