bc

Under The Same Roof

book_age18+
417
FOLLOW
4.2K
READ
drama
comedy
sweet
humorous
like
intro-logo
Blurb

Private acak buat nambah follower.

Di usianya 24 tahun, wanita biasanya sibuk dengan cinta, pekerjaan, dan gaul. Buat Maghia Fumala yang cuek main ** itu lebih penting.

Pola hidupnya berubah setelah dia harus tinggal serumah dengan lelaki bermulut racun, Barry Wirawan. Pemilik hotel tempatnya bekerja.

Lalu, dia jatuh cinta.

Setelah tunangannya menikah, hidup Barry kacau, semakin kacau sejak Maghia muncul menggerecokinya.

Aneh, walau otaknya sudah memberi peringatan agar menjauh, hatinya justru tertarik.

Mungkinkah ini cinta? Mustahil...gengsinya yang tinggi melarang untuk mengakuinya.

Karena dia takut. Suatu hari nanti Maghia pergi membawa separuh hatinya.

chap-preview
Free preview
Bagian 1
"Duh, Reina. Besok-besok jangan ajak gue lagi ya kalau mau kencan!!!" Maghia Fumala menghambur masuk ke kamar kecil di restauran bebek kaleyo dengan sikap geram. Temannya, Renata, terbirit-b***t mengikutinya. Aroma parfum menyerbu masuk, bercampur baur dengan semerbak pewangi ruangan di kamar kecil berdinding keramik biru itu. "Ayo dong, Ghi." Rena membujuk. "Maksud gue kan baik!" "Eh obogg!!!" Rena nyengir mendengar istilah aneh yang keluar dari mulut temannya. "Maksud baik gimana? Bisa-bisanya lo jodohin gue sama mahluk kurang sianida kaya dia!!" "Jangan begitu, Ghi. Si Elan itu orangnya emang gitu, agak eksentrik." Rena mengakui. "Tapi gak parah-parah banget, ah." "Enggak parah gimana? Masa liatin cewek yang dadanya segede pepaya gandul sampai air liurnya menetes. Astaganaga!!" "Dia cuma jelalatan aja, tapi bukan playboy. Menurut gue nih, lo jangan langsung menolak gitu, kan kalian baru sekali ketemu." "Baru sekali ketemu dari mana? Kalau lo belum lupa. Si elan...elan itu kan, yang waktu lomba makan burger muntah. Benar gak?!!" Maghia mengerang dengan frustasi. Dia sebel kalau ingat lomba itu. Bayangin aja, dia sengaja makan pelan-pelan selama lomba, biar dapat juara dua yang hadiahnya magic com. Lumayan, buat gantiin magic com-nya yang rusak. Perut kenyang hati senang. Ternyata hasil mengkhianati usahanya, karena saat pembagian hadiah yang jadi juara pertama malah muntah, kekenyangan. Suka atau enggak, Maghia akhirnya jadi juara pertama dan mendapatkan hadiah buku. 'Aneka resep burger dari seluruh penjuru dunia' dan sampai sekarang buku itu belum pernah ia buka, toh dimana-mana buger bentuknya sama aja. Satu daging di apit dua roti, semacam thereesome lah. "Ya ampun lo masih inget aja," Rena membungkukkan badan, merapikan riasannya di cermin. "Menurut gue, Elan cocok sama elo. Kalau diperhatikan baik-baik, dia mirip Reza Rahardian lho. Lumayan kan bisa dipamerin di IG." Maghia mendengkus. Dia sebel banget kalau Renata sudah mulai buka biro jodoh. Mentang-mentang sudah nggak jomblo, sekarang getol banget jadi mak comblang biar Maghia juga dapat pacar. "Lo pernah dengar survey ini gak? Sembilan dari sepuluh cowok suka dengan wanita yang berpayudara besar..." Rena hanya menggeleng, kemudian berkata. "Elan emang suka liatin cewek yang dadanya montok, tapi gue yakin, dia pasti masuk di antara satu cowok dari sepuluh cowok dalam survey yang lo maksud." Maghia mengangguk mantap. "Pasti, karena yang satu cowok suka sama sembilan cowok lainnya." Maghia terdiam melihat Rena yang melongo. "Dan lo tega mau jodohin gue sama sesajen?" "Sesajen?" "Senang sesama jenis! Alias maho. Masa gitu aja gak ngerti." Maghia bergerak mendekati jendela dan mengira-ngira. Kalau misalkan dia lompat, kira-kira kakinya patah atau cuma kesleo. "Apa-apaan sih lo?" Pekik Rena kaget. "Mana bisa kabur lewat jendela. Kita kan di lantai dua, hujan pula." "Gue gak mau kabur, tapi mau loncat. Mending begitu dari pada balik ke sana dan dengar si elan-elan itu ngoceh tentang ukuran t***t " "Oke, oke." Rena menyerah. "Gue ngerti maksud lo. Mungkin kali ini pilihan gue kurang tepat. Tapi gue cuma mau lo bahagia." Maghia berbalik dan memandangi sahabatnya. "Gue bahagia sumpah. Gue emang masih jomblo, emangnya kenapa? Kan gak berarti dunia gue berakhir. Yang pasti sih, gue bakal punya kisah cinta yang menakjubkan." "Alaaah gaya lo, Ghi. Kisah cinta apa? Hidup lo kering gitu, cuma rumah, kantor, minimarket. Kalau libur cuma tidur-tiduran gak jelas. Cewek seumuran kita tuh harus banyak gaul, cuci mata, liat cowok ganteng. Biar gak cepet penuaan dini!" "Tuh kan, mulai lagi." Maghia mengejang. "Ya ampun, lo ini!" Tukas Rena sambil memutar bola matanya. "Gue begini karena khawatir. Elo 'kan udah jomblo permanen. Sekarang elo makin tua, susah buat cari pasangan yang tepat. Jadi kasih kesempatan buat Elan, terus lihat gimana kelanjutannya." "Gue udah tau gimana kelanjutannya. Palingan kita cuma duduk-duduk ngobrol gak jelas. Mainin es batu pake sedotan." Maghia melirik jam tangannya. "Mending gue pulang aja ah, males lama-lama di sini, enakan tidur." Rena mengangkat kedua tangannya dengan bingung. "Masa lo mau pergi gitu aja, terus Elan gimana? Gue harus bilang apa sama dia?" "Terserah mau bilang apa." Maghia mengambil jaket dari dalam tasnya. "Atau lo bilang aja, gue pergi beli t***k portabel. Yang bisa gede kecil sesuai permintaan." **** "Apa lagi sih, yang mau diomongin?" Barry yang terlihat sempurna, langsung mengeluarkan suaranya begitu ia duduk di sebuah gerai kopi. Di depannya duduk seorang wanita berpenampilan menarik, namun tidak membuat Barry bersikap ramah. "Kenapa kamu gak hubungi aku?" "Nomornya hilang!" "Coba kasih alasan yang lain. Kamu bisa kan kirim pesan lewat IG atau yang lain!" "Ngapain?" Barry menyahut dengan datar. Namun ia tersenyum dengan ramah kepada pelayan yang mengantarkan pesanannya. "Kok ngapain sih? Kita kan pacaran." Wanita itu terlihat kesal, namun ia menahan diri. Menghadapi playboy seperti Barry memang harus dengan kepala dingin, atau pria itu lepas dari genggamannya. "Itu kan pendapat lo. Bukan gue." Barry meletakkan cangkir kopinya ke atas meja. Ia memang selalu bertindak rapih dan tenang. Seperti saat ini, tatapannya terhadap wanita itu sama sekali tidak terbaca. "Barry! Kok kamu ngomong gitu, kita kan udah sering jalan, dan kita udah melakukan hal yang lebih dari pegangan tangan." Barry sama sekali tidak tertawa atau kaget mendengar ucapan wanita itu. Dia juga memasang wajah tidak peduli ketika beberapa pasang mata melihat secara terang-terangan ke arahnya. "Gak usah berlebihan. Lo gak akan hamil karena ciuman. Kalau ciuman aja bisa hamil, mungkin gue udah nikah sama Caca dari dulu." Wanita itu dapat mendengar kepahitan dalam ucapan Barry. Tapi dia mana peduli. "Tapi kita pernah tidur bareng." Barry tersenyum sinis sambil memandangi wajah wanita tersebut. Dia tahu wanita jenis apa yang dihadapinya. Apa pun yang direncanakan wanita itu, jadi selama mereka jalan bareng ia tidak pernah memakan umpan yang di sodorkan mentah-mentah. "Terus apa masalahnya? Toh cuma tidur, sama sedikit gesek grepek, yaaah jepit-jepit sedikit wajar lah, tapi kan gak sampai masuk terowongan. Jadi gak usah baper deh." Barry memandang wanita itu dengan serius. Dengan tenang ia mengeluarkan dompet dari dalam sakunya. Ia mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan dan meletakkannya ke atas meja. "Ambil ini. Ini terakhir kali gue datang nemuin elo." Ketika Barry memasukkan kembali dompetnya dengan wajah dingin, wanita itu langsung terkejut dan marah ia melempar uang pemberian Barry. Namun, Barry tidak bergeming dia hanya menyesap kopinya dengan santai. 'Kamu sudah gila ya? Aku gak pernah mau uang kamu!" Wanita itu terlihat marah dan meneriakinya. Barry langsung membalas tanpa ragu. "Elo yang gila! Seharusnya elo paham saat gue bilang hubungan kita berakhir. Bukannya cerita ke mana-mana kalau elo hamil dan gue yang harus bertanggung jawab?" Barry berbicara tenang, sementara wanita itu terlihat gemetar karena menahan marah. "Ambil uang itu, anggap aja diri lo timezone. Gue datang ke timezone karena bosan. Setelah bosan main, gue pergi." Barry menatap wanita itu dengan tajam. Kemudian, ia berdiri dengan tegak. "Jadi jangan pernah ngejar-ngejar gue lagi, karena gak ada mainan di timezone yang ngejar-ngejar orang karena udah lama gak dimainin." Sambil memandangi Barry yang berbalik dengan santai. Wanita itu meneriakkan kutukannya. "Elo lihat aja Barry Wirawan. Lo akan dapat balasan yang lebih kejam karena udah meremehkan dan mengabaikan perasaan orang lain. Lihat aja, gak akan lama lagi." Mendengar perkataan itu, Barry mendengus. Ia menaikkan salah satu sudut bibirnya dan berkata dengan sinis. "Kalau begitu, elo harus banyak-banyak berdoa mumpung sekarang lagi teraniaya. Biar cepat dikabulin Tuhan!" ***** Barry berjalan keluar dari Mall dengan langkah cepat. Sosoknya tinggi langsing dan berkulit bersih. Dia terlihat memesona dengan kaos putih dilapisi jaket kulit yang tidak diresleting, memberi gadis-gadis pemandangan d**a bidang menggiurkan yang meramping ke arah pinggang. Barry Wirawan adalah pangeran di zaman modern. Saat ini, dia adalah satu-satunya pewaris yang sah dari jaringan hotel yang dimiliki keluarganya. Dia terlahir kaya dan terlihat sempurna. Hanya saja dia memiliki beberapa kekurangan yang tertutup oleh ketampanannya. Barry berjalan dengan langkah lebar. Angin telah mengusutkan rambut gelapnya, membuatnya nampak acak-acakan dan terlihat seksi. Mata cokelat gelapnya sanggup meluluhkan hati wanita manapun. Kini, sinar di mata itu meredup saat ia memandangi langit malam dari parkiran Mall. Saat ia berjalan menuju mobilnya, ada seorang perempuan dengan memakai jaket kupluk tengah berjongkok dekat ban belakang mobilnya. Perempuan itu terlihat celingak-celinguk dengan mencurigakan sambil berusaha mendorong bagian belakang mobil Barry. Ngapain dia? Barry mendekati perempuan itu dengan langkah pelan. Perempuan itu menoleh karena terkejut dengan kehadiran orang lain. "Ngapain lo?" Barry bertanya sambil menyipitkan mata. Mencoba menerka siapa perempuan ini. "Ssstt jangan ikut campur. Pergi sana!" Perempuan itu bahkan tidak menjawab pertanyaan Barry. Dan bersusah payah mendorong mobil tersebut. Saat Barry menariknya menjauh, perempuan itu bersusah payah melepaskan diri. Barry tidak tinggal diam, ia menarik perempuan itu, memelintir tangannya dan membuka kupluk yang ka kenakan. Barry mengamati gadis itu dengan seksama. Perempuan itu tingginya tidak sampai sekupingnya. Rambut hitam sebahu tergerai lembut di bahunya yang mungil. Bibir merahnya menggiurkan membingkai deretan gigi putih. Dan kilau dalam mata hitam perempuan itu mengingatkannya pada seseorang. "Siapa lo? Ngapain lo jongkok dekat mobil gue?" Barry mengamati perempuan itu dan mobil secara bergantian, tanpa menghapus kecurigaan dari matanya. Lalu, gadis itu tersenyum cerah. Ia melepaskan diri, kemudian menunjuk bagian bagian ban belakang mobil dan berkata. "Eh, ini mobil lo? Geser dong, gue mau ambil seratus ribuan yang nyelip itu." Barry melihat ke arah yang di tunjuk perempuan itu. Tanpa berkata apa-apa ia memasuki mobilnya. "Ehh tunggu...tungguu." Seru perempuan itu. "Duitnya punya gue ya? Lumayankan bisa beli kuota sama jajan." Barry menganguk. Lalu keluar dari mobil beberapa saat kemudian. "Ambil tuh, buruan!" Perempuan itu lari dengan heboh, takut rejekinya dipatok orang. "Elaaahh srondol mukmin!" Seru perempuan itu. "Masa duit palsu siihhhh. Faak banget hidup gue!" Dia menatap uang tersebut dengan nelangsa. Mau tidak mau Barry tersenyum melihat sikap aneh perempuan itu. Dia terlihat aneh sekaligus menarik. Mungkin karena itulah Barry sekarang mengulurkan tangannya. Dengan ujung jarinya ia menyentuh sudut bibir perempuan yang tidak ia kenal tersebut. Perempuan itu terlalu terkejut dan tertegun untuk menarik dirinya, Barry sudah mencondongkan tubuh dan menciumnya. Gila. Benar-benar gila. Mereka sama sekali belum saling mengenal. Dan sekarang mereka berada di parkiran, seharusnya ia mencegah laki-laki itu. Masalahnya, itu bukan jenis ciuman yang diharapkan segera berakhir. Barry sendiri tidak ingin buru-buru mengakhirinya. Bibirnya bergerak dengan penuh rasa ingin tahu, seolah ciuman hal baru baginya. Dan, ketika ia mengakhiri ciumannya, Barry dapat mendengar perempuan itu mendesah pelan. "Ternyata benar, bibirmu rasanya kaya strawberry." Barry hanya mengangkat bahu ketika perempuan itu meninggalkannya begitu saja tanpa menoleh lagi. Hati kecilnya merasa kecewa. Entah kenapa, Barry mendadak teringat kata-kata wanita yang tadi ia campakkan. Barry memasuki mobil dan menyalakan mesinnya. Sambil meyakinkan diri, kalau dia tidak akan pernah jatuh cinta lagi. ***** 05/06/17

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.2K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
257.2K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

Everything

read
278.4K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
475.1K
bc

Nur Cahaya Cinta

read
359.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook