Bab 5. Dia Tidak Lucu!

1018 Words
Dari samping Ivy, Jacob yang melihat hal itu hampir tersenyum geli. Geli melihat tingkah Ivy yang seolah sedang mencari kaca jendela truk yang telah ia turunkan sebelumnya. Bukan hanya mencari, kini wanita cantik itu justru sedang mengamati pintu truk. Mencoba mencari tahu ke mana hilangnya kaca jendela yang tadinya masih ada di samping tubuhnya. "Apa yang kau lakukan?" tanya Jacob sambil mengulum senyum, dan entah mengapa kini ia justru merasa tingkah Ivy semakin menggelikan baginya. Setelah sekian tahun, yah sepertinya sudah belasan tahun ia lupa dengan bagaimana caranya untuk tersenyum. Dan semua bermula dari tragedi penculikan yang pernah ia alami di saat ia masih belia dulu. Bahkan selama ini, meski ia sangat mencintai Sally. Ia juga tidak pernah tersenyum pada tunangannya itu. Tapi bersama Ivy— mengapa bersama wanita ini ia justru bisa tersenyum geli? Sebegitu lucunya kah seorang Ivy Miller? 'Tidak!' Jacob menggelengkan kepalanya, sama sekali tidak ingin mengakui bahwa kepolosan wanita cantik yang kini telah berstatus sebagai istrinya itu sama sekali tidak lucu baginya. Tadi ia hanya ... mungkin hanya sedikit lelah. Hingga ia lupa bahwa ia sebenarnya tidak bisa tersenyum. 'Pasti begitu,' ucap hatinya memastikan, dan Jacob pun mengangguk setuju. "J-Jack, a-apa yang terjadi pada kacanya?" "Pfft ...!" Jacob hampir terbahak, namun ia langsung merapatkan bibirnya dan juga memasang wajah datar. "Aku menurunkannya? Kenapa? Kau tidak suka?" Ivy mengernyit heran, tapi kemudian dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Oh, aku ... aku pikir gagak telah memecahkan kacanya," ujarnya, sembari tersenyum kecut. Membuat sekujur tubuh Jacob sontak tergelitik oleh rasa geli. Jika saja, yah jika saja ia tidak terbiasa berwajah datar— mungkin tadi ia telah tertawa sangat keras. 'Sial, wanita ini benar-benar sangat lucu,' umpatnya dalam hati. Lalu diam-diam mencuri pandang pada Ivy. Wanita cantik itu kini tidak lagi memperhatikan pintu truk, melainkan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Sambil menikmati angin yang bertiup kencang dari jendela di sampingnya yang telah terbuka. "Hmmm, kau menikmati perjalanannya?" "Lu-lumayan," jawab Ivy terbata. Ia diam sejenak, kemudian kembali melirik Jacob. Ketika ia menemukan suami tampannya itu sedang menatap ke arahnya, Ivy langsung memalingkan wajahnya ke arah berbeda. Sambil berusaha meredakan detak jantungnya yang mulai bertabuh kencang di dalam tubuhnya. Jacob yang melihat tingkah Ivy itu hanya tersenyum miring lalu geleng-geleng kepala. Namun ia tahu kalau istrinya itu mungkin sudah mulai tertarik padanya. Dan hal ini akan membuat rencananya untuk balas dendam terhadap Ivy menjadi sangat lancar nantinya. 'Ternyata semua wanita sama saja,' dengusnya. *** Sekarang sudah pukul 8 malam, ketika Ivy sampai di apartemen yang telah ia sewa. Saat ia membuka pintu apartemen, ia tiba-tiba teringat pada Tina. Pasti saat ini Sahabatnya itu sudah bekerja di Bar, dan pasti sejak semalam Tina terus mencarinya. Mencoba menghubunginya, tapi ... di mana ponselnya? Apakah terjatuh sewaktu ia diculik? Ataukah ada di tangan Jack? Namun ia tidak bisa memikirkan hal itu terlalu lama, tidak dengan keberadaan Jack di dalam apartemennya. Saat pria itu tengah menunggu dirinya yang sedang membenahi barang-barang yang akan ia bawa. Ivy masuk ke dalam kamar, mengeluarkan semua pakaiannya dari dalam lemari lalu menempatkannya ke dalam sebuah tas besar. Untungnya ia tidak banyak membeli pakaian baru sebelumnya, jadi satu tas saja sudah cukup untuk membawa semua pakaiannya. Tidak lupa, ia mengambil tas ransel tempat ia menyimpan semua uang yang telah ia ambil dari brankas Bastian. Haha... Pria itu pasti sangat marah ketika mengetahui kalau semua uangnya telah dicuri. Ivy tersenyum, menatap semua uang di dalam ransel sebentar kemudian langsung menutup ransel tersebut. Tidak banyak barang yang akan ia bawa, hanya satu tas pakaian dan satu ransel berisi uang simpanannya. Untuk peralatan makan, ia pikir sebaiknya ia tinggalkan saja. Siapa tahu suatu saat nanti ia akan kembali ke apartemen ini. Lagipula ia telah menyewanya selama satu tahun dan telah dibayar full dimuka. "Hanya itu yang akan kau bawa?" Ivy tersenyum kecut mendengar pertanyaan itu, apalagi melihat wajah Jacob yang tampak bingung saat melihat kedua tas yang tengah ia pegang di kedua tangannya. "Bukankah sudah kukatakan kalau aku bukan orang kaya? Apa kau lupa?" cicitnya. Namun Jacob tidak lagi berbicara, pria itu yang tadinya sedang duduk di kursi kayu yang biasanya Ivy pergunakan untuk makan— tiba-tiba langsung beranjak begitu saja. Wajah Jacob datar seperti biasanya, bahkan Ivy sampai menduga jika hanya itu ekspresi yang pria itu miliki di wajahnya. "Apakah kita ...?" "Ada apa?!" lontar Jacob dingin, tanpa membalikkan tubuhnya yang kini telah menghadap ke arah pintu apartemen Ivy. "Ah ... tidak, tidak jadi," sahut Ivy cepat, padahal tadi ia hanya ingin bertanya. Apakah ia dan Jack boleh berhenti sebentar di kedai pizza? Atau sebuah tempat makan murah lainnya? Karena sejak tadi siang ia belum makan sama sekali. Dan sekarang, lambungnya telah menjerit minta diisi. "Hmmm, kau lapar?" "Iya!" Ivy mengangguk. Dan di detik berikutnya, wajahnya langsung merona. Mengingat betapa cepat ia menjawab pertanyaan Jack itu. "Ingin makan dulu sebelum pulang?" usul Jacob. "Tentu saja." Ivy bersorak dalam hati, karena akhirnya ia bisa mengisi perutnya. "Baik, tapi sebaiknya ganti dulu bajumu itu. Karena aku tidak ingin istriku menjadi tontonan para p****************g di luar sana." "Oke." Tanpa perlu diperintah dua kali, Ivy kembali ke dalam kamar lalu mengganti dress yang melekat di tubuhnya dengan setelan santai. Sambil memasukkan kepalanya ke dalam kerah baju, ia pun berpikir tentang Jack. "Sepertinya— Dia tidak terlalu mirip dengan Bastian," gumamnya. Satu jam kemudian, di sebuah kedai pizza. Setengah perjalanan dari apartemen sewa Ivy menuju ke rumah peternakan milik Jack. Kini Ivy dan Jacob sedang makan bersama di satu meja. Meski ia seorang Billionaire yang selalu menyembunyikan jati dirinya, namun Jacob tidak merasa jijik menikmati makanan cepat saji. Well, tidak semuanya makanan cepat saji. Ada satu omelet gulung dan setengah piring kentang goreng di hadapannya sekarang. Makanan yang cukup sering ia makan di mansion miliknya sebelumnya apabila ia terburu-buru ingin pergi ke suatu tempat untuk bertemu dengan beberapa Kliennya. "Kamu suka makanannya?" celetuk Jacob, pada Ivy yang tengah makan dengan lahap. Bahkan dua omelet dan 1 piring kentang goreng, kini telah berpindah ke dalam perut Ivy yang ramping. Namun perut itu masih juga belum tampak maju ke depan. Hal ini menyadarkannya tentang betapa kurusnya seorang Ivy. "Hei, apakah selama ini kau tinggal di jalanan?!" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD