5.PULANG

1566 Words
Kafian POV Setelah 17 tahun lebih tinggal di Amerika bersama Mami dan melanjutkan bisnis almarhum Papi, akhirnya aku kembali lagi ke tanah kelahiranku Indonesia. Tidak ada saudara disini, satu-satunya yang membuatku kembali adalah janjiku pada seorang gadis cilik yang saat ini entah masih mengingatku atau tidak. “Hay Kaf, disini...” seorang pria yang menjadi sahabatku sejak kecil melambaikan tangan. Aku memang datang sendiri di jemput Rendi di bandara. Sementara Mama akan menyusul beberapa bulan lagi. “Hay Brother. Apa kabar loe ?” tanyanya ketika aku sampai di dekatnya, kami berpelukan ala lelaki sebentar “Baik bro, seperti yang loe lihat. Sendiri aja loe ?” “ Iya nih. Anak sama bini gue lagi istirahat di rumah.” “Wah sorry nih bro, ganggu family time kalian.” ucapku tulus “It’s OK. Gue malah seneng loe balik kesini. Lama banget kita nggak ngobrol bareng begini.” “Lebay loe.Tiap loe ke Amrik juga ketemu gue. Akhir-akhir ini malah kita sering komunikasi kan. Gimana apartemen buat gue ? udah ready kan ?” “Beres itu bro. Apartemen sama kantor baru loe sebelahan. Aksesnya deket juga ke rumah gue atau rumah nyokap. Kalau rumah baru loe sih belum deal, nunggu loe liat dulu lebih enak kan ?” “Thanks bro. Gampang masalah rumah sih. Yaudah jalan sekarang yuk !” ajakku “Langsung ke apart apa mau ke rumah gue dulu. Gue kenalin sama keluarga kecil gue. Siapa tau loe termotivasi punya keluarga sendiri nantinya.” “Balik aja bro. Capek gue. Kapan-kapan aja gue ke rumah loe.” Sampai di apartemen, aku langsung merebahkan diri. Mulai menata kembali kehidupan di negeri sendiri. Besok sudah mulai bekerja di kantor baru yang sebenarnya operasionalnya di Amerika tapi sekarang aku pindah ke Jakarta. Rencana ini memang sudah lama dan butuh waktu untuk sampai di titik ini. Semuanya untuk gadisku, Lili. Menurut informasi Rendi, dia sudah punya pacar sekarang. Aku sedikit kecewa, tapi tak apa. Aku meninggalkannya 20 tahun lebih, meski aku sendiri tidak bisa melupakannya untuk perempuan lain tapi aku rasa wajar jika Lili menyukai pria lain. Dulu, sebelum papi meninggal. Beliau berpesan pada orang tua Lili dan aku serta Mami untuk terus menjaga hubungan baik. Beliau dan Om Atma pernah memiliki janji semasa remaja untuk menjodohkan anak-anak mereka. Sampai papi menghembuskan nafas terakhir, janji itu harus kami tepati. Entah kapan, sampai Lili mau menerima perjodohan ini. *** Waktu berjalan begitu cepat, selama 6 bulan ini aku hanya mengamati Lili diam-diam. Semua kegiatan di kampus, di rumah, bahkan ketika Lili menghabiskan waktu dengan kekasihnya, Vino. Aku kaget, Vino sepupuku. Mereka tampak saling mencintai, Vino juga pria yang baik. Tegakah aku memisahkan mereka ? “Kaf, kapan kamu akan mengunjungi keluarga Om Atma ?” tanya Mami. Ya Mami kembali ke Indonesia satu minggu yang lalu “Nanti dulu Mi. Kaf, masih banyak kerjaan di kantor.” jawab ku seperti biasa “Sampai kapan akan seperti ini Nak. Mami ingin melihat kamu bahagia.” “Mi, apa Kaf terlihat tidak bahagia ?” “Bukan begitu, mami ingin melihat kamu memiliki keluarga utuh. Ada istri dan anak-anakmu. Mami ingin merasakan menggendong cucu.“ “Doakan saja Mi.” “Tapi kapan Kaf ? Kapan kamu akan menemui Verlin ? Om Atma dan keluarganya sudah memberikan kesempatan pada mu untuk mendekatinya, tapi apa yang kamu lakukan ?” “Mi, bagi Kaf kebahagiaan Lili yang utama meski itu tidak bersama Kaf.” “Lalu bagaimana dengan kamu sendiri ? Apa akan terus sendiri seumur hidup ?” Aku terdiam dan tak bisa menjawab pertanyaan mami. Selama ini mimpiku hanya kembali dan merajut bahagia dengan Lili. Belum pernah terlintas untuk merelakan Lili dengan pria lain terlebih dengan sepupuku sendiri. Mami terus mendesakku untuk menemui Lili. Mami belum tau jika Lili adalah kekasih Vino, keponakannya sendiri. Aku bukannya tidak mau menemui Lili, aku hanya takut jika Lili tidak lagi mengingatku. *** “Assalamualikum...” ucapku mengetuk pintu dengan hati berdebar “Waalaikum salam...” sahut seorang wanita paruh baya sambil tersenyum “Kafian ? Ini benar kamu ?” sambungnya terkejut, dia tante Retno mama Rendi dan Lili “Halo tante, apa kabar ?” “Kabar baik. Masuk sini.“ “Maaf mengganggu tante. Ini saya hanya mau mengantarkan titipan dari Mami.” ujarku sambil menyodorkan sekotak oleh-oleh dari Amerika dan sebuket bunga lili putih. Ya, bunga kesukaan Lili yang sengaja aku beli di jalan. “Wah, kenapa harus repot-repot. Nanti juga kita bertemu. Terima kasih banyak Kafian.” “Sama-sama tante. Kok sepi tante, yang lain kemana ?” “Yang lain siapa maksud kamu ? Om sudah berangkat kerja jam segini, Kaf. Rendi dan keluarganya tidak tinggal disini. Kalau Verlin sedang pergi.” jawab tante Retno “Jam segini Lili pergi kemana tante ?” tante Retno tersenyum, menyadari aku masih memanggil Verlin dengan nama Lili sama seperti saat kami masih kecil dulu. “Sedang tante suruh ke supermarket depan. Sebentar lagi juga kembali. Tunggu saja Kaf. Tante buatkan minum dulu ya.” “Tidak perlu tante, maaf Kafian harus kembali ke kantor. Lain kali saja bertemu Lili.” Aku pamit pada tante Retno. Rasa penasaran membawaku ke supermarket tempat Lili berada. Setelah berapa lama menyusuri rak, aku melihat gadis manis yang memakai celana bahan panjang dengan kaos panjang warna Lilac sedang kebingungan dan menggerutu. Aku terpana menatapnya. Cantik. Sangat cantik, Liliku. Hingga dia menyadari keberadaanku. Aku membantu dia menemukan barang yang dia butuhkan. Tak tahan berlama-lama dengannya, aku segera menjauh. Bukan karena hanya rasa rindu tapi juga rasa kecewa, Lili tidak mengenaliku. Separuh hatiku mengatakan wajar karena kami tidak bertemu puluhan tahun. Tapi, separuh lagi kecewa kenapa Lili tidak mengenali sorot mata dan garis wajah yang tidak berubah sejak kecil. *** Usai meeting dengan Kafian di restoran istrinya, Rosa. Aku meminta sekretarisku untuk kembali ke kantor. Sementara aku masih berbincang dengan Rendi. “Ren, menurut loe apa yang harus gue lakuin ?” “Loe sahabat baik gue Kaf, tapi Lili juga adik tersayang gue. Jujur gue ingin yang terbaik untuk Lili. Gue ingin dia bahagia.” “Apa menurut loe, dia nggak akan bahagia sama gue ?” “Bukan begitu. Tapi, saat ini kekasihnya memiliki tempat tersendiri di hati Verlin. Gue udah coba cari celah tentang kemungkinan hubungan mereka yang gagal atau bahkan kemungkinan mereka tidak saling mencintai. Tapi, nihil.” “Vino lelaki baik. Gue bersyukur Lili bertemu Vino yang bisa menjaga dan melindunginya. Setidaknya dia aman. Tapi, hati kecil gue merasa tidak rela.” “Saran gue, temui dia dulu. Bicarakan semuanya, anggap satu hal wajar jika dia lupa sama loe. Tapi, dia masih ingat semua kenangan kalian. Gue jamin itu. Hanya wajah loe yang berubah karena usia.” “Papa....” belum aku menjawab, tampak seorang gadis kecil dan seorang wanita dewasa di belakangnya menghampiri meja kami. Mereka istri dan anak Rendi, sahabatku. “Halo sayang. Sudah mainnya ?” sambut Rendi “Sudah. Soalnya boneka Sharla tadi kotor jadi Sharla buang. Kita beli lagi yuk Pa ?” ajaknya polos “Iya nanti. Kenalin dulu ini teman Papa. Nama nya Om Kafian.” “Kaf, ini anak gue Sharla, dan istri gue Rosa.” sambungnya lagi Kami berkenalan dan berbincang sekedarnya. Mereka tampak sangat bahagia. Istri Rendi juga baik, apalagi anaknya yang lucu sekali. “Sharla mau tidak kalau kita pergi ke mall berdua membeli apapun yang Sharla mau ?” tanyaku “Om memang tidak bekerja ?” tanyanya bingung, sambil menatapku dan papanya bergantian seolah meminta ijin “Om bisa bekerja nanti, tapi ingin kencan dulu dengan Sharla. Mau ?” sambungku “Kalau Shara mau, papa dan mama kasih ijin. Om Kafian juga bukan orang jahat.” tambah Rendi “Baiklah. Tapi Om jangan marah kalau aku minta banyak mainan.” Pintanya lucu “Tentu. Om akan sangat senang kalau Sharla membeli banyak mainan.” jawabku dan segera menggendongnya di bahu. “Jangan nakal ya. Jangan buat Om repot.” pesan Rosa “Kaf, nanti makan siang bersama disini. Maaf kalau Sharla membuatmu repot.” “Santai. Kalian bisa pacaran, anak gadis kalian ku jamin aman.” sahutku dan membuat kami tergelak Usai membeli banyak mainan, aku dan Sharla kembali ke restoran. Sampai di depan pintu aku mendengar percakapan dari orang-orang yang sangat ku kenal. Hatiku semakin teriris perih mendengarnya. “Ralat kak. Hanya salam Mama dan Mama yang menunggunya di rumah. Aku tidak kenal lagi atau lebih tepatnya sangat lupa.” Ucapan Lili, membuatku mengurungkan niat untuk menyapa mereka. Beruntung Sharla tengah tertidur. Dia tidak mendengar apapun atau menjeda untuk masuk. Gerak langkah mereka mendekat. Aku segera bersembunyi di balik tembok samping ruangan Rendi. Aku menatap punggung gadisku menjauh dari restoran hingga menuruni tangga menuju parkiran. Segera aku menemui Rendi untuk mengembalikan Sharla. Tawaran makan siang mereka pun aku tolak. Bergegas mengikuti mobil yang di kendarai Lili dan tante Retno. Mereka menuju ke rumah ku. Hingga mami menghubungiku untuk segera pulang. Karena hati yang masih belum bisa aku kondisikan, akhirnya aku hanya duduk di dalam mobil menunggu mereka keluar berjam-jam. Sudah biasa sebenarnya, karena beberapa bulan terakhir aku seperti penguntit yang mengikuti dan menunggu dimanapun Lili berada. Tapi, ucapan Lili tadi terngiang jelas di telingaku hingga tak lagi dapat ku rasakan detak jantung yang mulai tak beraturan. Ucapan Lili membunuh rasaku. Aku tak boleh marah, kecewa atau membencinya. Ku yakinkan diriku untuk tetap selalu menyayangi dan melindunginya. Aku tetap merindukannya, tak pernah melupakannya sedetikpun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD