Setelah menangis cukup lama mataku menatap jam kecil yang berada di dekat kain tipis tempat tidurku setiap malam disana menujukkan pukul 4 sore. Dan itu tanda air mataku datang sudah sangat lama
Tetapi aku bersyukur mataku tidak terlalu bengkak jadi pas kekafe nanti para pegawai tidak akan menanyakan hal yang tidak bisa aku jawab sama sekali, menjadi sok kuat seperti ini ternyata sulit sekali.
Ingatanku berputar pada masa lampau, aku merindukan bunda. Malaikat terindah yang kumiliki, aku begitu menginginkan bunda disini.
Andai, aku mengetahui keluarga ibu mungkin ragaku takkan menetap disini. Aku sudah berada di tengah-tengah kebahagiaan keluarga bunda akan tetapi bunda tak pernah mengatakan padaku dimana mereka tinggal, bunda hanya mengatakan padaku bahwasanya wajahku sangat mirip dengannya jadi nantinya ketemu keluarga bunda pasti mereka mengenaliku.
Lagi dan lagi kenapa pemikiranku selalu tentang kerapuhan seperti ini, tak pernah sedetikpun memikirkan tentang bahagia, tawa selalu saja sedih dan kata anak jaman sekarang faseku sekarang adalah fase 'galau' akurat tetapi bedanya aku mengalami fase ini bukan karena Cinta seperti kebanyakan remaja.
Mataku hanya memperlihatkan kekosongan sangat ini,mukenah masih melekat pada tubuhku, kain lusuh yang pastinya jika ada seseorang yang melihatnya pasti sangat mengira hidupku sungguh sulit memiliki mukenah saja sangat lusuh Seperti ini.
Mukena pemberian bunda yang masih kupakai sampai saat ini, ada sedikit kebahagiaan dalam diriku saat ingatanku kembali pada saat bunda masih ada. Umurku baru 15 tahun ia memberiku hadiah ini dan itupun sangat besar saat kupakai.
"Bunda sengaja beliin kamu yang besar biar bisa kepake sampai besar. Dan saat usai shalat kamu selalu ingat bunda dan mendoakan bunda agar terus baik-baik saja." rasanya baru kemarin aku mendengarkan ucapan itu padahal nyatanya itu ucapan bunda 6 tahun lalu.
"Jika difikirkan lagi sepertinya jalur hidupku ini sudah bisa dijadikan sinetron dan membuat para penontonnya emosi karena kebodohanku tetap bertahan dirumah ini," gumamku .
Tetapi hatiku tak menyerah, bunda telah menanamkan agama dalam diriku walaupun hanya menggunakan hijab bukan jilbab syar'i seperti selayaknya tetapi menurut bunda ini sudah sangat Bagus. "Sayang, bunda bahagia karena Aila ingin menutup aurat untuk menyelamatkan ayah nantinya."Hatiku bergetar mengingat perkataan bunda
Ayah...?
Kemana sosok itu, laki-laki yang selalu menjadi panutan seorang anaknya, Cinta pertama anak perempuan tetapi kenapa? Haruskah seperti ini?
Seseorang yang harus kulindungi martabatnya dan Juga untuk mengurangi hisabnya nanti di akhirat tetapi disini ia tidak melindungiku seperti kebanyakan orang diluar sana, meskipun umurku sudah 21 tahun tetapi tidak salahkan jika masih mengharapkan perhatian penuh orang tua.
"Sepertinya aku harus ke psikolog memeriksa kejiwaanku sebelum makin jauh terporosok jatuh." gumamku lagi,
Mataku terpejam berusaha memahami sesuatu didalam sana meresapi lukaku yang sulit kukendalikan, bunda! Putrimu membutuhkan pelukan hangatmu, teriak batinku.
Masih terekam jelas dalam ingatanku saat ayah datang padaku memberiku deretan kata membuatku hancur didetik yang sama hanya karena bermodalkan foto yang tak pernah kulihat entah apa isinya
-flashback on
aku sedang membaca buku di kamar dan pintu kamar terdorong dengan kasar bahkan n****+ yang kupegang langsung kulepaskan dan menatap ayah dengan wajah bingung sedang ayah menatapku emosi.
"Ayah kecewa padamu Aila, apa gunanya jilbab yang selalu bundamu tanamkan dalam dirimu itu ,kau mempermalukan ayah Aila, kau bahkan menjadi jalang, sehina ini?" mataku mengabur menandakan air mata akan hadir. Rasanya ada sesuatu yang menikamku saat itu.
Hingga beberapa detik kemudian ayah melempar foto kepadaku, sebelumnya aku tak menghiraukan foto itu,aku hanya berfokus pada perkataan ayah kata yang cukup membuatku jatuh tak bersisa.
Jalang katanya?
Seandainya orang lain yang mengataiku mungkin hatiku tak seremuk ini akan tetapi ini ayah. Keluargaku satu-satunya, bunda sudah pergi lalu apalagi yang akan takdir permainkan padaku sekarang?
Beberapa detik kemudian mataku menatap nanar foto yang berada beberapa jarak dariku,
Aku berdiri dari ranjang melangkah kearah foto misterius itu tetapi saat tanganku ingin mengambilnya ibu Miranda lebih dulu mengambilnya, merobeknya hingga tak bisa ku lihat lalu pergi setelah tersenyum licik padaku.
Hatiku remuk, apa artinya semua ini...?
Sedang ayah sudah menghilang dari kamarku sedaritadi mungkin ia kecewa tetapi apa kesalahanku? Kenapa bisa Cinta pertamaku bisa semarah itu padaku? Permainan apa lagi ini takdir? Apa belum cukup bunda kau ambil dariku sekarang ayahku?
-flashback off
Lamunanku tersentak dari kejadian beberapa tahun lalu itu, mataku terbuka mencoba menjernihkan pikiranku untuk tetap fokus tidak terlalu larut pada kesedihan walaupun sedikit agak sia-sia.
Pandanganku menoleh saat mendengar nada tanda pesan dari handphoneku. Jangan berfikir bahwa ini adalah handphone canggih, ini hanya kugunakan untuk mengirim pesan dan menelepon bahkan mengambil gambar saja tidak bisa. Hanya handphone biasa. Camkan itu.
Dari balik layar yang sudah retak ada pesan dari Aidan, suami dari sahabatku Aisyah. Mereka berdua yang menjadi temen baikku sekarang walaupun dekat tetapi mereka berdua tidak tau menahu tentang keadaan rapuhku. Dan akan ku usahakan supaya mereka tidak tau akan itu.
"Aila?, saya datang menjemputmu untuk datang ke kafe. Aisyah menyuruhku menjemputmu, lekaslah keluar"
Tepat setelah kuketik beberapa huruf lalu kukirim ke Aidan, aku berdiri dan membuka mukenahku menggantinya dengan hijab yang bahkan warnanya sudah pudar, sebenarnya aku ingin membeli jilbab lagi tapi bagaimana bisa sedang biaya sehari-hariku saja sudah pas-pasan sekali.
Setelah bersiap, kakiku melangkah keluar berjalan tergesa-gesa agar Aidan tidak terlalu lama menunggu diluar akan tetapi sosok disana membuatku terpaku, ayah ada disana berdiri dengan wajah emosinya, lagi?
"Apakah tidak ada tempat lain sehingga membawa pelanggangmu kerumah, saya tak sudi rumah saya menjadi hina"setelah mengucapkan itu padaku ayah pergi meninggalkan ku mematung ditempat. Bahkan Aidan melototkan matanya mendengar perkataan ayah barusan
Aku hanya mencoba tersenyum pada Aidan agar ia tidak terlalu memikirkan perkataan kejam Ayah tadi, tetapi sepertinya harapanku tidak bisa tergapai karena saat ini Aidan masih mematung ditempat entah memikirkan apa.
"Aidan... "Panggilku, sejenak ia tersentak kemudian menatapku. Ia seperti orang bingung saat ini mungkin terlalu kaget dan tidak percaya mendengar ucapan ayah tadi.
"Kau tersenyum mendengar tuduhan yang tidak mendasar itu?" kubalas perkataan Aidan dengan anggukan sambari tersenyum lembut. Berusaha memperlihatkan padanya bahwa aku tetap baik-baik saja tetapi tidak dengan didalam sana. Didalam sana sangat sesak bahkan mulutku bergetar saat berucap tetapi berusaha kukendalikan sebaik mungkin.
Kamu memang ratu drama Aila, teriak pikiranku didalam sana.
Kulihat Aidan menggeleng pelan, lagian siapa sih yang tidak kaget jika mendengar seorang ayah mengatai Putrinya seperti itu.
"Ayo berangkat, didalam siapa saja?" aku mencoba mengalihkan keadaan agar ia tidak terlalu memikirkan kejadian beberapa saat lalu.
"Di dekat kemudi ada Adnan, terus di jok belakang ada Indah, Sila dan Caca. Masih cukup nampung kamu kok. Yuk berangkat." ia berjalan menuju mobil yang ada dipinggir jalan Raya. Mungkin ia sengaja tidak memasukkan mobilnya didalam garasi rumah karena hanya ingin menjemputku saja.
"Kenapa harus jemput sih, lagiankan rumahku paling deket dengan kafe kalian ada-ada aja deh." gerutuku saat tanganku membuka pintu mobil dan menatap ketiga perempuan itu dengan wajah kesal.
"Aisyah yang menyuruh kami Aila." itu suara Adnan yang diiringi anggukan kompak oleh ketiga perempuan itu. Aku hanya memutar mataku malas dan segera naik ke mobil.
"Kita berangkat." seru mereka dan aku hanya tersenyum melihat kehebohan itu. Setidaknya keramaian ini membuatku lupa perkataan ayah tadi.
Pov Miranda
Aku sebenarnya tidak terlalu membenci anak itu hanya saja keberadaan cukup membahayakan posisiku sebagai istri sah seorang Pramono Baskoro. Bukan hal mudah menjadi istrinya maka dari itu aku memutuskan untuk sedikit membuat posisi anak itu menjauh dari jangkauan ayahnya.
Dengan modal selembar foto itu akhirnya aku bisa membuat semuanya seperti keinginanku, tentunya aku masih ingat apa yang telah kulakukan hingga dia akhirnya sangat dibenci oleh keluarga satu-satunya yaitu ayahnya sendiri.
"Aku mendapatkan foto ini dan disana benar-benar memalukan." kataku sembari menyodorkan selembar foto kepada Pramono, hatiku tersenyum senang saat melihat wajahnya sedang menahan emosi.
"Perempuan itu sangat mirip dengan Aila kita, walaupun wajahnya tidak terlihat dan sangat samar tetapi entah kenapa aku berfikiran kalau itu memang Aila. Disana Aila sedang dipangku oleh seorang lelaki bukan? Kamu bisa melihatnya sendiri." laki-laki yang tak jauh dariku itu masih terdiam menatap nanar foto ditangannya.
"Mereka berdua terlihat melakukan adegan ciuman walaupun tidak terlihat sama sekali, dan juga pakaian perempuan mirip Aila kita itu sangatlah seksi. Aku merasa gagal walaupun kenyatannya aku adalah ibu sambungnya tetapi rasanya..." aku menghentikan ucapanku lalu terisak pelan, mencoba memperlihatkan pada lelaki itu bahwa aku merasa kecewa dan gagal menjadi ibu tiri anaknya.
Aku tersenyum senang saat suamiku itu berlalu pergi dengan wajah yang sangat menyeramkan, terlihat sekali kalau dia sangatlah emosi dan pertunjukan yang kuinginkan akhirnya segera terjadi didepanku sebentar lagi.
Aku berjalan keluar kamar, sambari bersenandung kecil karena merasa sangat bahagia. Katakan aku jahat karena membuat drama selayaknya film di TV ataupun apapun itu tetapi aku hanya ingin membuat posisi Aila sedikit jauh dari ayahnya. Rasanya ia terlalu beruntung menjadi Putri kesayangan padahal menurutku dia sangat tidak berhak mendapatkan hal itu meskipun dia anak kandung Pramono sekalipun.
Sejak aku beralih menjadi ibu tirinya, aku menjadi seseorang yang begitu penyayang tetapi itu hanya berlaku beberapa bulan saja ataupun setahun saja setelah ini maka semuanya akan kuperlihatkan dengan jelas bagaimana sikapku yang sebenarnya dan dimana posisi anak itu seharusnya berada.
"Ayah kecewa padamu Aila, apa gunanya jilbab yang selalu bundamu tanamkan dalam dirimu itu ,kau mempermalukan ayah Aila, kau bahkan menjadi jalang, sehina ini?"
Sayup-sayup perkataan itu terdengar, ada rasa bangga dan tentunya tidak merasa rugi karena telah membayar mahal untuk selembar foto itu. Bukan hal mudah menemukan perempuan jika dilihat dari belakang mirip anak tiriku itu? Aku harus berdebar setiap hari menunggu hasil hingga hari ini tiba juga.
Pramono keluar dari kamar anaknya dengan emosi tertahan hingga tidak sadar jika aku berdiri disini, aku segera masuk kedalam kamar Aila kulihat anak itu akan meraih Selembar foto itu. Aku segera menarik bukti itu lalu merobeknya berkeping-keping tanpa bisa dilihat lagi, ia terlihat tercengang dan bingung tetapi hanya kuperlihatkan senyum kemenanganku lalu meninggalkannya sendiri didalam kamarnya tanpa mengucapkan apapun lagi.
Beberapa hari setelah kejadian itu aku tentunya belum puas dengan segala keberuntungan Aila maka dari itu. Aku dan Siska mengambil segala perkakas yang ada didalam kamarnya menyisakan hanya selembar kain tipis dan juga pakaiannya. Lemari, kaca, kursi empuknya, meja belajarnya, lampu tidurnya semuanya kukeluarkan dari kamarnya.
Membiarkan anak tiriku itu merasakan bagaimana sulitnya hidup sendiri, rasanya menyenangkan saat melihatnya kembali entah darimana langsung di hadiahi perkataan pedas dari ayahnya apalagi dia tidak tau apa yang sebenarnya terjadi.
"Kenapa kita harus melakukan ini pada Aila ma?" itu adalah pertanyaan Siska beberapa saat lalu yang hanya bisa kubalas senyuman saja. Anakku itu sedikit kesal karena aku tidak menjawabnya tetapi setelahnya ia tidak peduli, Siska kembali fokus pada dunia kariernya yang tentunya berada jauh dari jangkauan Aila.
Semuanya akan terus menerus seperti ini karena Aila memang pantas mendapatkannya setelah sekian lama hidup nyaman tanpa apapun.
Pov Miranda end.