Bagian 16 : Kegaduhan di Alam Gaib

1311 Words
Berita yang tengah beredar di kalangan bangsa lelembut ternyata benar. Perawakan berbeda ada pada bayi Harsa dan Layung. Pada akhirnya, Lunara bertemu dengan keponakannya, Rega. Dia mendapati Harsa membawa Rega datang menemuinya. Entah sudah berapa lama dia terpasung dalam seutas tali bermantra ayahnya. Namun, hal terpasti adalah kekuatan sihirnya serasa semakin melemah. Sebab, dia sudah menguras banyak tenaga agar bisa terlepas. "Apakah Rakayu tidak apa-apa?" tanya Harsa mengkhawatirkan Lunara. "Adikanda, tolong aku. Aku sudah kehilangan banyak tenaga karena mantra Rama." Lunara memelas, menunjukkan ketidakberdayaannya agar dikasihani. "Rakayu … percayalah, aku pun tidak memiliki daya untuk melepaskan mantra yang membelenggumu," ungkapnya membuat sang kakak kecewa. Wajah Lunara pun kembali menunjukkan kebengisan. "Lalu untuk apa kau kemari? Ah, aku tahu! Kau ingin menertawakan kekalahanku, bukan? Kau ingin menunjukkan kemenanganmu mendapat hati Rama? Bahkan … kau yang akan mewarisi takhtanya bukan?" "Tidak Rakayu. Aku tidak bermaksud demikian." "LALU?" Lunara meninggikan suaranya. Terdengar pula nadanya menjadi berat. Matanya berubah merah, menujukkan sebuah amarah. "Rakayu! Kendalikan amarahmu. Bukankah kudengar dari para lelembut, kau ingin bertemu dengan keponakanmu? Aku membawa Rega kemari untuk bertemu denganmu." Harsa mendekat memperlihatkan bayinya kepada Lunara. Namun, kakaknya tersebut justru membuang pandangan. "Kau sudah hafal sifatku bukan? Aku datang kemari bukan hanya untuk melihatnya." Harsa terdiam untuk sesaat. Dia tidak ingin hal-hal buruk terjadi. Terpaksa, dia harus mengatakan hal sebenarnya kepada Lunara. "Rakayu … aku ingin memberitahumu sesuatu." Harsa menghela napas, wajahnya menampakkan kepiluan. Dalam satu tarikan napas dia berkata, "Di masa depan nanti, bayi ini akan bertarung denganmu dalam sebuah peperangan." Lunara tersenyum. Dia bertanya, "Siapa pemenang dalam peperangan tersebut?" Harsa menggeleng kepala. "Rama tak memberikan pengelihatan sejauh itu." Tiba-tiba, Lunara menertawakan Harsa. Dia terbahak-bahak akan pernyataan yang diungkapkan oleh adiknya. Baginya, jika ada sebuah perkara masuk ke dalam pengelihatan, maka dia mempunyai waktu untuk mengubah. Hal yang selalu dia lupakan sepanjang hidup yakni, ada beberapa hal dari takdir yang tak dapat disentuh oleh seorang lelembut. "Adakah lelucon yang kau dengar dari setiap kata yang kuucapkan, rakayu?" Harsa mengernyitkan dahi. "Aku merasa konyol mendengar setiap perkataanmu, adikanda. Lantas apa tujuanmu memberitahuku tentang peperangan di masa mendatang itu?" Lunara penasaran, tapi jelas bahwa Harsa pasti mengkhawatirkan putranya. Baginya, kekuatan yang dimiliki tak tertandingi kecuali oleh sang ayah. "Aku mengkhawatirkanmu, rakayu. Dalam pengelihatan yang rama berikan, aku melihat Rega melumpuhkan banyak lelembut untuk menjadi budaknya. Dia juga menumpahkan banyak darah dari prajuritmu." "Adikanda … sebelum putramu membunuhku, aku akan membunuhnya terlebih dahulu. Tidak apa 'kan?" Harsa tak mempercayainya. Dia berharap kalau pernyataannya bisa meredam semua ambisi Lunara agar kelak peperangan itu tak terjadi. Namun, sepertinya semua sia-sia. Takdir yang dilihatnya hanya tinggal menunggu waktu datang. Jadi kemungkinan, Lunara akan terbebas dari seutas tali bermantra yang membelenggunya sekarang ini. Bagaimana dia lepas? Harsa berbalik badan meninggalkan Lunara. Namun, tiba-tiba saja Rega menangis. Suaranya kembali menggemparkan istana dan alam gaib. Perlahan, seutas tali bermantra yang membelenggu Lunara terlepas. Lalu, suara tangisan yang kembali memekik telinga dilumpuhkan oleh sebuah mantra. "Taya ruhi nu mawa sangsara. Ya, gusti saimbangkeun kahuripan." Lunara memejamkan mata dan mengulang mantra tersebut berulang kali. Sebuah mantra yang pernah dirapalkan oleh ayahnya. Dia ternyata memiliki kemampuan untuk merapalkan mantra tersebut untuk bekerja. Sementara itu, Harsa yang merasa kesakitan mendengar tangis dari Rega terjatuh. Dia bertumpu dengan kedua lututnya. Tangan pun tak kuasa lagi untuk menggendong bayi dalam pangkuannya. Tiba-tiba, Lunara mengambil Rega dari Harsa dengan sisa tenaga yang dimiliki. "Aku ingin bermain-main dengan keponakanku." Lunara tersenyum sebelum akhirnya dia pergi membawa Rega. Tak lama kemudian, Danawa datang ke tempat seharusnya Lunara terbelenggu. Namun, di sana hanya ada Harsa yang terbaring lemah. Berkata, "Rakayu telah membawa Rega." "Lunara!" Danawa mengepal. Dia memerintahkan para prajurit untuk mengejar putrinya tersebut. "Tangkap kembali Lunara dan bawa ke hadapanku!" titahnya bersuara lantang. Meskipun dia tahu, bahwa para prajuritnya tidak akan ada yang mampu membawanya kembali. Namun, setidaknya itu cukup mengulur waktu, sementara dia membawa Harsa dan memulihkan kembali tenaganya. ⁂ "Para prajurit bodoh! Apa mereka memang ingin melepas kehidupannya?" Lunara terus menghindar dari kejaran para prajurit Kerajaan Lembahiyang. Dia merapalkan mantra untuk memanggil para lelembut yang menjadi pengabdinya. Lalu, satu per satu dari mereka menghadang para prajurit tersebut. "Berhenti!" Danawa tiba-tiba berada di hadapan Lunara. Dia sudah selesai dengan perkara Harsa. "Mau kau bawa kemana cucuku?" "Aku hanya ingin mengajaknya bermain, Rama. Kenapa kau begitu gelisah?" Lunara diam-diam mengumpulkan ajian dan menyerang ayahnya dalam sekali serangan. "Hia!" Tangannya mengeluarkan sebuah cahaya yang membuat tubuh Danawa terpental. "Anak tak tahu diri! Berani-beraninya kau menyerang ramamu sendiri! Orang yang bahkan telah menjadi gurumu." Danawa menahan sedikit rasa sakit dari serangan putrinya itu. "Hahahaha." Wush … Lunara pergi melintasi udara, meninggalkan Danawa. "LUNARA!" teriaknya. Danawa kemudian duduk bersila memejamkan mata. Dia mencoba menggunakan ilmu telepati untuk berinteraksi dengan putrinya tersebut. Putriku … kumohon kembalikan Rega. Tidakkah kau lihat betapa dahsyat kekuatannya? Bahkan hanya tangisan semata saja. Bukankah, seutas tali bermantraku lepas darimu karena tangisannya? Lunara mendengarnya. Akan tetapi, dia tak mempedulikannya dan tetap membawa Rega pergi. Baiklah Lunara, kau boleh membawa Rega bersamamu. Namun, satu pesan dariku, buanglah semua ambisimu. Agar hal buruk tak menimpamu. Niscaya, apa yang aku lihat tentang masa depan mungkin bisa berubah. Lunara tersenyum miring. Ah, takdir dari pengelihatan ayahnya memang tak akan terjadi. Sebab, Rega akan menemui ajalnya terlebih dahulu. Dunia kemudian berpindah dimensi. Mereka berada di sebuah tebing air mancur di dunia fana. "Keponakanku, aku akan menuntunmu untuk menemui kematian. Buktikanlah, kalau kau adalah seorang bayi yang memiliki kekuatan dahsyat." Lunara mengulurkan Rega agar terjatuh ke dasar sungai dari air terjun ini. Keluarlah sihir dari tangan Lunara untuk menembus tubuh dari bayi Rega. Tujuannya yakni, untuk menembus hati anak tersebut agar mati. Namun, sungguh di luar dugaan bahwa Rega seolah tak menerima seuatu yang membuatnya terluka. Hingga sihir yang digunakan oleh Lunara berbalik. Tangannya merasa panas dan tak mampu menggenggam lagi Rega. Dia pun melepaskannya terjatuh ke dasar air terjun. "b*****h! Apa yang terjadi?" Lunara segera membawa tubuhnya mengapung melintasi jarak agar sampai ke dasar sungai. Tak ada jejak darah seorang lelembut atau tanda-tanda dari keberadaan Rega. Dia pun mencoba menembus setiap pandangan dengan mata batin, tapi hasilnya nihil. Bibir berdecak kesal, ada sedikit kekhawatiran dalam benaknya. Bagaimana jika takdir yang dilihat oleh ayahnya menjadi kenyataan? Adakah hal buruk akan menimpanya? "Ah, sudahlah! Kuanggap bayi itu sudah mati. Sepertinya, aku harus kembali ke Tanah Manbara. Akan sangat membahayakan jika aku kembali ke alam gaib." Lunara lantas meninggalkan tempat tersebut. Dia tidak tahu sudah berapa lama tertawan di alam gaib. Mungkinkah penobatan Babad sebagai Raja sudah terjadi? ⁂ Bayi Rega tak pernah mati. Alam melindunginya dari kematian karena dia seorang Amara. Pengelihatan secara kasat mata dan mata batin Lunara tak dapat menembus keberadaannya. Padahal, Rega tengah mengapung di atas air. Lalu saat Lunara pergi, dia terbawa arus sungai hingga memasuki aliran dari sungai pembatas. "Kakang Agastya, lihat! Apakah itu seorang bayi?" Ratnadewi yang tengah duduk di sebuah batu besar sembari memangku Arunika melihat sesuatu dari kejauhan. Agastya berpaling. Dia pun melihat bayi yang dibawa oleh arus air semakin mendekat. Untuk sesaat, dia menghentikan aktifitasnya dalam mencari ikan. Kedua tangannya kemudian meraih bayi tersebut ketika sudah berada di hadapannya. "Ya Gusti, bayi lelembut?" ungkap Agastya mencium aroma dari tubuh rega. Namun, hal lain yang membuatnya terkejut adalah ciri fisik yang mirip dengan Arunika. Dia pun segera ke tepian menemui Ratnadewi untuk menunjukkannya. "Kakang, itu bayi lelembut?" Ratnadewi mengernyitkan dahi setelah melihatnya. "Benar, Diajeng. Tapi … mengapa perawakannya mirip dengan Arunika?" Saat kalimat tersebut terucap, Rega yang sedari tadi terpejam kemudian mengedipkan mata. Betapa terkejut Agastya dan Ratnadewi mendapati kedua bola mata merahnya. "KAKANG! LEBIH BAIK KEMBALIKAN BAYI ITU PADA ALIRAN ARUS SUNGAI!" Ratnadewi berteriak ketakutan. Sesaat kemudian, Rega dan Arunika saling berpaling dan bertukar pandang. Mereka berdua tersenyum dan muncullah sosok Lumina. "Kalian tak perlu khwatir." . . . Bersambung •> Pojok kata : - (Mantra) Taya ruhi nu mawa sangsara. Ya, gusti saimbangkeun kahuripan. : Tak ada roh yang membawa sengsara. Ya, gusti seinbangkanlah kehidupan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD