BAB 5| Informasi

2028 Words
Kting! Perangkat canggih di genggaman lebar sang mafia berdenting, memecah keheningan, menandakan kedatangan notifikasi pesan baru. Dengan gerakan refleks, sang mafia tegakkan punggung yang sebelumnya bersandar nyaman pada sandaran kursi yang didudukinya. Sambil membawa perangkat canggih ke depan wajahnya, sang mafia memperhatikan layar yang terang. Ibu jarinya mengusap-usap layar, membuka pesan yang baru masuk. Baby Jess: "Keadaanku tidak cukup baik, karena aku belum berhasil menembak kepalamu." Bunyi sebuah pesan yang barusan diterimanya sontak membuat sang mafia terdiam sejenak sebelum akhirnya terkekeh pelan. "Menggemaskan," gumamnya dengan gerakan gigi yang bergelutuk, seolah-olah mengungkapkan betapa ia menahan rasa gemas. Di hadapannya, seorang pria menatap padanya dengan kening berkerut, menunjukkan kebingungan. "Ada hal besar apa yang membuatmu seperti orang gila?" tanya pria itu dengan nada sarkastik. Pria itu adalah Axel Addison, sahabat dekat Gerald. Gerald mengalihkan pandangannya dari ponsel dan menatap Axel. Dengan terkekeh pelan, ia meletakkan perangkat canggihnya di atas meja. Setelah menghela napas, ia condongkan wajahnya ke depan, kedua tangannya bersatu erat di atas meja. "Apakah kau pernah berkunjung ke Wellington baru-baru ini?" tanya Gerald serius kepada Axel. "Aku sering kesana karena urusan pekerjaan," jawab Axel. "Pernah sekali kami pergi bersama untuk liburan. Mengapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu?" tambahnya. "Bukan apa-apa. Aku pikir Jesslyn sudah menikah," jawab Gerald. Axel mengangkat sebelah alis, "Ah, ya... Aku lupa bahwa dulu kau tertarik padanya," sindir Axel sambil Gerald terkekeh. "Kalau tidak salah, Jesslyn tinggal di sini, bukan? Apakah kau sudah mengetahuinya?" tanya Axel lagi. Gerald mengedikkan bahu, "Aku tidak punya kepentingan apapun dengannya, jadi tidak penting bagiku apakah dia tinggal di sini atau tidak," ucapnya sambil berbohong. Padahal, sejak semalam, dia sibuk marah-marah tidak jelas karena Jesslyn menyebut nama pria lain ketika mendesah di bawah kungkungannya. Dia bahkan meminta Carlos untuk mencari tahu segala hal tentang Jesslyn selama gadis itu tinggal di kota ini. Axel mengibas tangan ke udara dengan ekspresi tidak percaya terhadap apa yang dikatakan Gerald. "Aku bukan orang yang baru mengenalmu kemarin. Jika kau sudah menanyakan itu, artinya kau tertarik dan ingin memilikinya," tegur Axel. "Sungguh pengertian," Gerald bergumam, merespon ucapan tajam dari Axel yang memang benar adanya. "Baiklah, terserah padamu. Tapi, sebelumnya aku ingin mengingatkanmu... Jesslyn sangat galak. Dia sama seperti sepupunya, Uncle Morgan. Kejam," ucap Axel, lalu bergidik ngeri. Gerald mengangguk pelan sebagai respons sebelum berkata, "Sehebat apapun wanita itu, dia akan tunduk saat kita berhasil mengendalikannya. Gadis itu hanya butuh 'sentuhan'," sang mafia mengedikkan bahu dengan angkuh, penuh keyakinan atas perkataannya. Setelah itu, mereka mengalihkan topik dari Jesslyn, beralih ke pembahasan tentang bisnis gelap mereka. Meskipun Axel bukan seorang mafia, tapi dia bekerja sama dengan sahabatnya yang merupakan seorang mafia, yaitu Gerald. Axel telah terlibat dalam semua urusan bisnis gelap Gerald sejak dulu, dan perannya sangat signifikan. Itulah sebabnya Axel berada di Milan saat ini, meskipun tempat tinggalnya berada di California. Dia terbang ke Milan untuk bertemu langsung dengan Gerald dan membahas beberapa hal penting yang tidak bisa diselesaikan melalui pertemuan daring seperti biasanya. Setelah beberapa saat menghabiskan waktu untuk berdiskusi tentang pekerjaan mereka, akhirnya keduanya pun menyudahi pembicaraan. Axel bersiap-siap untuk meninggalkan kediaman Gerald. "Kau akan pulang langsung hari ini?" tanya Gerald setelah berdiri dari duduknya, mengikuti langkah Axel. “Mungkin nanti malam, aku ingin istirahat sebentar,” jawab Axel. “Di mana kau akan istirahat?” tanya Gerald dengan serius. “Di hotel,” jawab Axel. “Mengapa tidak istirahat di sini saja?” tanya Gerald penasaran. Axel mendesah pelan, lalu menjawab, “Ada Jessie yang menunggu di sana.” “Oh, jadi kau datang bersama kekasihmu?” tanya Gerald, sedikit terkejut. "Hmm," sahut Axel dengan singkat sambil bergerak keluar dari ruang kerja Gerald, diikuti oleh pria itu. Gerald mengantar Axel sampai ke depan teras Mansion, dan setelah itu, pria itu memasuki mobilnya dan pergi meninggalkan kediaman Gerald. Setelah itu, Gerald kembali memasuki Mansion dan langsung menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Setibanya di kamar, Gerald bergerak menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Sejak semalam saat ia kembali dari hotel, hingga sekarang, ia belum mandi sama sekali, padahal sudah hampir siang. Kekesalannya terhadap Jesslyn membuatnya malas untuk melakukan segala aktivitas rutinnya. *** Setelah selesai mandi, Jesslyn buru-buru masuk ke dalam walk in closet. Tubuhnya masih terbalut handuk putih hingga sebatas paha, dengan rambut basahnya di gulung dengan handuk. Di dalam walk-in closet, Jesslyn bergerak menuju salah satu lemari. Ia membuka laci khusus pakaian dalamnya dan mengambil celana dalam dan bra. Saat hendak memakai celana dalamnya, tiba-tiba gerakannya terhenti dan ia termenung sejenak. Detik berikutnya, Jesslyn membawa sebelah tangan ke area intimnya. Dengan gerakan lembut, Jesslyn sengaja menekannya sambil merasakan sesuatu. "Aku baru sadar bahwa aku tidak merasakan sakit sama sekali di area intimku. Padahal semalam aku tidur dengan seorang pria," monolog Jesslyn pada dirinya sendiri. Setelah sejenak bergulat dengan pikiran yang berkecamuk, Jesslyn akhirnya melangkah keluar dari walking closet menuju ranjang. Ia menyambar ponsel yang tersimpan di atas nakas dan membawa benda pipih itu ke depan wajah. Beberapa saat kemudian, Jesslyn mulai berkutat dengan ponselnya. Ia memasuki website dan mencari tahu ciri-ciri wanita yang baru melakukan hubungan intim. Jesslyn membaca sebuah artikel dengan cermat, sesekali keningnya berkerut dalam kebingungan dan keraguan. Jesslyn merasa ragu dengan apa yang disampaikan oleh artikel tersebut, sehingga ia membacanya berulang kali namun tidak cukup memuaskan bagi dirinya. Dengan desahan kasar, Jesslyn beralih duduk di sisi ranjang, merenungkan hal-hal yang baru saja ia temukan. Jesslyn meninggalkan website yang baru saja dibuka, kemudian beralih untuk mencari kontak seseorang yang tak lain adalah keponakannya, Maureen. Jesslyn menekan tombol panggilan sebelum membawa ponselnya menempel di telinga kanannya. Ia menunggu dengan sabar sampai akhirnya Maureen menjawab panggilannya. Tak lama kemudian, suara ceria Maureen terdengar di telinga Jesslyn. “Ya, Halo Jess,” seru Maureen di ujung telepon dengan suara ceria seperti biasa. “Mengapa kamu lama sekali menjawab teleponku?” tuding Jesslyn agak kesal. Terdengar di ujung telepon, Maureen mendengus. “Apakah kamu lupa bahwa orang yang kamu hubungi ini adalah seorang wanita yang memiliki suami? Dan tadi kamu mengganggu waktuku dengan suamiku. Kami sedang berpelukan, berciuman, dan hampir saja bercinta, tapi karena kamu tiba-tiba menghubungiku, kami jadi terganggu. Kau tahu?!” cerocos Maureen. Jesslyn memutar malas kedua matanya. "Terserah kau saja. Aku ingin bertanya sesuatu padamu. Kamu harus menjawabnya dengan jujur,” ujar Jesslyn. “Tentang apa?” tanya Maureen di ujung telepon dengan nada penasaran. “Ponselmu tidak di loudspeaker, kan? Aku tidak ingin pembicaraan kita ini didengar oleh orang lain selain kamu, bahkan bukan oleh Kak Leon sekalipun,” ujar Jesslyn. “Iya, iya, tidak akan ada orang yang mendengar. Aku sedang di kamar sendirian. Leon bersama anak-anak di bawah. Sekarang, cepat ceritakan padaku apa yang ingin kamu sampaikan,” ujar Maureen. Sejenak, Jesslyn terdiam sambil menggigit bibir menandakan rasa gugup yang sangat terasa. Ia menarik nafas dalam sebelum kemudian menghembuskannya perlahan. “Semalam, atasanku di kantor mengadakan pesta di klub,” Jesslyn mulai menceritakan. Ia menjeda sejenak sebelum melanjutkan, “Dan akhirnya, aku mabuk. Saat aku bangun tadi pagi, aku berada di hotel.” “What!” pekik Maureen di ujung telepon, persis seperti dugaan Jesslyn sebelumnya bahwa wanita itu pasti akan heboh. “Diamlah, Maureen! Aku belum selesai bercerita,” kesal Jesslyn. “No, no, no, no! Kali ini aku tidak bisa diam! Ini sungguh masalah yang serius, Jesslyn. Kamu mabuk dan berakhir dengan seorang pria di kamar hotel. Ya Tuhan, apa yang sudah kalian lakukan!” desak Maureen. “Aku tidak tahu apa yang sudah aku lakukan karena aku tidak sadar, Maureen. Aku mabuk. Itulah sebabnya aku menghubungimu, karena aku ingin bertanya sesuatu.” “Kamu ingin bertanya tentang apa, Jess?!” Sejenak Jesslyn terdiam sebelum melanjutkan. Wanita itu menarik napas dalam dan menghembuskan perlahan, “Saat kamu pertama kali melakukan hubungan intim dengan Kak Leon, apakah itu terasa sakit bagimu?” tanyanya dengan nada serius. “Astaga, tentu saja sangat sakit, Jess! Bahkan aku hampir tidak bisa berjalan. Apalagi milik Leon sangat besar, sebesar lenganku,” balas Maureen. Wanita itu tidak pernah berubah, dan masih bertingkah konyol seperti biasanya. “Sudahlah, Maureen, kamu tidak perlu membeberkan ukuran suamimu, aku tidak tertarik mendengarnya!” bentak Jesslyn dengan sangat kesal. Maureen terkikik geli di ujung telepon. “Baiklah, baiklah. Jadi, bagaimana denganmu sekarang? Kalian melakukannya berapa kali?” tanya Maureen, kali ini suaranya terdengar lebih serius dari sebelumnya. “Aku tidak merasakan apapun pada milikku. Maksudku, milikku tidak sakit sama sekali. Apa itu artinya kami tidak melakukan apapun?” tanya Jesslyn. “What? Kamu serius, Jess? Apa benar ada laki-laki yang menyia-nyiakan kesempatan seperti itu?” “Aku bingung, Maureen. Aku tidak tahu, itulah sebabnya aku bertanya kepadamu yang sudah berpengalaman. Tadi aku sempat browsing juga, dan katanya kalau gadis perawan saat melakukan hubungan intim pertama kali pasti rasanya sangat sakit. Dan masalahnya aku tidak merasakan apapun pada milikku,” jelas Jesslyn. “Artinya kamu belum sempat melakukan apapun dengan pria itu, Jess.” “Kamu serius?” Jesslyn agak ragu. “Iya, kalau memang benar kamu tidak merasakan apa-apa pada milikmu, artinya kamu masih aman. Atau kamu bisa mencoba ke rumah sakit untuk memeriksanya langsung. Aku rasa itu jauh lebih baik, kamu akan mendapatkan hasil yang akurat, Jess, daripada hanya menerka-nerka seperti ini.” Sejenak, Jesslyn tampak berpikir mempertimbangkan usul dari Maureen. “Hm, kamu benar juga, mungkin sebaiknya aku periksa ke rumah sakit,” ujarnya akhirnya. “Dan ngomong-ngomong, kamu melakukan hubungan intim dengan siapa, Jess?” tanya Maureen penasaran. “Aku tidak tahu, Maureen. Bahkan aku tidak sempat melihat wajahnya, karena saat aku bangun, aku tidak menemukan pria itu di sampingku,” jawab Jesslyn dengan jujur. “Oh, iya? Jadi pria itu langsung pergi sebelum kamu bangun?” Maureen agak terkejut mendengarnya. “Sepertinya begitu,” Jesslyn mengedikkan bahu, cuek. “Jess, apa jangan-jangan anak buah Daddy Grey mengikutimu lalu menyeret pria itu saat dia hendak melakukan sesuatu padamu?” tereka Maureen di ujung telepon. Sejenak, Jesslyn terdiam tampak memikirkan terkaan Maureen. “Mengapa pikiranmu langsung tertuju pada Daddy Morgan?” tanya Jesslyn, penasaran sekaligus takut. “Astaga, Jesslyn, tentu saja pikiranku langsung tertuju padanya. Kita semua tahu, ‘kan bagaimana pengawasan Daddy Grey pada kita semua. Dulu saja, saat aku bersama Leon, yang memberitahu Kak Gabriel, ‘kan Daddy Grey. Kamu pikir siapa lagi. Daddy Grey itu seperti bukan manusia saja, dia seperti hantu, tahu segalanya. Kadang aku bersyukur karena suamiku tidak seperti Daddy Grey. Aku tidak ingin hidupku seperti burung dalam sangkar emas seperti Mommy Cel-cel,” cerocos Maureen dengan berlebihan. Jesslyn mendesah kasar ketika mendengar Maureen mulai ngawur, hingga akhirnya ia memutuskan sambungan telepon tanpa berpamitan terlebih dahulu pada wanita itu. Dengan napas kasar, Jesslyn bangkit dari duduknya dan menyimpan ponsel ke tempat semula, di atas nakas. Ia bergerak menuju walk in closet, memakai pakaian lengkap. “Sepertinya tidak ada salahnya aku mengikuti saran Maureen tadi. Aku periksa saja ke dokter supaya lebih jelas, dan aku tidak perlu menerka-nerka seperti ini,” monolog Jesslyn pada diri sendiri saat kembali memikirkan usul dari Maureen tadi. *** Sementara itu, di Mansion DeVille, Gerald berada di dalam ruang kerjanya bersama Carlos, sang asisten. Di atas meja di depannya terletak sebuah map berwarna coklat yang diserahkan oleh Carlos sebelumnya. Dengan gerakan tegas, Gerald meraih map tersebut dengan sebelah tangan dan menariknya lebih dekat ke depannya. Tanpa berkata sepatah kata pun, Gerald mulai membuka map tersebut dan mengeluarkan beberapa lembar kertas yang ada di dalamnya. Dengan kedua mata coklatnya yang tajam, Gerald menatap kertas-kertas tersebut dengan penuh perhatian. Ia membaca dengan seksama hingga detik berikutnya, seringai iblis seketika muncul jelas di wajahnya. “Asisten Manager Marketing,” Gerald bergumam sambil mengangguk pelan. Ia terkekeh pelan, menunjukkan kepuasan atas informasi yang baru saja diketahuinya sore ini. Kemudian, Gerald beralih pada kertas yang lain dan membacanya dengan seksama seperti sebelumnya. Setelah itu, ia mengangkat wajahnya dan menatap lurus pada Carlos yang duduk di hadapannya. “Salah satu aset penting Fortuna Branding Company, benar?” tanya Gerald. “Ya, Anda benar, Tuan,” jawab Carlos. Gerald mengangguk pelan sebagai respon atas jawaban Carlos. “Setelah ini, atur pertemuanku dengan Moren,” ucap Gerald memberikan perintah kepada Carlos. Moren yang dia maksud adalah seorang pria yang tidak lain adalah CEO Fortuna Branding Company. Moren Octavianus. “Baik, saya akan segera menghubungi Tuan Moren,” sigap Carlos menyanggupi perintah sang mafia. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD