Dokter Ganteng di Sebuah Klinik

1954 Words
Niko Al Fatih. Seorang dokter yang bertugas di klinik As syifa menggeliat di bawah selimut tebal. Suara muazin dari mesjid Al kautsar samping rumahnya bersahutan dengan dering alarm yang terpasang di ponsel. Udara subuh yang dingin mengigit membuat pria lajang berusia tiga puluh tahun itu semakin mengeratkan tubuhnya berharap mendapatkan sedikit kehangatan. "Ikooo, subuh, Jang! Gera ka masjid!" titah Rosmala sambil sesekali menggedor pintu kamar Niko yang terkunci dari dalam. Alih-alih mendapat kehangatan, Niko malah mendapat teriakan lantang dari Rosmala, dia kembali menggeliat lalu mengucek mata dan mulai bangkit dari tempat tidur. "Niko!" "Sudah bangun, Ma," jawab Niko parau. Selesai mandi dengan kecepatan super kilat Niko yang mengenakan sarung Samarinda oleh-oleh dari kakak iparnya bergegas menuju mesjid. Dia terlambat, imam mesjid sudah selesai membaca Al Fatihah yang diaminkan oleh jemaah saat Niko baru saja melepas sandal di depan teras mesjid. Dia terburu-buru, karena sarung yang dikenakan membatasi langkahnya, kaki kanan Niko terantuk karpet mesjid. Dia terjatuh dengan posisi tertelungkup dengan bunyi gedebum yang menarik perhatian jika saja berada di keramaian. Untung saja, jemaah mesjid khusyuk dengan salat mereka. Dokter muda itu tidak perlu repot-repot menyembunyikan rasa malu. Selepas salat, Niko menghabiskan sisa subuh di mesjid. Bukan kebiasaannya memang, karena dia menjadi masbuk hingga menyelesaikan salat paling akhir. Saat hendak pulang, beberapa pengurus RW sedang berkumpul, mau tidak mau Niko ikut bergabung mengikuti obrolan mereka. "Kebetulan ada Pak Dokter, Begini Pak Dokter, para pemuda mengusulkan untuk foging seluruh komplek perumahan, khawatir terjangkit demam berdarah," tukas Amin, ketua RW berperawakan tinggi dan langsing dengan kulit putih dan mata sipit mirip oppa oppa korea. "Keren itu, Pak. Dari dinas kesehatan juga sudah ada perintah untuk melaksanakan foging. Bergilir setiap desa satu kecamatan ini. Bagus sekali jika di komplek perumahan ini berinisiatif melakukan fogging sendiri tanpa menunggu antrian. Lebih cepat lebih baik bukan?" Dengan sabar Niko menjelaskan tentang nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah. Mulai dari ciri-ciri, warna dan bentuk tubuh nyamuk, waktu gigit hingga cara pencegahan dari gigitan nyamuk ini. Diskusi berakhir saat matahari mulai naik. Niko pamit karena harus segera praktik di klinik. Beberapa remaja mesjid nampak canggung kala kedapatan mencuri pandang ke arah Niko. Pria dengan model rambut cepak itu sengaja mengerling yang sontak dibalas dengan pekikan girang. "Eh, dokter Niko itu sudah punya calon belum, ya?" bisik seorang ibu saat sedang memilah sayuran di gerobak sayur milik Mang Jaja. Niko yang kebetulan melintas masih dapat mendengar suara ibu bertubuh subur itu. Dia tersenyum, senang sekali ibu-ibu perumahan perhatian padanya. "Belum, kalian curiga tidak sih, mapan, ganteng, tapi masih single. Aku sih curiga." Niko berdiri memerhatikan ketiga ibu yang lebih banyak bergosip dari pada beli sayur. Mang Jaja terlihat rikuh. Dia mengedipkan matanya beberapa kali, memberi kode pada ibu-ibu bahwa orang yang sedang mereka bicarakan berdiri di belakang. "Kelilipan, Mang? Dari tadi kedap kedip aja," tanya salah satu ibu sambil memasukkan sebungkus jengkol dan ikan asin ke dalam kantong kresek. "Eh, emang curiga apa sih? Penasaran aku." "Curiga kalau dia itu sebenarnya gay, masa sudah berumur gitu belum ada gandengan, mustahil, kan?" "Astagfirullah, jadi dokter Niko itu gay? Kasihan bu Rosmala, ya," ucap ibu berbaju merah. "Eh, Pak Dokter, mau beli sayur, Pak?" Mang Jaja akhirnya membuka suara. "Ish, Mang Jaja, ngaheureuyan wae. Mana mungkin pak Dokter beli sayur kesini, tadi kan Bu Rosmala sudah belanja." "Assalamualaikum, petai ada, Mang?" ucap Niko. "Waalaikumsalam. Ada juga kangkung sama daun singkong, mau?" Mang Jaja  membereskan kangkung dan daun singkong saat menjawab pertanyaan Niko. Tiga wanita yang asik bergosip itu bungkam, yang satu bahkan melarikan diri sambil berteriak, "Mang aku ngutang dulu, ya." "Eh, Mang ini uangnya, saya duluan ya Bu Parto, si kecil mau sekolah," pamit ibu berbaju merah. "Ini saya berapa Mang?" "Tiga puluh tujuh ribu," jawab Mang Jaja, Bu Parto menyerahkan dua lembar pecahan dua puluh ribuan kemudian berlalu setelah menerima kembalian dari Mang Jaja. "Santai saja, Mang. Resiko orang ganteng ya gitu, digosipin ibu-ibu." Mang Jaja tersenyum maklum. Klinik As Syifa. Pasien sudah memenuhi deretan kursi yang disediakan klinik saat Niko datang dengan tebaran senyum. Aroma pembersih lantai dan antiseptik menggelitik hidung Niko saat memasuki ruangan dengan ukuran empat kali enam meter. Ingatkan dia untuk menegur petugas kebersihan karena hal ini. Niko tidak pernah suka pembersih lantai beraroma karbol. Dia bisa seharian menahan mual, tetapi nafsu makannya tidak akan hilang begitu saja. Meski dokter yang sering banget ngaku-ngaku ganteng ini berkata mual-mual. Pasien demi pasien Niko layani dengan tulus. Dia ramah, bahkan beberapa pasien anak lebih suka diperiksa Niko. Dia selalu menyimpan biskuit, puding atau mainan kecil untuk dihadiahkan kepada anak-anak yang kooperatif. Seperti saat ini, pasien dengan nomor antrian 18, pasien terakhirnya sebelum istirahat salat zuhur. Namanya Gianara, gadis berusia tiga tahun yang semringah saat bertemu dokter kesayangannya. "Dokteeel," sapa Gia dengan suaranya yang cadel. Gadis kecil bermata bulat itu menarik lengan sang bunda yang menutup mulut dan hidungnya dengan masker. "Halo, cantiknya dokter, waaah pipi kamu tambah mbem aja. Makannya banyak?" "Banyak, Gia lapel telus, Dok." Gia menepuk-nepuk perutnya. Niko tertawa, dia sangat puas. Ini bukan soal berapa dia digaji sebagai dokter. Tapi ada satu kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kesembuhan pasien, tentu saja. Niko memainkan stetoskop bersama Gia. Gadis kecil yang sebulan lalu datang dengan keadaan kurus dan pucat kini terlihat semakin berisi. Sudah tidak terdengar suara batuk dari Gia. Dia jauh lebih segar dan terlihat cantik dibandingkan saat pertama kali Niko mengetahui bahwa gadis itu menderita TB paru. "Lho, Gia sama siapa ini, mamahnya mana?" tanya Niko saat netranya bersirobok dengan netra seorang perempuan berambut coklat potongan model flirty flip pendek. Perempuan yang Niko maksud memperbaiki letak masker, dia gugup. Pria dewasa yang sedang memangku Gia mengangkat sudut bibirnya. Dia yakin, perempuan yang mengantar Gia terpesona dengan ketampanannya. Sudah biasa seperti itu, bahkan beberapa pasien mendadak sembuh saat Niko menyunggingkan senyum. Pria ini punya rasa percaya diri yang sangat tinggi. "Bunda, salim dulu sama doktel," titah Gia seenaknya. "Bunda?" tanya Niko, Gia turun dari pangkuan Niko kemudian meraih tangan bundanya. "Ayo, salim!" "Maaf, dok, Gia gak boleh gitu sama pak Dokter. Sini sayang," ajak bundanya Gia. "Tidak apa-apa, jadi ini bundanya Gia?" "Iya." bunda Gia menunduk, dia selalu membuang muka saat Niko berusaha menatapnya. Aneh. "Baik, mari Gia, dokter periksa dulu." "Bagus, Gia masih suka batuk, Bu?" tanya Niko. "Kalau kedinginan sih dia batuk, biasanya subuh." Niko melirik bunda Gia, dia merasa tidak asing dengan matanya, irisnya yang coklat mengingatkan dia pada seseorang. "Obatnya tidak terlewat, kan?" "Gia gak suka minum obat, doktel, tapi mamah suka paksa Gia." "Mamah yang waktu itu antar Gia?" Niko bingung, pertama kali Gia berobat diantar wanita yang dipanggil mamah, sekarang dia diantar perempuan aneh yang dipanggil bunda. "Mamah itu neneknya Gia, itu Bunda Gia," tunjuk Gia. "Ooooh, dokter ngerti sekarang, Gia sayang, gak boleh males minum obat, ya. Biar cepat sem ...." "Buh!" sambung Gia. "Pinter, ini hadiah buat cantiknya Dokter." Niko memberikan sebuah boneka beruang seukuran telapak tangan. Gia girang. "Telimakasih, doktel." Niko mengangguk bahagia. "O iya, Bu, ini resepnya. Obatnya jangan sampai ada yang terlewat ya, perhatikan asupan makanannya, jauhkan dari asap rokok." Bunda Gia terpaku, dia fokus menatap Niko. "Bu," panggil Niko "Ah, maaf, bagaimana, Dok?" Dia gugup. "Ini resepnya." "Terima kasih, Dok. Gia ayo!" Kemudian dia pergi. Gia melambaikan tangan pada Niko. Musola Klinik As syifa. Niko merapikan sarung yang dia kenakan saat salat. Kemudian mengintip dari balik jendela, masih banyak antrian pasien hendak berobat. Dokter Yvonne menggantikan Niko untuk satu jam kedepan, lumayan, dia bisa makan lotek di kantin luar klinik. Klinik itu memang mempunyai dua kantin. Satu terdapat di lantai tiga dekat musola kamar rawat inap. Satunya lagi dekat pos satpam. Niko lebih nyaman makan di kantin luar, makanan yang tersedia sesuai dengan lidah dan kesukaan Niko. Lotek salah satunya. Sandal jepit yang dia kenakan beradu tanpa suara dengan lantai keramik bermotif serat kayu. Jas kebesarannya dia sampirkan di lengan kiri, sementara itu kemeja slim fit berwarna biru langit membungkus tubuhnya yang ramping dengan sempurna. Dia sapukan pandangannya ke penjuru ruang tunggu. Gia masih berada di ruang tunggu apotek, dia sedang terlelap di pangkuan bundanya. Perempuan nyentrik dengan gaya berpakaian lain dari yang lain, tetapi masih sopan. Beberapa detik tatapan mereka beradu, Niko menyambutnya dengan senyum semanis gula aren. Bunda Gia buru-buru memalingkan wajah, tangannya dengan cekatan merapikan rambut hingga menutupi wajahnya dari samping. Pura-pura fokus pada gawai dengan case berwarna kuning terang. "Ceu, lotek mentah cabenya lima, lontongnya tiga." Niko mencomot bala-bala, kemudian memakannya bersamaan dengan sebuah rawit. "Laper, Dok?" "Mayan, hehe." Niko terkekeh dia berdiri menghadap jendela, mengabaikan bangku panjang yang terbuat dari kayu. Dari sekian banyak dokter yang bertugas di klinik As syifa, hanya Niko yang lebih suka makan di kantin itu, membaur dengan satpam, petugas kebersihan dan juru parkir. Tempatnya tidak di pinggir jalan, tetapi paling ujung dari bangunan yang berbentuk leter L. Dia bisa melihat sekumpulan burung gereja yang bertengger manis di batang padi yang mulai menguning. Orang-orangan sawah nampaknya tidak berpengaruh, bahkan beberapa ekor burung dengan santai hinggap di hidung yang terbuat dari bambu. "Aku yakin, Ceu, beberapa tahun lagi sawah itu akan lenyap, diganti dengan bangunan atau jalan raya." "Kelamaan, Dok. Beberapa bulan lagi sawah itu akan beralih fungsi jadi jalan bebas hambatan." Dokter Sukma, dia masuk ke dalam kantin. Mensejajarkan diri dengan Niko yang berdiri menghadap belakang ruangan. Pembatas antara tempat itu  dengan sawah adalah sebuah jendela dengan teralis besi tanpa kaca. Sehingga semilir angin menerpa wajah Niko tanpa aling-aling. "Dokter, ngapain di sini?" tanya Niko saat melihat rekan sejawatnya sudah berdiri disampingnya. "Main sirkus," jawab Sukma sarkas. "Hah?" "Ya, makan siang lah, Dok. Emang situ saja yang boleh makan di sini?" Bohong. Niko tahu pasti Sukma sedang berbohong. Sukma adalah tipe orang yang selektif dalam memilih makanan. "Pak Dokter, loteknya." Ceuceu menyerahkan lotek pesanan Niko. "Nuhun Ceu." "Wow porsi kuli," cetus Sukma saat melihat piring berisi lotek milik Niko. "Lah, emang abis nguli," bela Niko sambil menyuapkan potongan Lontong. Kemudian dia makan dalam diam. Mengabaikan Sukma yang menatapnya dalam-dalam. "Saya duluan, ya, Dok. Ceu ini sekalian bayar makanan dokter Sukma." Selembar pecahan rupiah berwarna biru berpindah tangan. Biasanya Niko akan mengambil kembaliannya saat pulang. Jika sedang berbaik hati dia akan membayar makan siang juru parkir atau siapa pun yang berada di dekatnya. Semakin siang jumlah pasien semakin banyak, meskipun jam istirahatnya masih tersisa lima belas menit lagi Niko memutuskan untuk kembali bertugas melayani pasien. Lagi pula dia sedikit takut sama dokter Yvone yang galaknya tidak ketulungan, terlambat lima menit saja mata dokter kepala klinik itu seakan hampir melompat keluar dari kelopaknya. Bruuk. "Aduh!" rintih seorang perempuan, Niko tidak sengaja menabraknya tepat di pintu keluar klinik. "Bunda Gia, aduh, maaf saya gak sengaja." Perempuan itu menatap Niko, tatapan matanya menyiratkan bahwa dia sedang marah. Sayang masker dengan motif Doraemon yang dikenakan masih setia menutupi hidung dan mulutnya. "Makanya kalau jalan pakai mata. Untung saja Gia tidak jatuh." "Maaf, Bu, Maaf banget. Tapi saya jalan pakai kaki, Bu." Niko membungkuk hormat, beberapa pasien yang sedang menunggu memasang wajah tegang melihat adegan tersebut. Beberapa ada yang sinis melihat dokter kesayangannya di bentak seperti itu. "Untung saja ganteng, kalo enggak udah aku pites," sungut Bunda Gia. "Makasih, Bu, saya emang ganteng dari lahir," ucap Niko. Sekilas dia melirik Gia, gadis itu tetap terlelap di pangkuan Bundanya. "Pede amat!" Dia pergi, meninggalkan Niko yang tersenyum geli. Sebaliknya, Niko bergeming di tempat. Dia penasaran dengan Bunda Gia, perempuan itu seperti tidak asing baginya. Niko menyadari bahwa dia istri orang. Bodoh, rutuknya dalam hati. Kemudian berbalik hendak menuju ruang praktik, tetapi sebelum jauh melangkah, dia melihat ke arah parkiran motor. Melihat bunda Gia satu kali lagi. Perempuan itu telah membuka masker doraemon yang dipakai. Wajahnya membuat Niko tertegun sesaat, sebelum akhirnya dia berlari menghampiri. Tetapi sayang motor yang dikendarai bunda Gia melesat pergi, meninggalkan pelataran klinik As syifa. Meninggalkan Niko dengan buncahan rasa sesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD