Malam Berdarah

1687 Words
Ada luka yang tak bisa kita obati Meski sekuat apa pun kita menutupi. Namun kita baru tersadar saat luka itu Menjadikan kita tak wajar. Brian Vincent, baru saja menapaki kakinya di kediamannya Green Village. Setelah memarkirkan mobil, lelaki itu langsung memasuki rumahnya. Ruang dapur adalah tujuan utama Brian, dia mengambil kaleng soda di kulkas lalu meneguknya hingga habis. Setelah itu Brian menuju kamarnya yang berada di lantai dua, Brian bersiul di sepanjang anak tangga rumah. Dia membaringkan tubuhnya sejenak lalu melepas pakaian, dia ingin mandi. Aktivitasnya seharian membuat banyak energi terkuras, badannya terasa lengket. Lagi-lagi lelaki itu bersiul, namun setelah dia menghentikan siulan. Siulan yang lain bermunculan membuat Brian kaget. Brian tinggal sendiri, lalu siapa yang bersiul? Batinnya. Bulu kuduknya merinding saat siulan itu makin terdengar jelas. Dia melangkahkan kakinya untuk mengetahui, siapa gerangan yang ada di luar? "Siapa?" serunya. Brian celingak-celinguk namun tak ada apa pun di luar kamar. Tak ada jawaban, sunyi seperti biasa. Posisi benda tak ada yang bergeser dari tempatnya. "Mungkin aku hanya berhalusinasi," ucapnya. Lalu segera memasuki kamar mandi. Namun siulan itu kembali terdengar, seketika bulu kuduknya merinding. Brian mengurungkan niatnya untuk mandi dan mencoba mencari sumber suara. Lelaki itu mengambil sebuah tongkat bisbol untuk berjaga-jaga. "Hei, siapa di sana?" teriaknya. Brian menuruni anak tangga, menyusuri setiap ruangan sambil bersiaga dengan tongkatnya, namun tidak ada tanda-tanda kehidupan selain dirinya. dia menyimpan kembali tongkat bisbol-nya kemudian berlari ke kamar saat nada dering ponsel berbunyi. Brian mengangkatnya, namun tak ada jawaban dari si penelpon. Lagi-lagi ponselnya berdering tapi saat lelaki itu mengangkatnya tak ada yang menjawab. Begitu seterusnya. Hingga membuat dia geram. "Halo, berhentilah menganggu. s**t!" umpatnya. Saat Brian ingin mematikan ponselnya, tiba-tiba terdengar suara penelpon. "Halo, Brian!" Suara itu terdengar sangat lembut. "Iya, saya Brian. Kau siapa?" tanya Brian tak tenang. "Berbaliklah, maka kau akan tahu siapa aku," jawabnya. Brian berbalik, matanya membulat saat menangkap sosok yang berdiri tepat di pintu kamarnya dengan pakaian hitam. Lalu ponsel yang berada di tangannya seketika terjatuh melihat sosok itu memegang sebuah pisau yang dipenuhi darah. Brian melangkah mundur, saat sosok itu mulai mendekat. dia tak bisa melihat wajah sosok itu dengan jelas, wajahnya tertutupi dengan penutup kepala. Cahaya lampu yang temaram menyulitkan lelaki itu untuk mengenali sosok yang ada di hadapannya. "S...iapa Kau?" Brian gugup, tangannya mencoba meraih benda. Namun tak ada yang bisa di raihnya. "Aku, hahaha... "Aku datang untuk mengirimmu ke neraka." Tawa sosok itu menggema di setiap ruangan. Brian panik, Dia mencoba mengambil bantal lalu melemparkannya ke sosok itu. Namun bukannya berhenti sosok itu makin mendekat dan mengacungkan pisaunya ke arah Brian. Pisau itu hampir mengenai kakinya, jika saja lelaki itu tidak mendorongnya. Sementara Sosok itu terpental ke dinding, Brian dengan cekatan berlari keluar namun kakinya tertahan hingga membuat dia terjatuh. "Lepaskan, aku!" Brian menendang, membuat sosok itu kembali terpental. Brian bangkit dan kembali berlari, namun saat dia ingin keluar dari rumah. Pintunya terkunci, lelaki itu dengan cepat menuju ke dapur dan bersembunyi di bawah meja. Brian benar-benar ketakutan, dia menyumpal mulutnya sendiri saat suara menakutkan kembali terdengar memanggil namanya. "Brian, Kau ada dimana, sayang?" panggilnya, terdengar Sosok itu menendang barang-barang yang ada di rumah Brian. "Kau ingin main petak umpet, yah? Itu permainan anak kecil, sayang. Bagaimana kalau kita bermain di ranjang saja? Mungkin akan lebih menarik, jika aku mendengar desahanmu." Sosok itu kembali berucap, Brian memejamkan matanya berdoa agar Tuhan mau menolongnya. Namun ternyata, harapannya tak sesuai karena sosok itu telah menemukannya. "Halo, Brian!" Mata Brian membulat, suara itu bagai pisau yang menghujat jantungnya. Terasa menakutkan, tangannya menarik kaki lelaki itu untuk keluar. Brian meronta, Dia berusaha melawan. Tapi kekuatan sosok itu sangat kuat. Dia membanting tubuh Brian hingga terpental ke dinding membuat foto yang terpajang, jatuh ke lantai. Lelaki itu kembali melawan, Dia melemparkan benda yang ada di dekatnya ke arah Sosok itu namun semua meleset. "Jangan melawanku, Sayang! Kau tak akan menang," Sosok itu memperingati Brian, dia mendekat sehingga lelaki itu kelabakan. Dirinya benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Rasanya ingin berteriak tapi Brian tahu itu percuma saja. Dia kembali mendorong sosok itu, tapi yang terpental malah tubuh Brian. Lelaki itu memegang lengannya, yang terkena goresan benda tajam. Tak berapa lama, lelaki itu tampak tak sadarkan diri. *** Brian membuka matanya perlahan-lahan. Mencoba mengumpulkan tenaganya namun rasa sakit di kepalanya begitu menyiksa. Lelaki itu mencoba bergerak namun kaki dan tangannya terikat, Dia melihat sekelilingnya yang serba putih. Hanya ada meja dan kursi di sampingnya. "Tolong, Siapa pun kau? Dia ingin membunuhku, kumohon!" Suaranya begitu parau. "Apa kau memanggilku, Sayang?" Terdengar suara dari belakang, seorang wanita dengan ketukan high heels-nya yang terdengar begitu jelas. " Tolong Aku, kumohon!" pintanya Brian dengan raut wajah yang menyedihkan. "Astaga, Siapa yang mengikatmu seperti ini?" tanya wanita yang kini berdiri di hadapannya. Raut wajah wanita itu tampak kaget, saat dirinya berhadapan dengan Brian. "Aku tidak tahu, tapi orang itu mencoba membunuhku. Tolong, lepaskan Aku!" Brian memelas meminta pertolongan. "Tentu, Aku akan menolongmu. Jahat sekali orang itu!" ucapnya. Wanita itu mencoba melepas ikatan Brian. "Terima kasih, mmm...?" Ucapan lelaki itu tertahan. "Namaku, Alea!" "Alea?" tanya Brian, sepertinya nama itu tak asing baginya. Tapi untuk saat ini, dia tak ingin memikirkan apa-apa yang paling penting adalah dirinya bisa lepas dari cengkraman mahluk menakutkan. "Kenapa? Apa ada yang salah dari namaku?" Alea tak menjawab namun malah bertanya kembali bahkan wanita itu menengok untuk memperjelas pertanyaannya. "Tidak!" jawabnya singkat. "Hahaha..." Alea berhenti membuka ikatan tali itu. "Kenapa Alea?" tanya Brian, Dia mencoba menengok ke belakang namun tangan dan kakinya masih terikat sangat kuat. "Apa kau berpikir, aku akan melepaskanmu?" Bibir Alea tersungging. "Apa maksudmu?"balas Brian. "Kau terlalu bodoh, Sayang! Bagaimana mungkin aku melepaskanmu?" Alea membelai pipi Brian dengan pisau, dan membisikkan sesuatu dari belakang tepat di telinga lelaki itu. "Aku akan membawamu ke neraka, Sayang!" Suara itu terdengar lembut tapi mampu membuat Brian bergidik ngeri. Alea duduk di pangkuan Brian sambil menggesekkan b****g sexy-nya sehingga tubuh bagian bawah lelaki itu menegang. "Hahah, Wow. Kau menegang? Apa kau meminta untuk dipuaskan, Sayang?. "Tentu, pisau ini akan memuaskanmu," tambahnya. Alea tertawa puas, tapi Brian malah meludahi wajah gadis cantik itu sehingga membuatnya geram. "Kau benar-benar ingin bermain-main denganku." Alea menyumpal mulut Brian dengan kain, lelaki itu meronta. Tapi percuma saja, hsl itu hanya membuat tenaganya terkuras. "Baiklah, kita mulai dari tangan ini," ucapnya sembari mengelusnya dengan pisau dari atas ke bawah. Pisau itu menyayat sedikit kulit tangan Brian, lelaki itu lagi-lagi meronta menahan sakit. Kemudian benda itu beralih menguliti tangan Brian perlahan-lahan. Air matanya lolos begitu saja. Tentu, tak akan ada yang bisa menahan rasa sakitnya. "Jangan menangis, Sayang!" ucap wanita itu iba. Namun keibaannya itu hanya kebohongan belaka, Alea melanjutkan aksinya. Erangan demi erangan keluar dari mulut Brian yang tersumpal. Perlahan-lahan kulitnya terlepas sehingga yang terlihat hanyalah serat-serat kulit terdalam Brian serta cairan warna merah pekat yang membalutinya. Belum cukup penderitaan lelaki itu, Alea kembali mengambil sesuatu berwarna putih dari laci meja yang ada di sampingnya. Brian semakin meronta, saat melihat barang itu adalah garam. dia tahu apa maksud Alea. Tidak! Kenapa perempuan ini begitu gila? Batinnya. Mmpphh... Alea tersenyum evil sembari menaburi garam di tangan lelaki itu. "Tanganmu ini harus dihukum, sayang!" Alea menaburkan kembali garam di tangan Brian, lelaki itu terjatuh di lantai bersama dengan kursinya. Tubuhnya meronta kesakitan. Alea mencabut sumpalan kain dari mulut Brian, bersamaan dengan itu teriakan yang sedari tadi di tahannya keluar begitu saja mengisi ruangan kedap suara ini. "Arghhh...." Lalu teriakan demi teriakan kembali terdengar saat high heels Alea menginjak tangan Brian. Lagi-lagi lelaki itu tak sadarkan diri. *** Setelah hampir satu jam, Brian tak sadarkan diri. Akhirnya Dia terbangun, bukan saja rasa sakit di kepalanya. Namun tangannya yang begitu mengerikan sangat perih. Bagaimana mungkin Dia akan bertahan dalam kondisi seperti ini? Bahkan Brian tak sanggup melihat tangannya yang hampir tak berbentuk, begitu menjijikkan. "Alea, Lepaskan Aku. Apa maumu?" teriak Brian. "Alea... kau dimana, berengsek?" Sekuat tenaga Brian berteriak tapi tetap saja, orang yang dipanggilnya tak menyahut. "Aku tak mengenalmu, lalu kenapa Kau ingin membunuhku?" teriaknya lagi. "Kau tak mengenalku Brian, tapi aku mengenalmu dengan baik." Suara Alea terdengar dari belakang, wanita itu kemudian duduk di hadapan Brian dengan santainya. "Kumohon Alea, lepaskan aku?" pintanya. "Tepat, seperti James!" "Kau mengenal James?" tanya Brian. "Tentu, bahkan di saat terakhirnya. Betapa James, terus memohon," ucap wanita itu seakan mengejek. "K...au--?" "Bingo, tak perlu diteruskan. Aku tahu apa yang ingin kau ucapkan," potongnya "Aku yang membunuhnya," bisiknya. Raut wajah Brian memucat. "Tidak, Aku belum mau mati. Alea kumohon, biarkan aku tetap hidup." pintanya lagi. "Hahaha, Alea. Kau memanggilku, Alea?" tanyanya. Alea mengacungkan pisaunya ke arah d**a Brian. "Singkirkan pisau itu! kita bisa bicara baik-baik, Alea," tawarnya. "Alea, Alea, Alea. Apa kau bodoh? Aku bukan Alea," bentaknya. "Lalu kau siapa?" "Aku bosan mendengar pertanyaanmu, Brian," ujarnya. Alea lalu mengambil sebuah foto, dan meletakkannya di hadapan Brian. "Kuberi kau waktu dua menit untuk melihat dengan baik foto ini," ucapnya. Alea berlalu dari hadapan Brian sementara dia terus mengingat, siapa gerangan wanita yang ada dalam foto ini? Sebuah kepingan di masa lalu, membuatnya tersadar. "ALEA!" Suara Brian terdengar kaku saat menyebut nama 'Alea' bersamaan dengan itu, wanita yang disebut Alea muncul memegang sebuah gergaji. Tanpa berkata wanita itu mendekat dan mengergaji kaki Brian, sehingga membuat percikan darah di wajah Gadis itu. Lelaki itu berteriak dengan kencang, ini begitu menyiksa dirinya. Belum sembuh rasa sakit di tangannya, Gadis ini malah menambah luka lagi dan sasarannya adalah kaki Brian. Gadis ini benar-benar psikopat, bahkan hatinya seperti sudah tertutup. Tak ada rasa kasihan saat mendengar rintihan lelaki itu. Gadis ini malah tertawa kesetanan. "Bagaimana rasanya? Sakit?" tanyanya. Brian tak bisa menjawab, kondisinya benar-benar melemah. "Jawab, Bodoh." teriaknya. "Kau harus tahu rasanya diperlakukan seperti binatang, bukankah sangat menyakitkan?" ucapnya Gadis itu makin menggila, Dia mengambil pisau kecil lalu mengukir sebuah nama tepat di d**a Brian. Tak ada perlawanan dari sang lelaki, hanya rintihan kesakitan yang keluar dari bibirnya yang semakin memucat. "A, untuk rasa sakit. "L, untuk penghinaan. "E, untuk ketidakberdayaan dan A, untuk kematian." "A-L-E-A!" Gadis itu tersenyum, sebuah senyum kebencian. "Sepertinya, Aku harus segera mengantarmu ke neraka. Lihatlah, betapa lemahnya dirimu!" Dan dengan sekali tusukan, Brian menghembuskan nafas terakhirnya. Siksaan yang dialaminya benar-benar kejam, Gadis ini menancapkan pisaunya berulang kali. Seperti tak ada kepuasaan. "Mati kau..mati kau..." Gadis itu berdiri, Brian sudah tak bernyawa tapi kenapa rasanya tidak cukup. Bibirnya sedikit tersungging, kemudiaan perlahan-lahan Gadis itu membuka topeng yang melekat di wajahnya. "Tenang, Brian. Kupastikan kau tak sendiri, karena Aku akan membawa teman untuk menemanimu di neraka. Hahaha!" ucapnya. Gadis itu meninggalkan mayat Brian, tanpa menoleh sedikitpun. Tak ada ketakutan dalam dirinya, yang ada hanya dendam yang terus menggema di relung hatinya. Entah rasa sakit apa yang sedang dialaminya. Tapi perlakuan kejinya bukanlah hal yang pantas dilakukan oleh seorang gadis sepertinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD