KEPUTUSAN

1725 Words
“Di antara kebahagian manusia adalah menentukan pilihannya dengan Allah dan di antara kebahagiaan manusia adalah keridhoannya pada apa yang Allah tentukan.” ( HR. Imam Ahmad dalam musnad-Nya, Hal : 3/377 hadis No. 1367 )             Silvi menghela napas berat sembari sesekali menggigiti kuku dan melirik ke arah layar handphone-nya. Di sana telah tersimpan sebuah kontak baru dengan nama Ragata Damar Laksana, seseorang lelaki yang tiba-tiba saja datang dan melamarnya. Silvi tampak gelisah dan bimbang. Gadis itu mengalami sebuah fase kritis yang sering disebut ‘galau’.             “Iya, saya hendak melamar dek Silvi jika bersedia,”             Ucapan dari Damar kembali tergiang di telinga Silvi. Gadis itu menautkan alisnya dengan tangan kanan berada di keningnya, kepalanya pusing. Entah bagaimana caranya dia menyampaikan pada Bunda bahwa datang seorang lelaki yang berniat meminangnya. Bunda pasti akan terkejut, sama seperti apa yang dia rasakan saat ini. Apalagi pinangan semacam ini pernah dia alami sebelumnya walaupun harus kandas di tengah jalan bahkan sebelum dimulai.             Silvi masih terdiam, bergelut dengan pikirannya sendiri. Tadi—gadis itu tidak memberikan jawaban pasti pada niat baik Damar. Gadis itu hanya menggantungkan niatan mulia itu dengan sebuah jawaban yang sama sekali membingungkan seolah dia tidak mengiyakan tetapi tidak pula melakukan penolakan.             “Jadi, bagaimana dek Silvi?” tanya Damar sesaat setelah mengemukakan niatnya.             Silvi hanya terpaku dalam diam.             “Ah, duduklah dulu,” usul Firda berinisiatif.             Damar mengangguk mengiyakan ucapan Firda, lelaki tampan itu menyeret sedikit kursi di depannya dan duduk di kursi itu dengan sedikit canggung.             “Jadi.” Damar masih menundukkan kepalanya, menunggu dengan penuh harap jawaban dari Silvi.             Firda melirik Silvi yang masih terdiam, jiwanya terguncang sedikit karena lamaran yang begitu tiba-tiba. Dia memang menunggu jodohnya tiba tetapi tidak menyangka datangnya dengan cara yang tidak pernah dia sangka-sangka.             “Jujur saja, Silvi senang dengan lamaran mas Damar.” Silvi mulai bicara membuat Damar yang duduk di sampingnya berkeringat dingin.             “Tapi.” Silvi terdiam membiarkan Damar dan Firda semakin tidak sabar untuk menunggu lanjutan dari ucapannya yang menggantung.             “Silvi belum tahu.” lanjut Silvi.             Firda menautkan alisnya.             “Belum tahu mau jawab apa?” tebak Firda.             Silvi mengangguk sementara Damar hanya menaik-turunkan kepalanya seolah dia baru mengerti maksud dari ucapan Silvi. Lelaki memang tidak peka, jadi butuh penjelasan lebih lanjut mengenai ucapan seorang wanita. Silvi belum paham pengetahuan dasar lelaki, sementara Firda—yang sudah beranak satu paham betul soal itu.             “Kalau begitu, mas Damar kasih kontaknya aja sama Silvi. Nanti setelah menemukan jawaban yang pas, Silvi pasti hubungin mas Damar!” Firda mengajukan usul yang langsung disetujui oleh kedua orang yang sama-sama tidak tahu bagaimana bersikap untuk menghadapi kejadian tidak terduga itu.             Silvi belum pernah dilamar oleh seorang lelaki yang belum pernah dikenalnya, sementara Damar baru kali ini keluar dari zona nyamannya dan nekad melamar wanita yang baru saja dia temui hari ini. Keduanya sama-sama tidak berpengalaman. Namun satu hal yang pasti, keduanya sudah berkeinginan untuk menikah, melaksanakan sunnah Rasulullah demi menyempurnakan iman mereka.             Drt..drtt..             Handphone Silvi berdering dan pemiliknya seketika mengangkat telepon yang masuk itu dengan segera.             “Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakaatuh,” suara diseberang sana memulai percakapan dengan salam keselamatan.             “Wa’alaikum salam Warahmatullahi wabarakaatuh, Fir!” sahut Silvi.             “Sudah cerita Bunda?” tanya Firda tanpa berbasa-basi.             “Belum.” Silvi menghembuskan napas pelan.             “Kenapa?” tanya Firda penasaran. “Takut?”             Silvi menggelengkan kepalanya. “Bukan,” sanggahnya.             “Lalu?” tanya Firda lagi, belum puas karena rasa penasarannya belum terpuaskan.             “Tidak tahu harus dimulai darimana ceritanya,” jawab Silvi jujur.             Hening beberapa saat dan mulai mencair saat Firda tiba-tiba saja tertawa.             “Sahabatmu sedang galau dan kamu tertawa? Sebegitu senangnya kah kamu melihatku dilema?” Silvi sedikit merasa kesal membuat Firda harus menahan tawanya.             “Sorry, aku cuma merasa kalau jodoh itu memang luar biasa rahasia Allah. See? Kamu belum pernah ketemu dan dia hendak melamarmu. Dia memiliki niatan yang baik Sil. Dia mengajakmu menikah, dia ingin menghalalkanmu.” Firda mulai memberikan pencerahan.             “Tapi aku baru mengenalnya hari ini, Fir. Bagaimana bisa aku menikah dengan seseorang yang bahkan aku tidak tahu latar belakangnya bagaimana, sikapnya bagaimana dan yang paling penting.” Silvi terdiam sebentar.             “Apa dia mencintaimu atau tidak?” tebak Firda yang langsung disambut anggukan kepala oleh Silvi. “Iya,”             Firda menghela napas sebentar. Ada jeda yang cukup panjang di percakapan mereka sebelum akhirnya Firda mulai kembali bicara.             “Cinta itu bisa dibangun, Sil.” Firda bicara dengan lembut, tidak ingin terdengar mengajari. Karena dia tidak ingin tampak tahu segalanya yang nantinya akan membuat Silvi salah sangka dan merasa direndahkan olehnya.             “Aku bukannya mengatakan kalau cinta itu tidak penting dalam pernikahan. Aku hanya tidak ingin kamu salah langkah, Sil. Kamu tahu aku dulu kan? Aku ini bukan wanita baik, bahkan sampai saat ini pun aku belum merasa menjadi wanita baik. Dulu—aku berpacaran dengan pacarku selama tujuh tahun. Astaufirullah, setiap malam aku menangis dan memohon ampunan pada Allah Subhanallahu wa Ta’ala saat kuingat saat-saat itu. Bukan karena aku berpacaran dengan pacarku, tetapi karena aku mengatasnamakan cinta untuk merajut hubungan yang tidak Allah Subhanallahu wa Ta’ala halalkan.” Firda menghentikan ucapannya, airmatanya menetes pelan. Suaranya agak tersedat, menandakan betapa sakitnya hatinya karena teringat kesalahannya di masa lalu.             “Apa yang aku lakukan saat itu atas dasar nafsu, Sil. Karena sesungguhnya nafsu itu selalu mengajak pada keburukan. Dia ( Nafsu ) membuat orang-orang menganggap sesuatu yang buruk terlihat baik sehingga mereka melakukannya seolah itu sesuatu yang dibenarkan. Namun, mas Damar berbeda, Sil. Dia mengajakmu menikah, dia menjauhkanmu dari nafsu. Karena itu, jika kusimpulkan, dia benar-benar mencintaimu.” Firda mengakhiri ucapannya dengan penekanan pada kata-kata terakhirnya membuat Silvi yang sedang mendengarkan tersentuh hatinya.             “Dia lelaki yang baik, Sil.”             “Aku tahu kalau dia lelaki baik.” Silvi mengiyakan anggapan Firda bahwa Damar adalah lelaki yang baik.             “Aku hanya tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan.” Silvi melanjutkan.             “Bukankah kamu yang bilang kalau jodoh itu tidak akan kemana? Jika dia jodohku, aku yakin hatiku yang bimbang ini pada akhirnya akan merasa yakin padanya nanti.”             “Aamiin.” Firda mengamini ucapan Silvi.             “Kalau begitu, ceritakanlah perkara ini pada Bundamu. Bagaimanapun nasehat orang tua itu lebih besar pengaruhnya daripada nasehat dari orang lain. Karena ridho Allah berada pada ridho orang tua.” Firda kembali memberikan saran.             Silvi tersenyum kecil.             “Aku rasa kamu sudah menjadi ustadzah yang luar biasa keren, Fir,” puji Silvi.             “Belumlah, aku masih belajar,” sanggah Firda.             “Tapi bagiku, kamu tetap saja sudah menjadi wanita yang keren.” Silvi bersikeras.             “Oke, oke, terimakasih atas pujianmu. Sebaiknya kamu jangan membuang waktu lagi. Cepatlah ceritakan soal ini pada Bundamu, siapa tahu Damar itu adalah menantu yang selama ini sudah Bundamu tunggu.” Goda Firda sembari tertawa kecil membuat Silvi hanya bersemu merah dengan godaan Firda.             Telpon diakhiri dengan salam dan Silvi mulai terjebak dalam keheningan kembali. Gadis itu berupaya meyakinkan hatinya untuk mulai bercerita pada Bunda, wanita setengah baya yang selama ini sudah mengajukan banyak pertanyaan padanya tentang kapan dia akan menikah.             Silvi melangkah keluar dengan mantap, berjalan santai menuju Bunda yang baru saja selesai mengaji dan duduk santai di ruang tamu dengan masih mengenakan mukenahnya.             “Bunda,” panggil Silvi seraya duduk di samping Bunda.             Bunda hanya tersenyum dan membelai lembut kepala Silvi saat anak perempuannya itu melingkarkan tangannya di perut Bunda.             “Ada apa?” tanya Bunda seolah memahami betul kalau Silvi hendak ingin menceritakan sesuatu.             “Nggak apa-apa, Bun. Silvi hanya ingin manja sama, Bunda!” elak Silvi sembari mencium kecil pipi Bunda.             Bunda hanya tersenyum tipis.             “Bunda sudah kenal Silvi selama 23 tahun sayang, jangan mencoba membodohi Bunda. Jujurlah sayang! Meskipun pahit, kejujuran itu jauh lebih baik daripada kebohongan yang manis.” Bunda menatap lekat bola hitam Silvi membuat gadis itu mau tidak mau mulai menegakkan tubuhnya, hendak mengemukakan kegelisahan yang tengah dirasakannya.             “Ada apa, Sayang?” tanya Bunda lagi karena Silvi masih betah dalam diam.             “Bun,” akhirnya Silvi mulai membuka suaranya. “Tadi Silvi dilamar.”             Silvi menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Bunda. Silvi terlalu takut melihat ekspresi Bunda, dia hanya berani menatap mukenah putih Bunda. Cukup lama ditunggu dan tidak ada jawaban apapun. Silvi sedikit mendongakkan kepalanya, penasaran dengan ekspresi wajah Bunda.             Silvi tertegun. Wanita paruh baya itu hanya menganga dengan airmata yang bercucuran. Tidak hanya itu, Bunda bahkan melantunkan tahmid tanpa suara, hanya sebatas gerakan bibir yang langsung dimengerti oleh Silvi.             “Bun,” panggil Silvi, berusaha menyadarkan Bunda dari keterkejutannya.             “Siapa?” tanya Bunda dengan penuh harap.             “Yang melamar?” tebak Silvi. Bunda mengangguk cepat. “Iya,”             “Mas Damar,” jawab Silvi.             “Kenal dimana?” tanya Bunda lagi.             “Di kafe,” jawab Silvi. Bunda menautkan alisnya. “Sejak kapan?”             “Tadi,” jawab Silvi membuat Bunda semakin menautkan alisnya.             “Langsung dilamar?’ tanya Bunda ragu. Silvi mengangguk. “Silvi jawab apa?’ tanya Bunda. Silvi menggelengkan kepalanya. “Tidak tahu,” “Belum jawab maksudnya?” tanya Bunda. Silvi mengangguk sekali lagi. Bunda menghela napas lega. “Penampilannya bagaimana?’ tanya Bunda. “Hm.” Silvi berpikir sejenak, mengingat kembali sosok Damar. “Mirip mas Roni,” jawab Silvi. “Alim, dong?” tanya Bunda yang hanya Silvi jawab dengan mengangkat kedua bahunya, “Sepertinya begitu, Bun!” ‘Pembawaannya bagaimana?’ tanya Bunda lagi. “Sepertinya kalem,” “Silvi suka?” tanya Bunda. Silvi hanya terdiam. “Penampilannya tidak meyakinkan?” Silvi menggeleng. “Jelek?” Silvi menggeleng lagi. “Ganteng?” Silvi mengangguk. “Heh!” Silvi tergagap. “Anu, Bun.” Silvi menghentikan ucapannya, bergidik ngeri saat melihat Bunda sedang menatapnya dengan mata yang disipitkan dan senyuman lebar. “Silvi juga manusia, Bun. Masih bisa nilai yang mana yang ganteng.” Silvi mulai melakukan pembelaan. Bunda hanya tergelak. “Sayang,” Bunda membelai lembut pipi Silvi. “Tidak ada yang lebih baik daripada keputusan Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Jika engkau merasa bimbang atau belum bisa memutuskan sesuatu dalam suatu perkara, ambillah wudu dan dirikanlah sholat. Karena sebaik-baiknya tempat untuk meminta pertolongan adalah Allah Subhanallahu wa Ta’ala!” Silvi mengangguk yakin lalu memeluk Bunda. “Terimakasih, Bun!” ucap Bunda tulus. Bunda membalas pelukan Silvi. “Sama-sama sayang, tetapi kalau lelaki ganteng Bunda sih yes!” imbuh Bunda yang kemudian disusul tawa keduanya. Makasih, Bunda, Silvi membatin dengan tulus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD