BAB 8| Bertemu Kembali

2040 Words
*** Tiba di gedung apartemen yang merupakan tempat tinggal Abigail, sang Mafia dengan hati-hati memarkirkan mobilnya di basement. Setelah mesin kendaraannya dimatikan, ia mengendurkan seatbelt dan dengan gerakan gesit membuka pintu sebelum turun dengan langkah mantap. Dengan sorot mata yang dingin dan tajam, sang Mafia melangkah dengan langkah pasti menuju lift yang akan membawanya naik ke lantai tempat unit apartemen Abigail berada. Tiba di depan lift, sang Mafia menekan tombol dengan tegas hingga pintu lift terbuka lebar. Dengan langkah mantap, ia masuk ke dalam dan dengan cepat menekan salah satu tombol dengan lembut. Pintu lift pun tertutup rapat dan mulai bergerak naik ke lantai yang dituju. Ting! Suara halus dari bel lift terdengar saat pintu kembali terbuka lebar. Dengan sorot mata yang tajam, sang Mafia melangkah keluar dari lift dan bergerak menuju unit apartemen Abigail dengan langkah yang ringan. Tiba di depan pintu, sang Mafia mendekatkan wajahnya ke sebuah alat canggih yang terletak di sebelah pintu. Alat tersebut merekam dengan cermat kedua sorot mata sang Mafia, dan pintu pun terbuka secara otomatis. Suara derap langkah sang Mafia memecah kesunyian di dalam unit apartemen yang sepi. Dengan langkah hati-hati, ia menyusuri ruang demi ruang menuju kamar utama. Dengan tangan yang lebar dan kokoh, sang Mafia menggenggam tuas pintu sebelum menekannya dengan mantap dan mendorong pintu hingga terbuka lebar. Ceklek! Dengan sorot mata tajam, ia memandang ke arah ranjang dan menemukan Abigail, sang gadis, duduk bersandar pada headboard. "Gerald..." Abigail terkejut melihat kehadiran sang Mafia, Gerald DeVille. Dengan cepat, ia meletakkan ponselnya yang sejak tadi menyita seluruh perhatiannya dan beralih fokus pada sosok tampan dan perkasa yang menghadiri. Gerald memasuki kamar, melangkah menuju ranjang, dan setelah menutup pintu dengan rapat, ia mendekati Abigail. Berhenti di sisi ranjang, dia memperhatikan gadis itu. Gerald memperhatikan perban di pergelangan kaki kiri Abigail dan beberapa luka lebam di sekitar wajahnya. "Gerald... Aku pikir kamu tidak akan datang. Aku menghubungimu berulang kali tapi kamu mengabaikanku," ucap Abigail sambil menatap kesal pada Gerald yang masih tegak berdiri di tempatnya. Sang Mafia berdiri gagah, tangan masuk ke dalam saku celananya. "Jangan pernah, sesekali kau mendesak mereka untuk membawamu ke markas ku," ucap Gerald dengan nada dingin, memilih untuk membahas topik lain seolah-olah tak peduli dengan kondisi Abigail saat ini. Mengerutkan kening, Abigail menyatakan, "Bahkan kamu tidak menanyakan keadaanku terlebih dahulu?" Ekspresinya penuh dengan ketidakpercayaan saat dia menatap sang Mafia. “Dengarkan apa yang aku katakan dan jangan pernah membantahku!” tegas Gerald sambil menatap dingin Abigail, tanpa memperdulikan kedua mata gadis itu yang mulai berkaca-kaca. “Segala kebutuhanmu telah aku penuhi. Uang, tempat tinggal, kemewahan— semuanya kau dapatkan dengan mudah. Jadi... Yang perlu kau lakukan cukup buka kedua pahamu lebar-lebar untukku tanpa menuntut apapun!” Sergah sang Mafia begitu kejam. Deg! Abigail menelan saliva dengan susah payah, hanya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering begitu ia mendengar sarkasme dari Gerald. Meskipun apa yang diucapkan oleh pria itu merupakan kenyataan, hati Abigail tetap terasa sakit ketika dia kembali dihadapkan pada fakta bahwa dia tak memiliki hak apapun terhadap sang Mafia. Dia hanya dijadikan sebagai pelampiasan nafsu, atau lebih tepatnya wanita penghangat ranjang sang Mafia. Kesepakatan itu terjadi atas persetujuan dirinya sendiri. Abigail telah setuju menjadi sugar baby sang Mafia dengan imbalan mendapatkan semua kemewahan yang diinginkannya. Namun, tanpa disadari, seiring berjalannya waktu, Abigail mulai melibatkan perasaannya. Tanpa bisa mengendalikan, rasa cinta pun tumbuh di dalam hatinya untuk sang Mafia, mengakar dalam-dalam. Ketika Gerald kembali mengingatkan Abigail akan posisinya dalam hidup sang Mafia, tidak dapat dipungkiri bahwa hati Abigail terasa sangat sakit. Namun, semua itu merupakan kenyataan yang harus ia terima, suka atau tidak. "Aku mendesak mereka karena aku ingin bertemu denganmu. Aku menghubungimu, tapi kamu mengabaikan panggilan teleponku. Aku hanya ingin memberitahu kepadamu bahwa ada orang yang menyakitiku sampai aku seperti sekarang. Wajahku terluka, kakiku terkilir. Aku hanya ingin memberitahumu tentang itu, Gerald," ucap Abigail sambil menatap Gerald dengan air mata yang berlinang di kedua matanya. “Lantas apa yang kau harapkan setelah memberitahuku?” tanya Gerald sambil mengangkat sebelah alis. “Tentu saja aku ingin kamu memberi hukuman setimpal pada orang itu karena dia sudah berani membuatku seperti ini,” jawab Abigail dengan penuh percaya diri. Sang Mafia sontak terkekeh pelan, menarik pandangannya dari Abigail dan menatap ke sekeliling kamar. Detik berikutnya, ekspresi serius kembali terlihat di wajahnya. "Mengapa kau begitu percaya diri jika aku akan memberi pelajaran pada orang yang membuat masalah denganmu?" tanya Gerald, mempertanyakan niat Abigail. Kali ini, Abigail sungguh bingung, membuat keningnya berkerut. "Apa maksudmu?" tanya Abigail dengan raut wajah penuh kebingungan. "Bukankah selama ini kamu juga seperti itu. Bahkan kamu tidak akan segan membunuh siapapun yang ingin berbuat kurang ajar kepadaku," tambahnya, mencoba mengingatkan Gerald pada perilaku sang Mafia yang kejam. "Hem," Gerald berdehem singkat sambil mengangguk pelan berulang kali sebelum ia melanjutkan, "kau benar, tapi tidak kali ini." "Kenapa tidak? Apa alasannya, Gerald?" tanya Abigail dengan nada penasaran. "Karena dia adalah gadisku!" ungkap Gerald tegas. Deg! Abigail menatap Gerald dengan tatapan tak percaya, berusaha untuk mengabaikan jawaban sang Mafia. Namun, setelah sesaat, ia menarik pandangan dari Gerald, menatap ke arah lain sambil menggelengkan kepala. "Mungkin kamu terlalu lelah sehingga apa yang kamu sampaikan sama sekali tidak jelas," ucap Abigail dengan nada ragu. "Jangan pernah berurusan lagi dengannya. Apalagi kau dengan sengaja mencari masalah dengannya," tegas Gerald, membuat Abigail beralih menatap padanya dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan kekhawatiran. "Kamu sungguh membela wanita itu?" tanya Abigail dengan tatapan nanar, mencoba mencerna pernyataan Gerald. "Yeah, karena gadis itu adalah milikku," jawab Gerald dengan tegas. "Gerald, hentikan lelucon ini!" seru Abigail, mulai merasa gelisah dengan situasi yang semakin rumit. "Jangan sesekali kau mengusiknya, karena kalau tidak, maka urusanmu dengan aku, bukan dengannya," tegas Gerald. Dia mendekat dan merendahkan punggungnya, berpegang pada pinggir sandaran ranjang dengan satu tangan. Tangan yang bebas meraih dagu Abigail, mengangkat wajah gadis itu dengan lembut hingga tatapan keduanya bertemu. "Aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku, Abigail. Gadis yang barusan kau temui di cafe itu adalah milikku! Dia adalah gadisku! Jadi berhenti mencari masalah dengannya, dan jangan sekali-kali kau berfikir untuk merencanakan sesuatu padanya," ucap Gerald dengan suara yang tenang namun penuh keputusan. "Karena kalau kau sampai nekat melakukan itu, maka aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu!" ucap Gerald dengan suara yang penuh ancaman. Deg! "Kau dengar? Aku tidak akan ragu menghabisi nyawamu jika keberadaanmu mengusik ketenangannya. Jadi, jika kau masih ingin hidup lebih lama di dunia ini, ikutilah apa yang aku katakan. Jika di lain waktu kau bertemu dengannya, maka kau wajib mengunci bibir ini," ujar sang Mafia, sambil mengusap sensual bibir tebal Abigail menggunakan ibu jarinya. "Jangan katakan apapun padanya, apalagi kau sampai mengungkapkan siapa dirimu padanya. Sugar baby!" desis Gerald, suaranya terdengar berat. "Jangan buat dia cemburu, karena kalau tidak, bukan hanya kau yang akan mati dilenyapkan olehnya, tapi juga aku. Kau dengar? Jangan usik gadisku, Abigail!" tambahnya dengan suara serak dan tegas. Gerald menjauhkan tangannya dari dagu Abigail dan kembali menegakkan tubuhnya. Kini air mata menetes dari kedua mata Abigail di pipi, namun kesedihannya tidak membuat sang Mafia merasa iba atau bersalah. Justru pria itu menatapnya dengan tatapan dingin. "Setelah 2 tahun kita bersama, aku pikir ada sedikit rasa cinta yang kau berikan untukku," ucap Abigail dengan suara bergetar. "Sayang sekali, Abigail, aku hanya mencintai gadisku. Dan sedikit saran dariku untukmu, sebaiknya kau ingat-ingat lagi bagaimana awal mula sampai kau berada di posisi saat ini," kata Gerald sambil melangkah mundur, sebelum membalikkan tubuh dan melangkah menjauh dari ranjang. "Pulihkan tubuhmu dan sembuhkan semua luka yang kau punya. Karena aku tidak akan berhasrat jika dilayani oleh wanita cacat," ujar sang Mafia dengan kejam, di tengah langkah menuju pintu sebelum akhirnya keluar dari kamar Abigail, meninggalkan gadis itu yang kini terisak pilu. Abigail menangis, meremas dadanya yang terasa sesak dan memilukan. Selama ini ia berharap akan dicintai oleh Gerald, namun ternyata pria itu justru mencintai wanita lain. Dan sungguh Abigail terkejut ketika mengetahui bahwa gadis yang membuatnya babak belur seperti sekarang ini adalah gadis yang dicintai oleh Gerald. Abigail merasa dunia begitu sempit hingga tanpa sengaja ia justru berurusan dengan wanita yang dicintai oleh pria yang dia cintai. ‘Aku tidak akan menyerah, Gerald. Aku yakin pasti ada tempat dihatimu untukku. Aku tidak peduli dengan wanita itu. Dan mulai sekarang, aku akan berusaha menarik perhatianmu dan membuatmu jatuh cinta kepadaku,’ bisik Abigail dalam hati, dengan tekad yang teguh. *** Satu minggu kemudian… Hari ini Jesslyn terlambat bangun lantaran semalam ia begadang karena keasyikan ngobrol melalui video call dengan keluarganya yang berada di Wellington, New Zealand. Ketika ia bangun dan melihat jam menunjukkan pukul 07.00 pagi, membuat gadis cantik itu terkejut. Jesslyn langsung melompat dari ranjang dan berlari menuju kamar mandi. Dengan cepat, ia membasuh tubuhnya kemudian setelah selesai, ia segera bersiap-siap di dalam walk-in closetnya. Ketika sudah rapi, gadis cantik itu pun dengan segera meninggalkan apartemen tanpa memperdulikan perutnya yang masih kosong. Pagi ini ia terpaksa melewatkan jatah sarapan paginya dan hanya sempat mengisi perut kosongnya dengan air putih saja. Beruntung, pagi ini jalanan kota tidak begitu padat sehingga Jesslyn tiba di kantor tepat waktu. Jesslyn berlari dari tempat parkir menuju lobby tanpa memikirkan bahwa ia bisa saja terjatuh karena menggunakan heels. Dengan napas terengah-engah, Jesslyn disambut oleh kedua sahabatnya, Nova dan Livi di lobby. “Makanya, Jess, lain kali kamu tidak perlu mematikan ponselmu ketika kamu hendak tidur, supaya kalau kamu terlambat bangun, aku bisa menghubungimu atau Nova yang melakukannya,” ujar Livi memberi saran kepada sahabatnya, Jesslyn. Jesslyn menghela napas. “Aku pun tidak menyangka kalau alarm yang aku pasang tidak berhasil membangunkanku, padahal volumenya sangat kencang sekali.” Gadis itu menjeda sambil mendesah kasar. "Beruntung pagi ini di jalan tidak begitu padat,” tambahnya dengan rasa lega. “Dan pastinya kamu tidak sempat sarapan, ‘kan?” tebak Nova. Jesslyn beralih menatap sahabatnya sebelum menggelengkan kepala. “Aku hanya minum air putih, tapi sudahlah tidak apa-apa, lagipula aku tidak begitu lapar.” “Ya, meskipun kamu tidak lapar, tetap saja, Jess, sarapan itu penting. Kalau perutmu dalam keadaan kosong sampai siang hari, yang ada kamu akan mual dan pusing,” timpal Livi penuh perhatian. Jesslyn mendesah pelan. “Kita lihat saja nanti, lagian kalau aku sarapan sekarang, waktu tidak akan cukup,” ucapnya. Nova mengangguk. “Iya, dan mungkin sebentar lagi Presiden Direktur Fortuna Branding Company akan tiba,” ucapnya. “Uh, aku jadi tidak sabar ingin melihat sosok Presiden Direktur kita!” timpal Livi dengan wajah berbinar. Jesslyn dan Nova saling melirik, dan keduanya hanya menghela napas lelah. Mereka merasa lelah dengan tingkah polos sahabat mereka. Selama seminggu terakhir, tiada hari tanpa Livi membicarakan tentang Presiden Direktur Fortuna Branding Company. Terlebih lagi, setelah pihak perusahaan mengumumkan melalui departemen komunikasi bahwa Presiden Direktur akan tampil di publik hari Senin ini, Livi semakin terlihat heboh dan bersemangat. Kemudian, dengan langkah mantap, Jesslyn, Livi, dan Nova melangkah ke arah kubikel masing-masing, siap untuk memulai aktivitas pagi ini. *** Beberapa saat kemudian, mobil mewah sang Presiden Direktur berhenti di depan lobby kantor dengan mantap. Para karyawan segera diperintahkan untuk berbaris rapi di lantai dasar, siap untuk menyambut kedatangan sang pemimpin Fortuna Branding Company. Mereka menata diri dengan teratur, siap untuk mengungkapkan sambutan hangat dan hormat kepada sang pemimpin yang ditunggu-tunggu. Suasana tegang dan haru terasa di udara, sementara antusiasme para karyawan terpancar jelas dari ekspresi mereka yang penuh semangat. "My God! Mobilnya sungguh mewah, Jess!" pekik Livi dengan suara tertahan, sambil mengintip ke arah lobby. Jesslyn mendengus, merasa semakin jengah dengan tingkah sahabatnya. Ketika sang Presiden Direktur turun dari mobil, wajahnya terlihat dingin dan tanpa ekspresi yang jelas. Sorot matanya yang tajam dan tatapannya yang dingin memberikan kesan kejam dan mengintimidasi. Dengan langkah mantap dan tanpa ragu, sang Presiden Direktur melangkah menuju pintu masuk kantor, disambut oleh sorak-sorai dan tepuk tangan dari para karyawan. Di tengah langkah ringan, sang Presiden Direktur tiba-tiba melemparkan sorot tajam pada salah satu karyawan, gadis cantik yang tak lain adalah Jesslyn. Tatapan mereka bertemu, menciptakan momen yang sarat dengan ketegangan di udara. Deg! Jesslyn merasa detak jantungnya berdegup kencang saat bertatap langsung dengan sang Presiden Direktur. ‘Dia... G-Gerald? F*cking shitt!’ umpat Jesslyn dalam hati, merasa terkejut. 'My God! Bagaimana mungkin dia adalah pemilik perusahaan ini?!' gerutunya dalam hati semakin cemas. Tatapan Jesslyn terus terpaku pada sosok yang dulu pernah dikenalnya. Sementara itu, sang Presiden Direktur terkekeh dalam hati, ‘I'm back, baby Jess!’ ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD