Keesokan paginya, Wulan sama sekali tak keluar kamar sedangkan Candra sering tersenyum saat pagi sedang mengadoni tepung terigu. “A? Kenapa aa ini?” Tanya Ade yang tampak bingung dengan bosnya. “Tidak..., Memangnya kenapa?” Tanya Candra. “Aa pagi ini terlihat agak aneh, apa yang membuat aa ini senyum-senyum. Aa juga kenapa pagi-pagi sekali sudah mandi?” Tanya Ade. Bu Indah yang tahu dengan kondisi Candra pun ikut tersenyum dan menjawab pertanyaan Ade, “memangnya kenapa kalau mandi terlalu pagi? Bukankah mandi pagi membuat badan sehat?” ucap Bu Indah. “ya memang sehat, tapi kan tidak biasanya aa mandi sepagi ini Bu.” Jawab Ade. Pagi ini wajah Candra terlihat sumringah setelah merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya malam tadi.
Sementara Wulan masih merasa perih dibagian intimnya. Entah sampai kapan rasa perih itu tak terasa lagi, Wulan merasa tersiksa dengan keadaan ini. Tiba-tiba air mata Wulan menetes karena masih merasakan perih. Sebelum berangkat keliling berjualan ayam, Candra pun berpamitan terlebih dahulu. Candra masuk kedalam kamarnya dan melihat istrinya masih sesenggukan, “sayang...., Aku berangkat dulu ya, ibu juga sudah berangkat ke perkebunan pagi tadi.” Ucap Candra. Wulan tak menjawab ucapan Candra karena Wulan agak sedikit jengkel dengan suaminya itu. Wulan masih sesenggukan, “ada apa sayang? Kenapa kau menangis?” tanya Candra yang langsung menghampiri istrinya. Wulan pun langsung memalingkan wajahnya, “sudah sana berangkat!” ucap Wulan tanpa memperlihatkan wajahnya yang masih menangis. Candra pun duduk ditepian kasur dan melihat istrinya sedang berlinang air mata, “ada apa Wulan? Kau masih sakit?” tanya Candra. Wulan tak menjawab pertanyaan Candra dan malah berbaik membelakangi Candra. “masih sakit....,” ujar Wulan sambil sesenggukan. “Sini..., Coba aku lihat,” ucap Candra sambil membuka rok yang dipakai Wulan. Wulan pun tetap diam saja. Candra menelentangkan tubuh Wulan dengan lembut, merentangkan kedua kakinya agar dirinya bisa melihat bagian intim Wulan. Candra melihat ada memar disana dan ada sedikit darah menempel di dindingnya.
“kau tunggulah disini, aku mau ke apotek dulu untuk membeli obat.” Ucap Candra sambil menurunkan lagi rok yang dipakai Wulan. Wulan pun tetap saja diam saat Candra pergi meninggalkannya. Candra yang begitu perhatian kepada Wulan pun merasa sangat bersalah karena kelakuannya, Wulan jadi merasakan sakit sampai menangis. Di pertengahan jalan Candra agak bingung, bagaimana cara menjelaskan kepada apoteker nanti tentang masalahnya. Candra agak malu jika menceritakannya kepada orang lain, tapi demi untuk mengobati luka Wulan, Candra akan menepis rasa malunya dan harus mendapat jalan keluarnya. Setelah mendapatkan salep dari sebuah apotek di ujung desanya, Candra pun segera pulang dan menemui istrinya.
Sesampainya dirumah, Candra pun membantu istrinya mengoleskan salep itu di bagian kewatiaannya. Walau Candra mengolesnya dengan lembut, tapi Wulan tetap meringis kesakitan. Salep itu terasa dingin saat menempel pada kulit sensitif Wulan. “Maafkan aku yaa...,” bisik Candra. Sebelum Candra berangkat bekerja, Candra pun menyiapkan makanan untuk Wulan dikamarnya, jadi Wulan tak perlu repot mengambilnya didapur. “Jangan lupa makan ya sayang, aku berangkat dulu. Aku akan segera mungkin untuk pulang cepat agar kau tak sendirian dirumah.” Ucap Candra lalu mencium kening istrinya. Candra tak tega melihat Wulan masih kesakitan seperti itu. Berkali-kali Candra meminta maaf tapi Candra merasa maafnya tak berarti dan tak bisa mengobati rasa perih yang dirasakan oleh Wulan.
Setelah Candra berangkat berdagang, Wulan pun membuka laptopnya untuk mengawasi keuangan dikantornya setelah hampir dua bulan ini ia tak masuk kekantor. Harusnya hari ini Wulan ingin berangkat, namun keadaan tak memungkinkan Wulan untuk berangkat bekerja. Wulan merasa tidak enak jika harus bekerja dengan posisi seperti itu. Namun sekarang semenjak bagian sensitifnya diobati oleh Candra, rasa perih didaerah itu sedikit mereda. Wulan masih memeriksa pemasukan hari kemarin. Saat Wulan masih memeriksa keuangan kantornya, tiba-tiba pak Cokro pun datang dengan menaiki kudanya. Dari dalam rumah Wulan mendengar ada suara langkah kaki kuda, sudah pasti itu ayahnya karena hanya keluarga Wulan saja yang mempunyai kuda peliharaan. “Wulan..., Wulan....,” suara pak Cokro terdengar dari luar rumah Bu Indah. Wulan pun berusaha duduk menahan rasa sakit di area sensitifnya. Wulan pun membukakan pintu untuk ayahnya, “ayah....,” ucap Wulan sambil memeluk ayahnya. Pak Cokro juga membalas pelukan kasih sayang dari putrinya. “kenapa hari ini tidak kekantor? Apa kau sakit?” tanya pak Cokro sambil memegang kedua pipi putrinya. “tidak ayah..., Wulan hanya malas kekantor, ayo ayah masuklah...,” ucap Wulan. Pak Cokro melihat kesekeliling rumah Candra yang tampak sudah berbeda dari sebelumnya. “rumah ini banyak perubahan ya nak,” ucap pak Cokro. “iya ayah..., Candra lah yang telah mengusahakan semuanya.” Ucap Wulan membanggakan suaminya. “laki-laki memang harus seperti itu nak, siapa tahu dia menjadi orang yang sukses seperti ayah, ayah lihat dia juga sangat tekun bekerja.” Ucap pak Cokro. Mereka saling berbincang mengenai kehidupan Wulan yang kini tinggal dirumah sempit itu. Pak Cokro melihat raut wajah putrinya yang tetap bahagia walau tinggal dirumah yang terlihat sempit itu. “ayah..., Kami berencana untuk tinggal lagi dirumah ayah karena Candra yang menginginkan hal itu, Candra tak ingin ayah kehilangan sosok putrinya dalam hidupnya.” Ucap Wulan sambil tersenyum. “Lalu Bu Indah tinggal dengan siapa nak?” tanya pak Cokro. “oh iya ayah..., Aku lupa ingin mengatakan sesuatu kepada ayah, kami akan tinggal lagi dirumah ayah sedangkan ibu Indah akan tinggal bersama dengan Ade, laki-laki berusia enam belas tahun yang menjadi salah satu karyawan dari Candra.” Ucap Wulan. “Oh..., Lalu keluarganya mengijinkan?” tanya pak Cokro. “itulah mengapa kami memilih agar Ade tinggal dirumah ini bersama dengan ibu, ayah tahu, Ade adalah anak yatim piatu. Sebelum tinggal disini, ia selalu tidur di masjid di ujung jalan sana.” Ucap Wulan sambil menunjuk arah tempat Ade tinggal. Ayah, kami masih boleh kan tinggal dirumah ayah?” tanya Wulan. “kenapa kau bertanya seperti itu? Kau ini putri ayah, rumah ayah juga rumahmu, ayah malah senang jika kau akhirnya tinggal bersama dengan ayah lagi.” Ucap pak Cokro tersenyum. Pak Cokro pasti mengijinkan Candra untuk tinggal dirumah karena pak Cokro mempunyai maksud lain. Maksud itu adalah agar Lulun samak bisa dengan mudah mengawasi Candra karena Candra telah tinggal dirumahnya. Kalau Candra sudah tinggal dirumah pak Cokro, hanya menunggu waktu giliran saja kapan Lulun samak itu akan mengambil jiwa Candra. Pak Cokro pun berfikir lebih jauh lagi bahwa setelah kematian Candra, pak Cokro bisa menikahkan lagi Wulan dengan laki-laki lain yang sederajat dengannya dan tentunya kalau bisa yang lebih kaya darinya.