PART 4

1349 Words
Terlihat seorang perempuan dengan rambut terkepang dan kacamata besar di wajahnya tengah duduk di kursi pojok kantin. Ruangan itu memiliki puluhan kursi yang berderet memanjang dengan warung-warung kecil di depannya. Dari yang ujung kanan, terdapat warung bakso Pak Joni yang cukup melegenda di SMA Bakti Luhur, sedangkan di pojok kiri, terdapat warung Bu Emi - penjual nasi goreng yang cukup terkenal. Kursi di bagian luar masih terlihat kosong karena gerimis kecil yang sedang mengguyur di kota itu. Sebuah wastafel mini berada berjejer di dekat pintu masuk, bersebelahan dengan taman bunga yang cukup indah dan pohon-pohon rimbun lainnya. Warna dindingnya yang hijau menyatu dengan daun-daun yang mencuat di sekeliling kantin itu. Helena memakan baksonya, matanya tetap fokus dengan buku yang terletak di atas mangkoknya. Ia terlihat sedikit panik ketika bukunya terkena bercak kuah yang berserakan. Matanya melotot, ia segera mengambil tisu di sampingnya dan menjauhkan mangkok bakso dari hadapannya. Perempuan itu selalu makan sendiri dengan ditemani buku-buku tebalnya. Elle tidak pernah melihat perempuan itu berjalan selain dengan kumpulan kertas-kertas itu. Tidak pernah sekali pun, selama dua tahun ia mengenal perempuan itu. "Kak, apakah kamu mengenal anak akselerasi bernama Rei?" tanya Sonia kepada Nency yang membuat Elle tersedak es jeruknya. Ia bahkan tidak mengingat pernah membicarakan hal itu dengan Sonia. Kenapa tiba-tiba adiknya itu membicarakan hal itu di sini? Apa dia sungguh-sungguh menyukai laki-laki itu? "Rupanya kamu benar-benar menyukainya." Sonia menatap tajam Elle, sambil memakan pisang gorengnya, ia berkata, "Bukankah aku pernah bilang sebelumnya?" Sonia mencegat mereka tadi, ketika ia dan Nency memasuki kantin. Perempuan itu menarik mereka berdua duduk di mejanya sekarang, bersebelahan dengan Helena yang telah asik kembali memakan baksonya. Adiknya itu - masih dengan senyum konyolnya yang kemarin - menolak menjelaskan kenapa dirinya menarik mereka berdua dan terdiam cukup lama sebelum mengeluarkan pertanyaan yang membuat Nency memiringkan kepalanya bingung. "Aku ingin minta bantuanmu, Kak." Sonia sudah berhenti makan dan sekarang sedang menatap Nency dengan serius. "Aku jatuh cinta dengan laki-laki di sekolah ini. Dia anak kelas akselerasi. Namanya Rei." "Lalu apa urusannya denganku? Kamu sepertinya salah paham, aku tidak menjual jimat asmara atau pelet yang kamu butuhkan," jawab Nency penuh jenaka. Sonia menyedot es tehnya gemas. "Bukan begitu, Kak. Aku tahu Kak Nency kenal dengan semua laki-laki tampan di sekolah ini. Pasti Kak Nency juga mengenal Rei. Coba diingat lagi, aku mohon.." "Siapa namanya?" Sonia menatap Nency dengan wajah berbinar. "Rei, kelas Akselerasi 2." Nency tampak berpikir sejenak sebentar sebelum menjawab. "Aku tidak pernah mendengarnya. Aku tahu Rai anak kelas 11 IPA 4, tetapi dia tidak terlihat seperti seleramu, Son." Perkataan Nency membuat Sonia mendesah kecewa. "Karena tidak ada satu-pun laki-laki tampan yang luput dari perhatianku. Kemungkinannya hanya dua, mungkin kamu salah melihat tag namanya atau laki-laki itu hanya ilusimu saja. Kau terlalu banyak menonton drama korea." Elle yang baru saja menghabiskan makanannya tertawa kecil. Ia melihat wajah Sonia yang memerah karena kesal, ia mengerucutkan bibirnya yang tipis dan membuka kacamatanya. Dengan penuh hati-hati, ia membersihkan kacamatanya yang sedikit berembun dan memakainya lagi. Suasana kantin yang sebelumnya berisik dengan suara-suara perempuan yang sedang membicarakan gosip terbaru di sekolah - seorang murid tahun kedua kemarin malam melihat seorang murid perempuan Bakti Luhur berjalan dengan guru olahraga baru - orang itu tidak mengatakan dengan jelas siapa perempuan itu - semua gosip hangat itu tiba-tiba sirna digantikan oleh tatapan-tatapan berbinar dan mulut ternganga saat segerombolan anak basket memasuki kantin dengan seragamnya yang penuh keringat. Lima laki-laki itu berjalan dengan percaya diri menuju meja di pojok ruangan yang berjarak dua meja dengan tempat duduknya. Elle melirik mereka sekilas ketika memasuki ruangan, wajah mereka tidak terlalu tampan, namun aura dan pembawaan yang penuh percaya diri membuat semua orang tidak bisa mengalihkan pandangannya. Melihat sekitar membuatnya cukup tahu, sepertinya laki-laki yang bernama Langit itu menjadi orang yang paling banyak dibicarakan di kelompok itu. Empat perempuan yang duduk di depan meja mereka - yang ia kira anak kelas sepuluh melihat dari seragamnya yang masih putih bersih - membicarakan Langit dan temannya dengan cukup keras hingga Elle mendengarnya. "Kak Langit sangat tampan. Astaga! Aku ingin sekali membersihkan keringat yang menetes di dahinya dengan kedua tanganku. Sepertinya aku sudah benar-benar gila." "Jujur aku lebih suka dengan Kak Yusa. Dia punya badan yang lebih bagus dari Kak Langit. Ia juga cukup ramah kepada anak-anak lain," kata anak berambut pendek yang duduk membelakangi Elle. "Dia duduk diam di sana saja jantungku sudah bergetar seperti ini. Apalagi kalau Kak Langit senyum di depanku? Sepertinya aku akan terbang ke Himalaya kalau hal itu terjadi sekarang." "Aku tidak begitu menyukai mereka seperti kalian. Ayolah, apa yang membuat kalian memuja mereka seperti ini? Namun, aku cukup penasaran dengan hubungan Langit dan Kak Selena. Mereka pernah berpacaran sebelumnya, kan? Mereka sudah putus, tetapi kenapa nenek lampir itu terus menempeli Langit seperti lintah. Aku sangat benci dengan perempuan itu." "Risha, rupanya kamu masih dendam dengan Kak Selena karena masalah ospek kemarin." "Setahuku mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kakakku pun mengatakan begitu padaku. Sepertinya Selena sangat menyukai Langit hingga ia tidak bisa meninggalkan laki-laki itu." Elle sepenuhnya tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah pertemuannya kemarin dengan laki-laki itu, ia merasa tidak asing dengannya. Ia telah beberapa kali melihatnya, meskipun Elle jarang keluar kelas dan bergaul dengan anak-anak lain, tetapi ia tidak pernah absen mengamati seseorang. Dan laki-laki itu - Langit - ia selalu ada di sana tanpa Elle perhatikan lebih jelas. Laki-laki itu adalah satu dari beberapa orang kehadirannya akan sangat ia hindari. "Kamu sedang memikirkan apa?" ucap Nency sambil menyenggol tangan Elle. Hal itu membuat Elle memelototi Nency dengan mata besarnya."Kakakmu ini sepertinya sudah jatuh dengan pesona Langit, Son. Dia melihat Langit dengan tatapan yang tidak biasa." Mereka berdua melihat Elle seperti seseorang yang tertangkap basah memberikan coklat pada kakak kelas tertampan di sekolahnya. Dengan perasaan dongkol setengah mati, Elle meninggalkan meja itu dan membayar makanannya di warung bu Emi. Elle sebenarnya ragu apakah ia harus kembali ke mejanya tadi atau meninggalkan mereka yang kini sedang tersenyum seperti orang gila. Namun, ketika melihat Nency mengangkat tangannya tinggi, menyuruh Elle mendekat, Elle pun melangkah setengah pasrah ke meja mereka. "Langit dan teman-temannya sedang membicarakanmu. Mereka menertawaimu. Entah apa yang lucu, apa mereka menertawakan kejadian di lapangan kemarin? Jangan - jangan di lihat, Bodoh," sergah Nency ketika Elle memutar kepalanya ke tempat Langit dan teman-temannya berada. "Kamu ingin memperlihatkan bahwa kita sedang membicarakan mereka? Aku sangat tidak suka dengan Farhan. Dia kira aku menyukainya hanya karena aku menyapanya kemarin. Aku tahu dia sempat membicarakanku dengan teman-temannya." Tanpa mengindahkan perintah Nency, Elle tetap memutar kepalanya dan seketika menyesali keputusannya ketika ia menangkap kedua mata Langit sedang melihat ke arahnya. Laki-laki itu duduk di tengah, seseorang dengan rambut agak keriting dan bewarna kecoklatan berada di sebelah kanannya, sedangkan di samping kirinya, ada seorang perempuan yang kini sedang menatap orang di depannya dengan mata berbinar. Mereka duduk agak berjauhan - itu membuat Elle yakin perempuan itu bukan pacar Langit atau siapapun yang berniat mendekati laki-laki itu. Bukannya ia peduli, Elle hanya tidak yakin seseorang bisa mendekati Langit dengan mudah selama ada seseorang yang menjaga di belakangnya. "Aku sudah bilang jangan menengok ke belakang. Kamu tidak pernah mendengarkan perkataanku." "Jadi bagaimana, Kak?" tanya Sonia dengan tidak sabar. Sedangkan Nency hanya mengedipkan matanya, lalu menatap Sonia dengan mata berbinar. Sonia yang sudah menunggu pembicaraan ini dari tadi segera menyambut perkataan Nency dengan penuh semangat. "Besok aku akan mencarinya. Ralat, kita akan mencarinya dan aku akan berbicara empat mata dengan makhluk itu," kata Nency santai. Elle hanya berharap tidak akan dipaksa ikut dalam kegilaannya kali ini. "Kita akan melihat seberapa tampan laki-laki yang membuatmu tergila-gila itu. Karena menurutku, tidak ada yang lebih sempurna daripada Langit di sekolah ini." "Dia itu berbeda dengan Kak Langit. Aura mereka berbeda. Dia lebih - dia lebih terlihat misterius dan dingin- aku tidak tahu, tetapi wajahnya itu sangat indah. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa kalian tidak mengenalnya. Kemana saja kalian dua tahun ini?" "Aku akan menertawaimu habis-habisan kalau ternyata laki-laki itu tidak seperti yang kamu katakan tadi, Sonia."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD