Bab 5 - Kenangan Masa Lalu

1772 Words
"Aila, kamu pulang aja duluan ini udah mulai larut. Ini tinggal rapiin kursi aja kok."aku baru saja ingin membantah perkataan Aisyah tapi memilih bungkam memilih matanya menajam menatapku tak ada pilihan lain selain mengikuti keinginannya. Setelah menyimpan lap meja di tempat penyimpanan kakiku melangkah mengambil tas selempang berwarna hitam yang mulai pudar."Aisyah duluan yaa. Assalamu'alaikum"melihat perempuan berkerudung jingga itu mengangguk akupun melanjutkan perjalanan keluar. Ternyata benar perkataan Aisyah, hari semakin gelap, dalam hati aku mengucap syukur mendapatkan teman seperti pasangan suami istri itu, hatiku menghangat mereka sungguh menghargaiku bahkan tak mengenal kasta sama sekali. Rumah dan kafe ini terbilang cukup dekat, hanya beberapa petak rumah yang membentang dan menjadi jarak antara rumahku dan kafe milik Aisyah. Aku mendongak menatap Bintang tetapi tak ada kerlipan disana hanya redupan bilang yang sedang sendiri tanpa temanya, itupun cahayanya tidak terlalu memukau sama sekali apa mungkin dia kehilangan sesuatu juga? Terkadang harus menjadi Bintang agar dilihat. Bercahaya layaknya rembulan diatas sana. Takdir tuhan dengan segala kerumitannya. Permainan alam dan kospirasinya. Serta merta luka kian merajalela. Hujan memang meredakan suara tetapi tidak dengan kenyataan. Firasatku menjadi tidak enak seperti sesuatu paling besar akan terjadi, sesuatu yang akan membuatku semakin jatuh. Sambari melangkah hatiku beristighfar agar Allah menepis perasaan buruk ini. Tinggal beberapa lagi rumah yang ku anggap nereka itu terlihat, aku hanya jalan sendiri bergemang sepi dan kerlipan Bintang diatas sana yang seakan membuatku semangat melangkah. Sepertinya mereka sudah kembali setelah tertutup awan beberapa waktu lalu, batinku. Walaupun warna bulan semakin redup seperti lampu dikamarku bukan berarti ia harus menghilang secepat ini. Masih ada sebagian manusia yang masih membutuhkan keberadaannya. "Alhamdulillah.... "Ucapku saat rumah telah berada beberapa jarak didepanku. **** "Keputusan ayah sudah baik ibu, Aila yang akan menggantikan posisi Siska kita tidak mungkin menanggung malu sebesar ini!" suara itu agak menyentakkan langkahku saat kakiku menginjak lantai teras depan. "Tidak mungkin ayah,kita mencari Siska dulu.pernikahan masih 3 hari lagi." beberapa saat kemudian suara Ibu Miranda terdengar. Apa mereka bertengkar? Tapi selama mereka berdua menikah aku belum pernah mendengarkan debat seperti ini. "Itu sudah final. Ayah sudah menelepon keluarga Gilang mereka sedang perjalanan kemari." keningku berkerut bingung, sebenarnya ada apa sih? Jika tidak salah dengar sayup-sayup kudengar perdebatan itu. Menggantikan posisi?,menanggung malu?. Apa sebenarnya ini, Emangnya Kak Siska kemana? Langkahku tetap berjalan tepat setelah kakiku melangkah masuk. Pandangan ayah menatapku tajam. "Ada apa ayah, kenapa aku mendengar namaku dan kak Siska?"tanyaku tanpa meninggalkan tempat sama sekali, mencoba menatap ayah dengan tegar, betapa aku merindukan malaikat pelindungku ini, batinku "Siska kabur dan pergi entah kenapa, ia ingin pernikahan ini batal, tapi ayah tidak ingin menanggung malu oleh karena itu ayah ingin kau menikah dengan Gilang"nafasku tercekat Segampang itukah ayah melontarkan kata seperti itu? Apakah aku sudah benar-benar tidak berharga untuknya? Apakah harga diriku sudah tidak ayah jaga lagi? "Apa maksud ayah,menikah bukan sebuah permainan harus banyak pertimbangan untuk aku. Ini jalan takdir kehidupanku dan yang menjalani adalah aku apakah ayah tidak memikirkan perasaanku?"entah keberanian darimana sehingga aku mampu mengeluarkan suara seperti tadi. Ini hakku. Jika kemarin aku masih diam saat disebut rendah seperti itu,tetapi kelakuan ayah kali ini membuat kesabaranku benar-benar diambang batas, bahkan sekarang ia lebih mementingkan kepentingan pandangan masyrakat daripada putrinya sendiri? "Ayah tidak peduli,semua akan berjalan kamu juga perlu beberapa kali berfikir Aila. Apa pernah kau memikirkan perasaan ayah sebelum beralih menjadi jalang seperti ini?" Napasku tercekat mendengar kata 'jalang' yang sudah sangat gampang ayah lontarkan padaku, sekilas aku berfikir sebenarnya laki-laki ini benar-benar ayahku apa orang lain yang mirip dia? Ayah sendiri yang merawatku mengajarkanku cara menjaga diri dari kecil tetapi kenapa sekarang ia mudah sekali menuduhku? Perkataan terakhir ayah membuatku seakan jatuh tak berbentuk,tidak cukupkah luka yang kemarin kenapa harus menjadi seperti ini. Rasanya sesuatu didalam sana semakin berkeping dan terbang terbawa angin. "Masih untung Gilang ingin menerima bekas sepertimu." Itu tamparan keras untukku, bahkan punggung ayah telah menjauh dan wajah kemenangan Ibu Miranda menatapku. Ayah tidak menamparku dengan jemarinya tetapi perkataannya itu telah menjadi tamparan 1000 kali untukku. Bekas...? Apa maksudnya, tdk cukupkah kata "jalang" yang tidak mendasar itu. "Jalang tetaplah jalang." kutatap Ibu Miranda dan dia hanya tersenyum sinis lalu melangkah menyusul ayah. Ingatanku berputar saat ayah mengajariku cara membaca dengan benar dan sesekali bunda menimpali saat ayah malah mengusiliku bukan mengajarkanku. Saat ayah memberiku wejangan bahwasannya sebagai perempuan harus punya harga diri dan martabat. ~flashback on "Jika suatu hari nanti semua dunia membawamu jatuh dan tak terbentuk maka percayalah ada Ayah yang akan mengulurkan tangan dengan cepat lalu memelukmu dengan kehangatan seorang ayah." ucapnya sambari menempelkan plaster luka pada lututku. "Benaran yah?" ulangku mencoba meyakinkan apa yang barusan ia ucapkan. "Iya,kamu adalah permatanya ayah dan akan selalu seperti itu. Kamu cahaya yang Allah kasi untuk ayah dan bunda, jika ada yang melukaimu maka segera beritahu ayah maka akan ayah lukai balik." aku tersenyum senang mendengarkan ucapan itu, sangat menyenangkan ketika Cinta pertamamu adalah ayahmu sendiri. "Sebagai perempuan kamu harus punya harga diri, kalau semuanya jatuhin kamu bahkan menghina kamu sedang apa mereka lakukan tidaklah benar. Maka tetap pada pendirianmu jangan goyah tetap tegakkan kebenaran dalam dirimu" sebagai jawaban aku hanya mengangguk senang ditempat. "Tuh dengar! Saat seorang Pramono sedang dalam mode bijak." suara Bunda Seperti sedang mengejek sedangkan aku hanya mengerjapkan mata pelan, dapat kulihat wajah Ayah sedang kesal mungkin. "Anak Ayah jangan seperti ini Bunda ya! Usilnya minta ampun. Ayah aja suaminya dijahili terus menerus apalagi orang lain, jangan kayak gitu ya Nak!." aku mendongak menatap Bunda bukannya tersinggung perempuan cantik berbalut jilbab panjang itu malah tertawa kecil sambari menggelengkan kepalanya. "Mas... Aila itu udah umur 10 tahun loh masih aja diperlakukan kayak anak kecil umur 5 tahun." ucap Bunda lembut. "Bagiku, Aila adalah putri kecil kita, seorang anak kecil yang akan selalu berada dalam lindunganku, katakan pada Ayah siapa yang menyakitimu maka Ayah akan memukulnya dan memarahinya karena membuat princess Ayah terluka." aku menutup mulutku sambil tertawa bahagia, apalagi didepanku Ayah sedang memukul dadanya pelan seperti seorang superhero saja. "Aila... Kamu itu harus jadi perempuan kuat karena saat dewasa nanti bukan luka seperti ini yang kamu dapati." tutur Bunda lembut. Aku menoleh menemukan Bunda yang kini sedang duduk disampingku sedang Ayah masih didepanku, menatapku dengan sorot hangatnya yang selalu membuatku merasa tenang jika berada di sisinya,membuat hatiku nyaman. "Luka itu akan membuatmu ingin menyerah dan pergi dari dunia ini, tetapi percayalah selagi kami masih berada di sisimu maka kamu takkan pernah sendiri sayang, ada Ayah dan Bunda yang akan selalu memberikan kebahagiaan untukmu. Memberikan warna di setiap takdirmu dan lain kali kalau memilih teman pilihnya yang baik ya jangan yang bandel tapi boleh saja berteman sama yang bandel asalkan engga bandel sama Aila." aku hanya mengangguk pelan menanggapi perkataan bunda. Dia sangat cantik dan ayah begitu perkasa, pahlawanku serta mereka berdua adalah sumber kebahagiaanku. "Bagaimana kalau Besok kita jalan-jalan? Tapi kemana ya?" aku lagi dan lagi tertawa kecil melihat ekspresi lucu ayah, dia sedang menyimpan telunjuknya di dagu, kemudian berpikir entah apa. "Kamu kayak anak-anak aja mas, ini Aila udah besar loh." celutuk Bunda disela-sela tawa kecilnya yaitu sama sepertiku yang sedang menertawai ayah. "Aila jangan mau direndahkan sama orang ya." ucap Bunda lembut sambil mengelus pelan kepalaku, dengan tatapan hangatnya serta kasih sayang yang begitu jelas terlihat dari dalam manik matinya, aku akan selalu bersyukur memiliki keluarga sebahagia ini. "Ke kebun binatang mau engga?" ayah akhirnya bersuara tetapi saran itu tidak kuterima sama sekali, aku menggelengkan kepala karena tidak tertarik kesana bahkan sepersen pun. Aku sedikit menggeserkan badanku dengan hati-hati karena lututku terasa sangat perih padahal hanya terjatuh saja, masuk kedalam pelukan Bunda yang selalu membuatku aman dan bangga karena memilikinya. Mataku masih menatap ayah yang sedang tersenyum bahagia melihat kami berdua, dari matanya aku tau bahwa dia merasa begitu bersyukur memilki kami berdua dalam kehidupannya. "Manja banget sih!" ayah mengatakan itu sambil mencubit pipiku pelan, aku tentu tidak terima dan mendongakkan kepala seakan meminta tolong pada Bunda. "Jangan gitu dong mas, nanti kalau Aila ngambek aku engga bantuin loh." peringat Bunda pada pahlawan super ku itu yang di tanggapi dengan tawa berisiknya. "Bunda..." rengekku meminta pembelaan. "Kamu engga usah ajak ayah bicara sehari biar kapok." ujar Bunda padaku yang masih setia memeluknya, dan perkataan Bunda tentu langsung membuat tawa ayah terhenti ia mendekat padaku, mengecup pelan pjpiku dan menggumamkan kata maaf berkali-kali. Ayah memang tidak bisa jika tidak berbincang denganku, aku pernah benar-benar marah padanya hingga ia harus meminta pertolongan bunda untuk meminta maaf padaku. "Engga mau." kesalku, aku malah menyembunyikan wajahku kedalam pelukan bunda, dapat kurasakan bunda tertawa kecil serta helaan napas frustasi ayah. Rasakan. "Sayang... Maafkan Ayah ya." bujuknya sambil mengelus pelan kepalaku yang ada dipelukan Bunda. Aku memilih bungkam dapat kudengar Bunda masih tertawa kecil bahkan badannya sampai bergetar karena terus menerus tertawa, "Bantuin dong." mungkin sedang meminta tolong pada Bunda "Engga mas... Usaha sendiri." jawab Bunda Dapat kudengar ayah terus menggumamkan maaf padaku yang terus menerus kubalas dengan gelengan kepala. Aku sebenarnya tidak marah padanya hanya ingin bermain saja, tentu aku bangga karena mereka berdua begitu menyayangiku. "Jangan naik sepeda lagi ya nak! Ayah engga mau kamu terluka lagi, walaupun banyak temanmu yang panggil nanti mereka usil lagi terus kamu terluka lagi." pinta ayah padaku "Itu berlebihan Mas, namanya juga anak-anak." Bunda berusaha membelaku "Tidak, Aila tidak boleh bersepeda lagi, sepeda itu akan kujual. Ini demi kebaikannya aku hanya tidak ringin dia terluka dan tentu kamu tau itu Arini." helaan napas Bunda terdengar dan aku tau hari ini adalah hari terakhirku berhubungan dengan yang namanya sepeda. ~flashback off Sejenak ingatanku kembali kemasa 11 tahun lalu, ayah mengatakan dia akan melukai orang yang melukaiku. Lalu bagaimana jika orang itu adalah ayah sendiri? Dia adalah sumber lukaku saat ini? Takdir! Kenapa permainanmu sangat menegangkan seperti ini? Apa tidak lelah melihatku menjadi si rapuh seperti ini? Masih terekam jelas dalam ingatanku ayah sangat marah saat menemukanmu jatuh dari sepeda sedang umurku sudah 10 tahun, lututku lecet dan ada luka gores. Sejak saat itu ayah melarangku naik sepeda lagi katanya nanti luka lagi. "Lalu sekarang bagaimana yah." rasanya aku ingin tertawa miris akan kenangan masa lalu itu. Kini seseorang yang dulu sangat takut anaknya terluka kini menjadi tokoh utama dalam memberi luka walaupun tidak terlihat luka itu tetapi didalam sana membekas selamanya. Bahkan saat itu bunda mengatakan katanya ayah terlalu berlebihan tetapi malah dijawab dengan tegas jikalau itu yang terbaik. Permatanya tidak boleh terluka seincipun. Aku  menggelengkan kepalaku mencoba tetap tegar dan kuat. Menunjukkan pada bunda jikalau putrinya adalah orang yang kuat sampai kapanpun. "Astagfirullah... Astafirullah... Astagfirullah... "Hanya itu yang bisa mulutku ucapkan. Niatku ingin keluar rumah menenangkan diri tapi sebuah sosok laki-laki telah berdiri tepat di belakangku. "Gilang..."panggilku "Boleh kita bicara empat mata Aila?"... Aku mematung ditempat bingung ingin menjawab apa, apakah semua orang ingin melihatku hancur tanpa bekas apapun yang tertinggal di bumi? Pikirku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD