Bab 7 - Apakah Dia?

1321 Words
Setelah meninggalkan Gilang sendirian, aku hanya berbaring dengan kerisauan yang entah apa artinya sadari tadi otakku selalu berputar ke waktu 7 tahun yang lalu. Ada desiran tak terduga berdetak tak beraturan didalam sana, jadi maksud Gilang beberapa saat lalu bahwa ibu dan ayahnya tau soal perempuan yang disukainya adalah aku? Tetapi nyatanya dia malah dijodohkan dengan Kak Siska. Jadi awalnya Gilang menganggap jika perempuan yang akan dilamarnya adalah aku? Tetapi yang menganggu pemikiranku saat ini adalah bagaimana bisa Gilang mengetahui jika rumah ini adalah rumahku. ~flashback on "Ehem." Aku mendongak dan menemukan laki-laki berpakaian kemeja kotak-kotak sedang menatapku dengan senyuman. "Siapa?" tanyaku dengan suara serak merupakan tanda bahwasanya aku habis menangis. "Pelangi." jawabnya cepat, keningku berkerut bingung. Rasa tak percaya menghinggapi hatiku mana mungkin laki-laki sepertinya diberi nama 'pelangi' "Kamu kenapa nangis?". Aku hanya diam tak menjawab pertanyaannya, aku kembali menunduk menatap kakiku yang kumainkan. "Mau menjadi temanku?" aku kembali mendongak dan dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. "Teman?" bukannya menjawab pertanyaannya aku malah mempertanyakan kata yang menganggu pemikiranku. "Iya. Mau berteman?" ulangnya lagi sambari menggoyang-goyangkan tangannya yang sadari tadi ia ulurkan padaku untuk berjabat tangan. Aku tersenyum walaupun masih dengan mata sembab, aku menerima uluran tangannya merasa sangat bahagia ada yang mau Berteman denganku. "Jadi... Kenapa kamu menangis?" ulangnya lagi yang kubalas dengan gelengan pelan, tangisku kini sudah terhenti tergantikan dengan senyuman. "Kakak ngapain disini?" dapat kulihat dia tertawa kecil  "Kenapa ketawa? Apakah ada yang lucu?" kesalku, "Wajah kamu lucu." setelah mengucapkan itu dia tertawa bahkan sampai memegang perutnya. Apakah wajahku benar-benar aneh? "Terkadang kita memang memerlukan waktu untuk sendiri. Bukan karena sedang tidak baik-baik saja hanya saja keadaan yang memaksakan kehendaknya sendiri." laki-laki bernama Pelangi itu kembali bersuara, dia hanya fokus menatap rumput taman. "Aku hanya sedang gelisah saja." ungkapku beberapa detik kemudian, aku bukannya tidak ingin bercerita hanya saja kurasa tidak baik jika bercerita terlalu jauh pada orang asing. "Yasudah... Aku pamit dulu, lain kali kita bertemu lagi." ia berlalu setelah sebelumnya memberikan senyuman lembut padaku. Tanpa sadar aku tersenyum pelan akan itu karena masih ada orang yang peduli padaku padahal kami berdua tidak saling kenal sama sekali. Dalam hati aku mengaminkan perkataannya tadi, aku berharap bisa bertemu lagi dengannya. Aku hanya ingin merasakan mempunyai teman walaupun sepertinya dia lebih tua beberapa tahun dariku. Aku berharap bisa melihat wajah itu lagi nantinya walaupun takdir hanya menginginkan pertemuan itu saling berlalu saja kurasa itu lebih dari cukup. ~flashback off Lamunanku tersentak saat mendengar suara petir dan sepertinya akan hujan. Kisah lama itu cukup membuat hatiku menghangat dan saat itu adalah pertemuan pertama kami setelah perkenalan tak terduga itu kami menjadi dekat bahkan sangat dekat. Pelangi...? Sosok yang mengajarkanku arti sebuah ketegaran yang sebenarnya, mengajakku tetap berdiri sedangkan dunia mendorongku terpental cukup jauh. Saat semua temanku menjauhi dia malah datang menawarkan diri sebagai teman dengan senyuman indahnya. Ia bahkan selalu membuatku tertawa dengan segala tingkah konyol dan jahilnya terkadang membuatku kesal akan dirinya, masa remaja memang semenyenangkan itu yaa. "Jika benar kamu pelangi lalu kenapa kamu pergi dan meninggalkanku sendiri saat itu." gumamku lirih. Aku tak tau nama aslinya adalah Gilang, laki-laki yang berumur beberapa tahun diatasku itu mengatakan bahwa namanya adalah pelangi. Seperti layaknya setelah hujan adanya pelangi mewarnai dunia maka dirinya datang mewarnai kehidupanku setelah semuanya memberi hitam. "Kenapa harus kamu Gilang?"tanyaku dalam hati,ketakutan berpacu bersama desakan ayah. Pernikahan ini tetap terlaksana dan yang menjadi pengantin perempuannya adalah aku. Mataku terpejam meresapi makna sang waktu, seharusnya ini tak berlanjut. Ada sebuah tembok tinggi antara aku dan Gilang, firasatku mengatakan akan ada luka yang lebih besar lagi dari ini semua. bagaimana nantinya jika yang Gilang berikan malah lebih besar dari apa yang ayah torehkan padaku, ketakutan tak mendasar ini benar-benar berhasil menguasai pemikiranku dan selalu saja seperti itu. "Ayah tak mendengar alasan apapun Aila, jika dirimu masih menganggap ayah adalah ayahmu maka turuti semua ini, seharusnya kau bersyukur Gilang ingin menerima perempuan sepertimu." "Dan ingat kamu harusnya sekarang bersyukur keluarga Gilang ingin menerima perempuan tak menjaga kehormatannya sepertimu, jangan mempermalukan ayah Aila. Entah apa yang terjadi padamu hingga semua didikan yang kuberikan padamu kini menghilang entah kemana." "Harusnya bundamu tidak memanjakanmu pas masih dia hidup, mungkin dia pasti menyesal telah melahirkan Putri tak tau diri sepertimu." "Kadang ayah merasa gagal telah membesarkan perempuan sepertimu harusnya jilbab itu tidak kau pakai, jilbab itu tidak akan menutupi profesinya sebagai seorang Jalang." Otak s****n dan air mata b******k,batinku. Itu adalah rentenan kalimat yang ayah ucapkan padaku setelah pertemuanku dengan Gilang tadi bahkan masih banyak yang ia ucapkan tetapi rasanya mengingat setiap ucapan itu membuatku menjadi perempuan lemah tak berdaya. Menyesal melahirkanku katanya? Bahkan dulu bunda malah mangatakan aku adalah hadiah terindah yang Allah berikan selama ia hidup. Jilbab ini harusnya kulepas? Terus bagaimana nantinya jika kulepaskan,timbangan ayah di akhirat nanti pasti sangat berat tetapi aku sebagai putrinya harus mendukungnya bukan? Harus membantunya. Jalang? Mataku terpejam, ternyata Ayah sudah berhasil membekukan hatiku untuk merasai Sesuatu lagi. Fikiran ini terus saja mendorongku untuk lemah lemah dan lemah. Sedikit-sedikit harus kepikiran masalah ini kapan aku bangkit jikalau seperti ini terus? "Bunda, Aila butuh bunda disini menemani Aila menapaki setiap duri dari berjalannya waktu. Bunda sedang apa sekarang?. Datang ke mimpi Aila yaa bunda, berikan Aila kekuatan untuk menyambut luka baru lagi "perkataanku hanya dijawab oleh desiran angin yang datang. Setelah lama berbaring, kini mataku sedang menatap rembulan yang sepertinya tidak terlalu kentara karena hujan datang ke bumi. Setelah lama berbaring aku berjalan berdiri didekat jendela. Menatap rintikan hujan yang sepertinya sangat semangat mengguyur bumi. "Aila...." Aku menoleh dan menemukan ayah berdiri diambang pintu kamarku, dari pandanganku ayah terlihat kaget melihat isi kamarku kosong. "Kenapa ayah, kalau ingin berbicara dengan Aila cukup menyuruh bibi untuk memanggilku kehadapan ayah"ucapku sambil berjalan kearahnya sambil tertunduk. "Apa kau sangat kekurangan uang sehingga semua barang dikamarmu kau jual "tinggal  4 langkah lagi menuju kesisi laki-laki berkemeja biru itu tetapi perkataannya membuatku tertohok. Pandanganku menatapnya dengan sorot terluka setelah ucapannya beberapa waktu lalu apa harus ditambah lagi agar aku semakin jatuh? "Apa uang yang setiap bulan ayah beri padamu tdk cukup Aila, sehingga kau menjual Barang-barang dikamarmu dan juga tubuhmu" Apa yang harus kulakukan jika ayah menghina putrinya sehina itu? Sebenarnya aku sedang main sinetron atau tidak jika sedang memainkan akting drama maka aku lebih memilih menyerah daripada menghadapi hal seperti ini. Permainan takdir benar-benar sangat luar biasa apalagi untuk orang lemah sepertiku. "Uang bulanan... "Ucapku ambigu. "Ya uang bulanan, ayah selalu memberi uang bulanan untukmu melalui Miranda"ucap ayah seakan menjawab pertanyaanku, Kenyataan apalagi sekarang, apalagi yang perempuan yang berstatus ibu tiriku itu mainkan kenapa banyak sekali ia ambil alih. Apa tidak cukup membuat ayahku seasing ini? "Apa maksud ayah, sejak kejadian ayah menuduhku entah apa sebabnya sejak saat itu semua kehidupan Aila berubah. Ibu Miranda mengambil Barang yang ada kamarku, sedangkan uang tak pernah aku terima sampai saat ini. Dan menjual tubuh?. Ayah adalah ayahku, tanya dalam hati ayah Apakah Aila perempuan seperti itu?"ucapku. Tapi itu tertahan. Itu hanya teriakku dalam hati. Sedangkan nyatanya ayah telah meninggalkan kamarku beberapa menit yang lalu. Meninggalkanku dalam lamunan dan tanpa kusadari air mata yang paling kubenci kini telah hadir. Kapan air mata ini berubah menjadi senyuman bahagia? Kudengar hujan makin semangat diluar sana memainkan melodinya, rasanya aku ingin tertawa bahkan airmataku sekarang sedang bertanding dengan derasnya hujan diluar sana. "Kuharap luka ini tidak membekas sempai dimasa depan ayah, kumohon... Jangan membuatku mengeraskan hati dan mengubah rasa sayang padamu menjadi kebencian yang begitu besar hingga menatapmu nantinya adalah hal yang paling kubenci." Aku menangis meluapkan segalanya berusaha mengendalikan perasaanku agar tidak membenci ayahku sendiri. "La tahzan innallaha ma'ana." ucapku berkali-kali. -..Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui sesuatu. (Al-Baqarah: 216)..- Aku tersenyum pelan saat kertas kecil yang kutempel di dinding tertangkap oleh mataku, aku tidak boleh menyerah akan ada sesuatu yang datang tanpa aku duga sama sekali. Aku hanya perlu bersabar bukan? Bisa saja yang aku harapkan sekarang tidak baik untukku maka dari itu Allah tidak mendatangkannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD