Sepotong Ingatan

1365 Words
Aku sakit. Bukan karna pingsan saat permainan TOD kemarin malam, tapi karena kecapekan. Jadilah Senin ini aku hanya berbaring di kamar, sambil melihat – lihat kerjaan yang sudah kukirimkan ke Septi. Dia yang akan menggantikanku. Pagi – pagi Reina sudah telepon dan seperti biasa kemampuan interogasinya membuatku menjawab banyak hal. Dari yang perlu hingga yang tidak perlu – perlu amat. Dia malah sempat menanyakan tentang Bima, Reina paling tidak bisa dibohongi. Dia pandai membaca orang dengan tajam. Berbeda denganku, yang sama sekali tidak peduli dengan hal – hal sepele dan detail. Jadi, kuceritakan semua. Dia yakin 100% pernah mengenal Bima, aku ceritakan juga tentang bayangan ingatan itu tapi Reina bilang sudah terlambat berangkat ke kantor. Setelah berjanji akan menjengukku pulang kantor nanti, Reina pamit dan menutup telepon. Aku mengantuk, setelah minum obat tadi. Waktunya hibernasi, memulihkan tenaga. Aku bermimpi, tentang jalan-jalan ke suatu tempat yang asri, seperti Lembang atau Puncak ya, tapi naik motor. Mimpi itu buram, aku tidak bisa melihat dengan jelas teman perjalananku. Lalu mimpi itu beralih ke atas gedung, bermain gitar dan bernyanyi. Lagi – lagi buram. Dan terakhir potongan mimpi itu tentang seorang pria, yang kuperhatikan saat ia berjalan memunggungiku. Rambutnya pendek, jadi dia pasti bukan Bima. Bima! Bimasakti. Galaksi Bimasakti. Aku tidak asing dengan nama ini, tapi kapan aku pernah mengenalnya? Aku terbangun dengan peluh membasahi tubuhku, jantungku berdebar – debar. Tanganku gemetar. Ada apa sebenarnya? Mimpiku sangat melelahkan, aku tidak tahu bagian mana yang melelahkan. Ibu masuk, membawakan segelas teh manis hangat. Mungkin ibu tahu, tentang potongan mimpi yang tiba-tiba datang meminta diingat. "Bu, ada hal aneh yang tiba-tiba aku lihat dalam ingatanku." Ibu duduk di ujung kasur. "Apa itu?" "Enggak tahu, kayak potongan ingatan yang aku sendiri lupa. Beneran terjadi atau enggak. Tapi rasanya nyata." Ibu terdiam, lalu tersenyum. "Cuma mimpi biasa mungkin Kak." Ibu menjawab sambil mengusap kakiku. "Bukan Bu, ini nyata. Tapi Kakak enggak tahu kapan peristiwanya terjadi." Ibu senyum, dan berdiri. "Istirahat aja, kamu banyak pikiran." Ibu pun keluar kamarku. Jawaban ibu tidak memuaskan. Aku harus cari tahu sendiri. Terdengar pesan masuk di ponsel, dari Gerry. Dia menanyakan keadaanku, yang kujawab bahwa aku sudah merasa lebih baik. Gerry membalas kembali dengan kata – kata cinta yang penuh perhatian. Membuatku mencerna sebentar pesan teks balasannya barusan. Aku mencoba tidur lagi, tapi gagal. Pengobatan terbaik untukku hanya tidur panjang, ratusan obat yang kutelan tidak berefek tanpa tidur panjang saat sakit seperti ini. Terlintas tentang Bima, aku merasa mengenalnya. Dan ada reaksi aneh dari hatiku setiap menatap wajahnya. Ada rasa sesak dan sakit yang tidak kumengerti. Aneh, sangat aneh. Reina juga kekeuh merasa pernah tahu. Segera kubuka handphone dan masuk ke laman sosial media sejuta umat. Mencari namanya dan penelusuranku pun dimulai. Di tahun lalu, Bima tidak pernah posting apapun kecuali link youtube performance band-nya. Dan ada sebagian link youtube tentang galeri lukis, nah aku baru tahu dia seorang pelukis. Tapi aku lebih tertarik melihat kegiatannya yang dituangkan ke dalam sosial media. Semoga saja Bima rajin membagikan kegiatannya di sana. Dia terlalu keren untuk jadi tukang curhat di sosial media. Dua tahun yang lalu, masih sama hanya beberapa link situs yang dibaginya. Ada 1 puisi. Kau Tak pernah hilang dalam ingatan Tak nampak dalam jangkauan. Di belahan Bumi mana kau bersemayam? Pasti untuk Kartika, bintang terangnya yang hilang ingatan. Aku scroll lagi layar ke bawah, menarik segala macam postingan yang lebih lama. Tiga tahun lalu, ada beberapa postingan berupa tulisan, sisanya tetap link tidak jelas dan beberapa ucapan ulang tahun yang tidak pernah dibalasnya. Tulisan pertama. Jangan lari, Jika harus pergi itu aku Bukan kamu. Tertera tanggal pembuatannya di bawah puisi tersebut. Tulisan kedua HAMPIR GILA!! Dia menggunakan huruf kapital semua. Tulisan ketiga. Kembali! Atau aku harus menghentikan waktu Agar kita bersama, membeku. Bima bisa galau juga, aku makin penasaran dengan si Bintang kejora ini yang sukses bikin Bima mellow. Di empat tahun lalu, ada beberapa postingan lagi. Postingan pertama. Ini terlalu lama. Maaf tak ku pegang janjiku Nyatanya, aku terus memikirkanmu. Postingan kedua. Kau curang! Setelah kau bawa hatiku terbang Kau pun menghilang. Rasa penasaranku menjadi – jadi. Aku telusuri lagi halaman facebooknya. Sekitar lima tahun lalu, lebih banyak postingan dan semuanya puisi. Tadinya aku hanya akan membaca yang tentang gadis itu, tapi ternyata semua tentang dia. Luar biasa. Ada 1 puisi yang paling menarik. Maaf aku tak menepati janji, Jika menghapusmu adalah permintaan, tak akan wujudkan kali ini. Maaf aku tak sanggup lagi, Jika melupakanmu adalah hal hebat. Biar saja aku tak membuatmu terkesan saat ini. Di tahun sebelumnya, ada puisi pertama yang kulihat membuatku tercekat. Maaf, aku baru saja merindukanmu. Kata-kata yang hampir sama dalam pesan yang dia kirimkan setelah kami bertukar barang di kantin kantorku minggu lalu. Tapi dia kan emang hobi membuat puisi, wajarlah. Dia hanya menggodaku, aku meyakinkan diri sendiri. Ada beberapa puisi yang menyenangkan di tahun yang sama itu. Rentang waktunya, sejak bulan Maret sampai Agustus. Kalau tebakanku benar, saat itulah pertemuannya dengan Bintang Kartika? Kartika Bintang? Atau apalah julukannya. Aku baca puisinya dari bawah, dari tanggal terlama. Gadis manis, Menatap nyalang pada dunia. "Lihat, aku yang baru" serunya. Wajah menantang, hati yang gamang. Siapa namamu? Selanjutnya, Akulah Galaksi, Kau, adalah Bintang paling terang dalam gugusanku. Izinkan aku mencumbu jejakmu. Ini semacam antologi puisi dalam halaman sosial media. Lembang bernyanyi, Merayakan kebebasan kita yang melepaskan diri dari jeratan sepi. Melalui gemericik air dan desau angin pada dedaunan. Jejeran pinus memberi hormat dengan berdiri tegak Pada keberanian yang membawa kita keluar dari ruang sesak. Maaf, aku tak bisa menemukan hadiah yang paling berharga. Untuk kuberikan di hari bertambahnya umurmu. Oh, ada hatiku. Kujamin, ini sepenuhnya milikmu. Tanggal ulang tahunnya sama denganku! Aku lanjut membaca puisi di bulan Agustus. 2 Agustus Mengapa memilih pergi? Jika bahagia bisa dengan tetap seperti ini? 10 Agustus Akan kucari kau, dalam tubuh manapun yang kau mau. Atau, akan tetap kucintai engkau Dengan jiwa lamamu. 14 Agustus Apapun, jika itu tentangmu. Aku mau! Gila! Ini bisa dibilang terobsesi. Bima benar-benar tidak bisa move on dari perempuan ini. Tiba – tiba, sekelibat potongan ingatan datang lagi. Kali ini terang, seperti di pantai. Aku bisa ingat suara seseorang yang seperti sedang bicara padaku. "Jangan tersenyum! kau akan mengacaukan tata surya." Kepalaku seperti mau pecah, ingatan itu menghilang lagi seperti pesan pop up yang muncul dalam layar komputer. Aku limbung dan gelap merenggutku kesadaranku lagi. *** Ada suara berbisik, perempuan dan laki-laki. Ada yang membetulkan letak selimutku, tercium aroma parfum yang aku kenal baik. Beneton lady. Reina! Kepalaku masih sakit sekali, tapi tidak seperti sebelumnya. Bisa kurasakan tubuhku bergetar atau bergerak seperti tremor. Atau sedang gempa? Entahlah. "Al..Al..Allea..." Reina mengusap-usap lenganku. Mataku terbuka, dengan lemah. Reina duduk di kasur samping kiriku. Dan Gerry berdiri di ujung kasur. "Jam berapa sekarang?" Aku mencari-cari jam di atas meja, tapi enggak kelihatan jelas. Kacamataku ada di atas meja juga. "Jam 8, Al." Jawab Gerry "Kamu pingsan lagi ya?" Nadanya biasa. Tidak ada kecemasan disana. "Tiba-tiba kepalaku sakit, sudah itu aja yang aku ingat." Jawabku sambil memijat kecil kepala. "Kalian dari jam berapa?" "Jam 7 gue dateng, Ibu bilang lo tadi jatuh di samping kasur. Terus enggak lama Gerry dateng." Jawab Reina. "Ada apa sih, Al? Lagi ada pikiran atau lo ngerasa sakit gitu?" Reina menatap ku cemas. "Gak tahu Rei, kemarin ada bayangan kayak mimpi melintas gitu aja di pikiran gue. Terus mendadak sakit kepala gue setiap mau inget lagi. Kenapa ya Rei?" Ada perubahan di wajah Reina. "Bayangan kayak gimana?" Gerry duduk di sebelah kananku. "Semacam potongan ingatan yang hilang. Seperti coba mengingat mimpi yang kamu enggak bisa ingat." Aku mulai bisa mendefinisikannya. Gerry memijat kakiku lembut. "Mungkin cuma mimpi kamu, Al." Aku menggeleng. "Ini nyata Ger, aku malah bisa inget suara orang itu." "Gue nginep sini ya Al, biar gue temenin lo. Kayaknya lo butuh temen ngomong.." Reina bangkit dari kasur. "Gue izin dulu sama Ibu lo." Dia pun menghilang di balik pintu. "Kalau besok masih pusing, ambil cuti aja sekalian Al. Lusa ikut aku ke Singapore, itu juga kalau kamu sudah sehat lagi." Matanya menggoda saat mengatakan Singapore. Aku belum pernah ke luar negeri. "Berapa lama kamu di sana?" "Seminggu." "Lihat besok aja Ger, ada janji hari Kamis sama klien." Jawabku akhirnya. Entah mengapa ide pergi bersama Gerry tidak semenarik itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD