Hari Rabu dengan awan kelabu cukup membuat semangat kerjaku mengendur. Email dengan bendera merah dari bos memecut kesadaranku kembali. Bendera merah berarti siaga 1. Urgent, setingkat kepresidenan. Alias tidak bisa diabaikan.
Jika saja kacamata berbingkai hitam yang kugunakan bisa berbicara, mungkin ia sudah menjerit dan meminta tolong. Setelah tidak kurang dari 3 jam bertengger kece di hidung yang tidak seberapa mancung ini, demi melototi layar komputer yang bahkan dengan polosnya masih bergerak manja terbata-bata dengan lambat dan anggun tanpa mempedulikan waktu yang terus berputar.
Seketika bunyi smartphone yang tidak santai membuatku melirik sedikit layar ponsel. w******p dari Gerry membuatku mengalihkan tatapan dari monitor yang sedang kupelototi sejak jam 2 siang tadi.
Grrr-ry
Al, kok gak bales? Ikut kan ke tempat temanku nge-band?
Aku lupa, Gerry sudah memberi kabar tadi jam makan siang dan aku lupa balas. Ah aku baru ingat, kemarin Minggu Bima bilang dia enggak ada hari ini. Tapi kalau nolak ajakan Gerry, aku tidak enak juga. Eh tunggu, apa barusan aku baru saja memikirkan Bima?
Me.
Ikut sayangggggg.
Balasku, singkat.
Grrr-ry
"Aku jemput jam set 6 ya."
Gerry membalas lagi. Aku letakkan kembali ponsel di laci meja, dan fokus pada pekerjaanku.
"Eiyy serius amat, Jeng." Septi, partner dalam tim menepuk bahuku.
"Ini kejar deadline, diminta bu Anne jam 5." Aku melirik jam tanganku dan, "Yaa Allah, udah jam 5 ini!" Mendadak panik.
Sepertinya daritadi aku bengong aja deh, atau komputerku yang super lemot sukses menghipnotis.
Septi menertawakanku, "hahaha lu ngapain aja daritadi melototin layar, Al?"
Ih beneran aku ga ngeh, segera kutelepon bos.
"Bu, maaf. Ini draft naskah iklan pasta gigi yang Ibu minta belum selesai saya kerjain." Aku langsung to the point ke bu Anne.
"Santai aja Al, gue perlu besok siang kok. Yang penting besok siang sudah siap ya Neng." Jawab bossku, aku menghela nafas lega.
Fiiuuuhhh.
Ini gara-gara PC-ku yang sudah teriak minta di upgrade. Dan satu hal yang daritadi berputar di kepalaku.
Bimasakti.
Itu, daritadi yang di otakku cuma dia. Uugghh. Semalam aku berhasil menemukan Bima di f*******:, setelah stalking sss Gerry dari sore hari. Dan masih ragu, perlu gak ya aku add duluan. Nanti dia berpikir macam-macam. Sedangkan dia tahu aku dan Gerry pacaran, mungkin juga Gerry bilang ke Bima akan segera menikah. Duh Gusti.
Aku menangkupkan wajah dengan tangan, kalau saja dengan ini bisa membenamkan kepala sekaligus ingatan tentang Bima, itu akan melegakan. Kenapa juga harus bertemu Bima kemarin.
Sejak menerima Gerry, sudah kuputuskan untuk menutup mata dan hati pada pria manapun.
Mungkin, aku tidak mencintai Gerry seperti seorang pria. Seperti yang sudah-sudah, bahwa mencintai seseorang seperti itu bukanlah hal mudah. Tapi mencintainya sebagai sahabat saja cukup bagiku, cukup untuk memulai hidup dengan Gerry.
Dan sekarang, aku terjebak pada rasa penasaranku terhadap Bima. Kalau mengaku suka, rasanya terlalu cepat. Baru bertemu sekali. Dan itu berhasil membuatku, tak lepas memandangnya. Juga memikirkannya.
Ada apa sih dengan dia?
***
Jam 05.35 Gerry telepon, sudah di lobby kantorku. Aku katakan padanya akan segera turun. Make up tidak ya, kali saja ada Bima. Ah tapi aku ragu. Yaudah deh gak usah. Setelah say goodbye sama teman-teman satu ruangan, aku pun meluncur ke bawah.
Gerry berdiri di depan resepsionis dan tentu saja dia menarik perhatian beberapa rekan perempuan. Terang-terangan mereka lirik-lirik ke Gerry, yang dilirik tak acuh saja menatap smartphone. Langsung kuraih tangan Gerry begitu sampai di dekatnya.
"Yuk ah!" Aku menarik lengannya, manja.
"Kirain masih touch up." Dia agak kaget sambil mengikuti langkahku.
"Di mobil saja." Sahutku.
Bisa kurasakan tatapan iri beberapa rekan perempuan melihat aku menggandeng Gerry, dia memang tangkapan yang bagus.
Kami tiba di sebuah kafe dengan konsep go green, sangat hijau penuh tanaman halamannya kulihat. Bertuliskan "Selepas Senja" pada papan kayu yang di pernis, di bawahnya ada semacam tagline dengan tulisan ;
"Singgah lah sebentar, jika kau lelah melawan deru napas Ibukota. Selepas senja, hingga larut pun tak mengapa."
Oke ini bukan tagline, tapi lebih ke kutipan yang puitis. Sebagai tim kreatif perusahaan advertising, aku bisa menebak quotes semacam ini yang sedang digandrungi anak muda yang sedang tergila-gila dengan Rangga atau Dilan, tentu menjual sekali. Menarik.
Gerry menggandengku, memasuki pintu kafetaria. Tidak salah lagi, pemilik menggunakan konsep go green dengan ciamik. Begitu masuk, kami disambut aroma bunga segar seperti mawar, anggrek yang tergantung indah di dinding. Juga meja dan kursi yang semuanya terbuat dari potongan kayu yang dibentuk asal. Natural.
Lampu yang tidak seberapa terang, cukup mengistirahatkan mata dari terik Matahari petang Ibukota. Kami disambut seorang pria seumuran Gerry, sepertinya. Aku gak yakin, karna dia lebih mirip pamanku. Bertubuh agak gempal, sejajar tingginya denganku.
"Wuidiiihh, lihat siapa yang datang!" Serunya.
Tanpa melepaskan tanganku, Gerry menyalami orang itu.
"Apa kabar lo, Bro? Hehehe."
Aku lepaskan genggaman tangan Gerry dan bersalaman juga dengannya.
"Allea." Aku memperkenalkan diri.
"Rizky." Balasnya, "Kirain enggak doyan cewek lo, Ger." Rizky mengedikkan kepalanya ke arahku sambil tersenyum.
"Ahahahaha, elo baru liat aja gue gandeng cewek." Jawab Gerry.
"Laaahh, mana pernah elo punya pacar dulu."
Berita baru! Kok aku baru tahu Gerry enggak pernah pacaran, kutatap Gerry lama.
Seganteng ini tidak punya pacar? Mustahil. Pasti dia pacaran tapi tidak dipamerkan ke teman-temannya, mantannya pasti cantik-cantik.
"Ini soulmate gue, Bro, udah di jodohin dari Bayi." Gerry menjawab lagi. "Jodoh kan gak kemana. Hehehe."
"Saaaa aaaeee Kutil Kudanil" Aku tertawa mendengar panggilan Rizky pada Gerry.
Lalu Rizky mengajak kami masuk ke dalam dan duduk di dekat minibar. Tidak jauh dari tempat duduk kami, ada panggung kecil dan seperangkat peralatan musik. Disana ada 2 teman mereka yang lain, yaitu Ito dan Galih juga beberapa personel. Aku diperkenalkan dengan Ito yang kurus, tinggi, pakai kacamata setebal p****t botol. Dan juga Galih yang bertubuh atletis, rambut agak gondrong dengan sedikit poni lempar, tapi agak manis juga.
Mereka saling sapa dan berangkulan, sambil mengomentari penampilan satu sama lain. Aku bisa melihat keakraban mereka.
Ini lingkungan Gerry yang aku baru tahu. Maklum, jaman kuliah kami tidak tahu banyak tentang pergaulan masing-masing. Selain karena belum (memutuskan) berpacaran, semenjak kuliah kami sama-sama sibuk dengan kegiatan super padat ala romusa. Kami bertemu kalau ada temu keluarga atau di kondangan teman Ayah Ibu yang juga teman om Nano dan Tante Dini. Jarang komunikasi juga, benar-benar baru tahu sisi lain Gerry.
Kalau lihat dari pekerjaan Gerry yang semi high class dan cenderung jetset, agak mustahil Gerry bisa bergaul dengan mereka yang lucu-lucu dan sederhana namun asyik ini. Secara kepribadian pun Gerry agak kaku, apalagi kalau hanya berdua denganku. Kayak di mobil tadi, ketika di depan teman-temannya saja dia menggandeng tanganku. Seperti ingin menunjukkan bahwa kami pasangan mesra yang sedang mabuk kepayang. Padahal di balik layar, sangat jauh dari kelihatannya.
"Quotes yang di papan tadi bagus, menarik banget. Puitis gitu." Aku menyela obrolan mereka.
"Waah iya, konsep kafe ini memang puitis, romantis dan strategis." Jawab Rizky, aku tertawa. Tidak tahu apakah hanya asal jawab atau bagaimana orang ini.
"Hahaha strategis! Ceritanya pake strategi marketing banget lo." Gerry nyeletuk.
"Hehehe, emang harus sih untuk menarik minat pengunjung. Kalau tempat usaha terpojok, gimana narik pengunjungnya." Aku memuji konsep strategis mereka.
"Tapi gue mah asal aja itu Lea, hahaha. Itu quotes dibuatin sama si pecahan meteor, kepingan asteroid. Kahlil Gibran-nya kita." Jawab Rizky sambil ngebodor dan Lea? Haha.
"Hehehe. Serius juga bagus, Ky. Emang siapa pecahan meteornya? Puitis banget." Aku meneguk lemon tea dingin yang kupesan.
"Tuuuhhh makhluknya nongol." Ito menunjuk pintu masuk dengan dagunya, aku menoleh untuk melihat yang dimaksud dan-
Deg!
Keselek!
Gagal jantung!