Kemarahan

1477 Words
Malam itu Mayang memilih merapikan rumahnya tanpa banyak bicara. Dia tidak bisa mengandalkan Meli mau melakukannya. Hatinya begitu sakit karena mendengar ucapan ibunya. Mayang tidak pernah tahu alasan yang membuat ibunya selalu menyalahkan dirinya. Seolah mereka berasal dari rahim yang berbeda. Seingat Mayang tidak pernah sekalipun ibunya memberikan perhatian pada dirinya, bahkan saat dia menerima perlakukan tidak adil yang disebabkan oleh pergaulan Meli. “Sekarang kau tahu kalau kau sama sekali tidak berarti bagi mama. Aku adalah putrinya sementara kau adalan anak yang tidak pernah diinginkan oleh mama,” ejek Meli sambil berjalan di atas lantai yang baru saja dibersihkan dan masih basah. “Kau benar. Aku adalah anak yang tidak diinginkan oleh mama tapi aku bahagia karena masih ada yang menyayangi diriku dan membentuk diriku menjadi wanita yang bertanggung jawab tdiak seperti dirimu yang sama sekali tidak tahu diri,” balas Mayang membuat Meli berbalik dan berkacak pinggang di depan Mayang. “Apa kau bilang barusan, aku tidak tahu diri?” teriak Meli. Wajah Meli seperti mau memakan Mayang saat dia melihat ember berisi air yang dipakai Mayang untuk mengepel. “Coba saja dan aku jamin kau pasti tidak perlu menunggu waktu sampai Matahari terbit untuk berada di luar rumah,” ancam Mayang yang mulai meraba apa yang akan dilakukan oleh Meli. “Dengar, Mel! Kalau kau tahu diri tidak mungkin kau minta uang padaku. Bukankah kau tidak pernah mengakui diriku sebagai adikmu? Aneh bukan…kau minta uang dan tinggal dirumah orang yang tidak kau akui sebagai saudaramu.” “Kau pikir aku mau uangmu?” balas Meli kembali berteriak. “Tentu. Kalau tidak darimana kau bisa mendapatkan uang untuk bayar sewa mobil dan makanmu? Aneh sekali pertanyaanmu,” cibir Mayang kembali. “Aku kecewa sudah tinggal denganmu.” “Jadi, pintu ada di sana dan aku yakin kau tahu jalan keluarnya. Atau kau mau aku bantu berkemas?” Mayang tahu dirinya sudah bertindak berlebihan, tetapi apa yang bisa dia harapkan? Ibunya saja tidak pernah menyayanginya sementara seorang wanita yang memilih wajah sama dengannya bahkan menolak mengakui sebagai saudaranya. Apakah hanya Meli yang pantas kecewa? Apakah ia tidak pantas kecewa dan mengungkap kesedihannya? Selama ini ia selalu mengalah dan membiarkan Meli dan orang tuanya marah dan mencercanya seakan-akan dia bukan anak mereka. Kalau saja ia tidak memiliki wajah yang sama, sangat mudah baginya menolak kalau ia dan Meli berasal dari rahim yang sama. Malam itu Meli lebih banyak berada di dalam kamarnya seperti yang biasa dia lakukan sementara Mayang harus membereskan kekacauan yang akibat perbuatannya. “Aku berharap setelah ini dia sadar dan tidak melakukannya lagi.” Malam sudah melewati pergantian hari setelah Mayang masuk ke kamarnya untuk istirahat. Tubuhnya begitu lelah hingga ia langsung tertidur setelah membersihkan diri dan berganti pakaian. Rasanya Mayang baru saja memejamkan mata dan terlelap saat telinganya mendengar suara berisik dari dapur. Kepalanya terasa sakit hingga sesaat dia hanya berbaring. “Apa lagi yang dilakukan Meli. Apa dia hanya bisa membuat kotor rumah?” pikir Mayang saat dia duduk di pinggir ranjang. Mayang memperhatikan kamarnya lalu bangun dan menyimpan tas ke dalam lemari kemudian menguncinya sebelum keluar dari kamar dengan kunci berada di dalam sakunya. “Apa kau tidak bosan membuat kacau dan kotor rumah?” tegur Mayang sambil merekam kegiatan Meli di dapurnya melalui ponselnya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Meli curiga dengan tindakan Mayang yang memegang ponsel. “Aku sedang membalas pesan masuk. Kenapa?” sahut Mayang tidak peduli sementara tangannya sibuk mengetik. “Aku bosan dengan masakanmu. Setiap hari hanya makanan seperti ini saja yang kau hidangkan,” omelnya berusaha membuang sayur yang berada di panci. “Apa yang kau lakukan? Itu bukan makanan dan hasil masakanmu. Kalau sampai kau buang, kau harus menggantinya!” ancam Mayang terkejut dengan tindakan Meli. Sebelum tidur, Mayang sudah memasak lauk, dia berencana pagi-pagi hanya perlu memanaskan saja, tetapi Meli sepertinya memiliki pemikiran yang berbeda. “Masakan seperti ini aku harus menggantinya? Cuih…aku tidak level makan masakan seperti ini. Dan aku tidak mau melihatnya.” “Kau sakit Mel. Aku yakin kau harus periksa ke dokter jiwa,” suara Mayang terdengar ragu-ragu menyadari semua yang dilakukan Meli selama ini tidak ada yang masuk akal. “Kau pikir aku gila? Kalau saja kau memberi aku uang, aku sangat bahagia dan tidak perlu terikat di rumah ini. Kau dengar Mayang!” Suara teriakan Meli begitu kencang membuat Mayang terkejut, apalagi dibarengi dengan panci yang sengaja di jatuhkan oleh Meli. Panci yang berisi sayur yang semalam dimasak oleh Mayang sebagai bekalnya pagi ini. “Cukup Meli. Sekarang kau pergi dari rumahku!” suara teriakan Mayang kalah dengan suara teriakan Meli yang berbarengan dengan panci yang jatuh ke lantai. Panci itu jatuh dan menimpa kaki Meli dengan sayur yang membasahi kaki dan sebagian pakaiannya. “Meli….” “Kau lihat! Kau harus bertanggung jawab. Semua ini karena sayur yang kau masak ini hingga aku tertimpa panci si4lan ini.” Mayang menggelengkan kepalanya. Setelah semua yang dilakukan oleh Meli, dia masih saja menyalahkan dirinya. “Semua adalah perbuatanmu sendiri, tapi kau masih menyalahkan orang lain. Kau sangat memalukan sebagai manusia yang harusnya memiliki akal sehat Mel,” omel Mayang sementara Meli meninggalkan dapur tanpa membersihkan kakinya lebih dulu hingga lantai menjadi kotor. “Meli…kau bisa membersihkan kakimu dulu, kan!” tegur Mayang. “Suka-suka aku. Kau pikir aku peduli,” jawab Meli tertawa mengejek di sela-sela suara kesakitannya. “Aku malah berpikir kau sudah tidak punya otak lagi yang bisa kau pakai untuk berpikir,” balas Mayang sementara dia kembali membersihkan sayur yang sudah ditumpahkan Meli. “Kalau saja Meli punya sedikit otak yang bisa dia pakai untuk berpikir, harusnya hari ini dia pergi dari rumahku,” kata Mayang dalam hati. Dapur sudah dibersihkan dan ia baru saja membuka pintu dan menyapa tetangganya ketika mendengar suara makian yang berasal dari dalam kamarnya. Suara Meliana. “Mba Mayang ada apa dengan kakaknya?” tanya tetangganya ingin tahu. “Saya juga tidak tahu Bu,” jawab Mayang bergegas masuk diikuti oleh dua orang wanita yang berada di luar dan mendengar suara makian Meli. “Apa yang kau lakukan di kamarku!” Suara Mayang mengagetkan Meli yang tengah mengacak-acak laci meja rias di kamar Mayang. “Jangan berisik. Mana tasmu. Aku perlu uang untuk berobat. Lagipula kenapa sih kau kunci lemari.” Perintah Meli tanpa berbalik untuk melihat Mayang. Mayang sudah siap membalas ucapan Meli, tetapi suara tetangganya yang berbisik agar dia tenang mampu mengendalikan amarahnya. “Kamar ini adalah kamarku dan rumah ini juga adalah rumahku. Semalam kau sudah tidak mengakui diriku sebagai adikmu dan kita sama sekali tidak memiliki hubungan. Kau tidak mau uangku tapi sampai saat ini masih berharap mendapatkan dariku. Apa kau berniat mencuri uangku karena tidak mau memintanya. Jangan lupa, aku sudah mengusirmu setelah kau menumpahkan sayur yang berada di panci.” “Aku tidak sudi melihat masakanmu, jadi kenapa aku harus membiarkannya berada di panci? Sekarang berikan aku uang!” “Tidak ada. Sekarang kau boleh pergi dari rumahku, kalau tidak aku akan mengatakan pada warga kalau kau berniat mencuri.” “Mencuri? Aku mencuri barangku sendiri? Siapa yang bisa membuktikan kalau aku yang melakukannya? Dengan rekaman di ponselmu? Aku bisa saja mengatakan kalau kau yang melakukannya,” ejek Meli sinis. “Sayangnya kami semua mendengar yang barusan Mbak Meli katakan. Dan saya juga merekam ucapan Mba Meli,” sahut salah seorang tetangga yang berada di samping Mayang. Meli dengan cepat berbalik dan menatap bengis pada ketiga wanita yang berdiri di pintu. “Dasar perempuan kurang kerjaan! Untuk apa kalian ada di sini? Pergi dan jangan campuri urusanku!” “Kau salah kalau menyuruh kami pergi, padahal yang diusir Mayang adalah kau. Dan kami sudah melaporkanmu ke Pak Rt agar menindakmu. Kami tidak sudi melihat Mayang yang baik harus menderita karena ulah kakaknya yang tidak tahu diri,” sahut tetangga Mayang ketus. “Kau sengaja melakukannya, kan?” tanya Meli ketus. “Aku sama sekali tidak berniat melakukannya, tetapi kau sudah keterlaluan Meli. Mengapa tetangga ada bersamaku, itu terjadi karena mereka curiga mendengar suaramu yang sangat keras karena tidak berhasil membuka lemari. Kau mau aku berteriak maling, atau kau segera pergi dari rumahku.” “Aku bosan mendengar kau mengusirku. Apa tidak ada kata lain yang lebih baik?” “Ya kalau udah tahu di usir harusnya tahu diri, pergi dari rumah bukannya masih tinggal terus di rumahnya,” ucap tetangganya lagi. “Udah, Mbak Mayang dilaporkan ke polisi aja. Kita siap jadi saksi kalau perempuan tidak tahu diri ini adalah pencuri yang memanfaatkan wajah miripnya,” saran salah satu tetangga Meli. “Heh, jaga bacotmu, ya. Kau pikir mudah melaporkan diriku ke polisi?” tantang Mayang. “Kenapa sulit. Kau mau bukti. Aku yakin begitu aku teriak maling semua orang berkumpul di sini, apalagi kau hanya tamu di daerah kami, tamu yang tidak tahu diri!” “Sekarang kau boleh pergi, Mel. Jangan memancing kemarahan warga yang tidak pernah menyukai dirimu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD