Ayah Gia

1265 Words
Intan berusaha kabur lagi. Sebelumnya dengan lembut dia mengajak Niko untuk berdiri karena merasa ngeri dengan bisik-bisik pengunjung restoran. Jangan tanya bagaimana perasaanya mendengar ajakan Niko. Ayolah, meski tidak dipungkiri ada perasaan senang Intan tidak terima dengan kelakuan Niko yang kekanakan begini. Dia menggenggam tangan Niko melewati beberapa pasang mata yang tersenyum dengan berbagai arti. Perempuan itu menyeret langkahnya hingga pelataran parkir, sesampainya disana dia berusaha melepas genggaman tangan Niko tetapi sebaliknya, pria itu semakin mengeratkan pegangannya. Intan mendengkus tidak terima dia takut ketahuan bahwa bersentuhan dengan Niko membuat jantungnya berpacu lebih cepat. "Lepasin, gak?" hardik Intan, Niko tidak terpengaruh sama sekali. Dia memiringkan wajahnya tersenyum manis sekali. "Kalau dilepasin nanti Intannya Niko kabur lagi. Aku gak akan membiarkan kamu menjauh dan meninggalkan aku lagi. Cukup satu kali kamu ninggalin aku, kecuali jika Tuhan menghendaki satu di antara kita pulang ke hadapanNya." Intan tersenyum sinis, "buat apa aku tetap di sisimu? Oh, supaya kamu bisa nyakitin aku lagi?" "Kita harus bicarakan ini baik-baik. Sadar gak Ntan, dari awal pertemuan kita kamu bicara seolah-olah aku pria b******k yang sudah nyakitin kamu," erang Niko frustasi. "Memang begitu, Kan?" "Oke, jelasin Ntan, apa yang membuat kamu yakin bahwa aku nyakitin kamu?" Intan mengempaskan pegangan tangan Niko, dia berjalan menuju sebuah pohon rindang di sisi timur lahan parkir. Kemudian mulai mengingat kejadian tiga belas tahun yang lalu. "Pak, Intan keluar sebentar, ya? Gak lama kok, Mang Didin yang anterin," pamit Intan pada bapaknya, dia nunjuk lelaki berjaket kulit yang akan mengantarnya. "Sudah malam, Ntan," respon Bapaknya. "Intan mau anterin ini ke rumah temen, subuh kan Intan berangkat, ini Intan harus tanggung jawab anterin ini, Pak." "Apa itu?" "Punya temen, Intan pinjam." Gadis yang baru saja lulus SMA itu berbohong. Dia sebetulnya ingin bertemu dengan Niko. Tiba-tiba saja keberangkatannya di percepat sehingga dia merasa harus berpamitan pada kekasihnya saat itu juga. Dengan tangannya, dia merajut sebuah syal berwarna merah marun dan sebuah gelang macrame yang sedang hits di kalangan remaja kala itu. Dia juga menuliskan beberapa bait puisi yang diambil dari salah satu n****+ favoritnya. Ini adalah momen romantis yang pertama setelah satu tahun berpacaran dengan Niko. Namun, semua hancur dan berkeping tatkala Intan melihat tangan kokoh Niko sedang memeluk Sara. Malam itu di bawah remangnya lampu teras rumah bercat hijau pucuk daun. Intan pulang, membawa luka, menggenggam kesumat dengan hati yang berserak bagai gelas-gelas kaca yang dilempar hingga hancur. Dia pergi jauh dan tidak sudi berjumpa dengan penghianat macam Niko. "Ngapain senyum?" tanya Intan setelah mengakhiri ceritanya. Niko memang tersenyum geli mendengar penuturan Intan. Bunda Gia sudah salah paham, dia cemburu dan Niko bahagia karenanya. "Oke, biar aku jelasin. Kamu diam dan jangan kabur, kalau tidak ...." "Apa?" sungut Intan. "Pokoknya diam dan dengarkan." Dia memperbaiki posisi duduk, "pertama, Sara adalah istri Mas Rifki. Kamu ingat Mas Rifki, kakakku, kakak angkatan kita, ketua osis yang ganteng kala itu, tapi masih gantengan adeknya." Intan membuka mulutnya, dia tidak menyangka bahwa dugaannya selama ini salah. "Kedua, aku memang pernah meluk Sara malam itu. Saat Mas Rifki kecelakaan dan koma selama satu minggu setelahnya." Intan masih bergeming, dia tidak tahu harus menanggapi penjelasan Niko dengan cara apa. "Ketiga, kalau kamu tidak percaya, ikut aku kita tanyakan pada Sara dan Mas Rifki, kebetulan kami tinggal satu rumah." "Jadi, selama ini aku salah paham?" cicit Intan. "Tepat!" "Maaf, A, Teh, dilarang pacaran di tempat ini." Suara cempreng petugas parkir membuat Intan sedikit emosi. Enak saja, dia samakan Intan dengan remaja cabe-cabean yang doyan pacaran di pojokan parkiran. "Maaf, Kang, Ayo Ntan." Niko merebut kunci motor yang Intan pegang lalu membawa motor itu ke hadapan Intan, "Ayo, naik! Aku antar sampai pertigaan." Intan tersenyum malu-malu kemudian dia duduk di bangku penumpang. "Pegangan, aku mau ngebut," titah Niko. "Jangan mulai, deh!" Intan mencubit pinggang Niko, lelaki itu tertawa bahagia. Dia tidak tahu bahwa Intan sedang mati-matian meredam debar-debar dalam d**a. Serta menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu. Mereka sampai di rumah Intan menjelang magrib, bukan karena jaraknya yang jauh, Tetapi Niko sengaja berputar-putar enggan berpisah dengan Intan. Beberapa kali wanita itu sempat protes dan marah. Niko tidak peduli, dia terus memacu motor Intan ke tempat-tempat yang dia kehendaki. Barulah setelah Intan berkata tentang Gia, Niko membawanya pulang hingga pertigaan jalan. Jalan yang pernah Intan jadikan persinggahan untuk menunggu kekasih hatinya menjemput karena ketahuan Bapak yang galaknya gak ketulungan. Meski begitu, saat ini Intan merindukan sosok itu. Sosok yang penuh wibawa dan membuat Intan merasa aman dan dilindungi. Intan tiba-tiba Ingat Gia, gadis kecilnya tidak akan pernah merasakan hal seperti itu dari sosok ayah. Diam-diam Intan menyeka bulir bening yang luruh tanpa permisi. "Ntan, jangan jadikan aku laki-laki tidak bertanggung jawab yang hanya bisa anterin kamu sampai sini," ucap Niko. "Anterin sampai rumah gak apa-apa. Terus aja lurus, nanti depan mini market belok kiri." "Serius, Ntan?" "Iya," jawab Intan. "Berarti kamu mau nikah sama aku?" Niko ngelunjak, tetapi Intan sedang enggan menanggapi seperti biasanya, perasaannya sedang kacau gara-gara ingat bapak dan nasib Gia. "Ntan, aku diterima?" desak Niko. "Tidak semudah itu, beri aku waktu. Ayo cepat, Gia sudah nunggu." Intan menepuk bahu Niko pelan. Sebuah mobil fortuner berwarna hitam dan mengkilap terparkir di depan rumah Intan. Sepertinya sedang kedatangan tamu. Intan sedikit mengerutkan kening, dan bertanya dalam hati siapa yang bertamu magrib gini. "Ntan, aku sudah siapin ini buat gia, boleh aku berikan langsung padanya?" Niko memperlihatkan sebuah kotak yang dia kantongi dari tadi. "Tentu, Gia pasti senang. Aku bosan tahu, dia selalu saja ngomongin dokter Niko kesayangan." "Ibunya juga?" "Jangan ngimpi kamu!" Niko tertawa pelan. Intan melihat pemandangan tidak biasa di ruang tamu rumahnya. Midah duduk memangku Gia, sementara di depannya seorang pria dengan aroma tubuhnya yang sudah tercium ketika Intan berada di ambang pintu. Mungkin dia berendam di parfum atau parfumnya kelewat mahal. Melihat Intan dan Niko, Gia turun dari pangkuan Midah, dia menghambur ke pelukan Intan. Kemudian bersorak gembira melihat Niko datang ke rumahnya. Intan tidak sesenang Gia, pasalnya tamu yang duduk di ruang tamu rumahnya adalah dia. Alif Akbar, top model Asia yang rela meninggalkan istrinya yang sedang hamil muda dan morning sickness parah demi sebuah karier di dunia modelling. Kemudian resmi menceraikan Intan setelah Gia lahir. Bahkan pria itu tidak pernah kumandangkan azan di telinga Gia saat gadis itu lahir ke dunia. "Intan," bisik Alif. "Ngapain kamu kesini? Gak punya urat malu apa?" Intan emosi, Midah memilih masuk ke dalam rumah, tidak mencampuri urusan Intan dengan mantan suaminya. Alif berlutut kemudian tergugu. Bahunya berguncang dia hendak meraih kaki Intan namun spontan gadis itu mundur. Seenaknya saja dia datang setelah membuang Intan yang sedang lemah tidak berdaya. "Maaf," lirih Alif di sela isakannya. "Setelah semua yang kamu lakukan, enak saja kamu datang dengan air mata buayamu dan minta maaf. Kemana aja kamu selama ini? Saat aku ngidam, saat Gia lahir, saat gadis itu tumbuh kemana? Oh, atau tubuh kamu yang mirip batako ini sudah tidak laku lagi, hah?" jerit Intan. Niko dan Gia tertegun melihat Intan semarah itu. "Pergi sekarang juga, b******k!" "Ntan." "Jangan sebut namaku, pergi!" Intan menendang Alif yang sedang memeluk kaki Intan. Pria itu terjungkal. "Ayah." Kata itu lolos dari bibir mungil Gia. Intan semakin menjerit tidak terima. Alif tidak pantas di panggil ayah, pengecut itu bahkan tidak pernah ada ketika Intan berjuang seorang diri demi gadis kecil yang kini sedang ketakutan. "Niko, tolong bawa Gia ke dalam." Niko membawa Gia, gadis kecil itu gemetar di pelukan dokter kesayangannya. Entah berapa lama mereka seperti itu,    Intan dan Alif mereka terus tergugu. Hingga sebuah tepukan lembut di bahu Intan memaksa perempuan itu untuk mendongakkan wajah. "Magrib hampir habis, salat dulu yuk!" Niko, dia membawa Intan meninggalkan Alif meratapi kesalahannya seorang diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD