Takdir akan berubah ...
Sudah satu dekade berlalu. Harsa telah menerima banyak ilmu dari Danawa. Akan tetapi, belum satu pun yang dia ajarkan kepada Rega. Bukan karena usia Rega yang dianggap belum waktunya. Memang sejak awal, Harsa tidak berniat mengajari putranya tersebut. Dengan begitu, peperangan dalam pengelihatan ayahnya mungkin tak akan tejadi.
Keadaan Danawa sudah semakin melemah. Dia terbaring di ranjang tidur dalam sepekan ini. Tidak ada kekhawatiran sebelumnya, hingga dia mengetahui bahwa putranya berdusta.
"Rama ... kau memanggilku?" Harsa memasuki bilik Danawa. Setelah salah seorang prajurit mengabarkan keinginan ayahnya bertemu.
"Harsa, aku tidak tahu berapa lama lagi aku akan bertahan. Ilmu yang kupunya sudah kuturunkan kepadamu. Sudah waktunya kau menurunkannya juga kepada Rega," ungkap Danawa mengingatkannya.
Harsa tersenyum tipis. Dia berpaling dan berkata, "Maaf Rama, tapi sepertinya aku tidak akan mewariskan ilmu apa pun kepada Rega. Dengan begitu, takdir dari pengelihatanmu kala itu bisa berubah. Bagaimana pun juga, aku menyayangi Rakayu Lunara."
"Apa yang kau maksud?" Danawa terkejut dengan pernyataan Harsa. Putra yang tadinya begitu dia andalkan.
"Bukankah yang Rakayu inginkan hanyalah takhta dari singgasana Lembahiyang? Aku akan memberikannya. Saat kau tiada, aku tidak akan menerima mahkotamu. Melainkan memberikannya kepada Rakayu. Dengan begitu semua takdir akan berubah. Rakayu Lunara akan menjadi pemimpin Kerajaan Lembahiyang dan Rega tidak akan mempunyai ilmu yang bisa menyerangnya."
"Pendusta! Kau sudah bersumpah saat menerima ilmuku!" Danawa naik pitam. Dia hendak terbangun, tapi cahaya dari tangan Harsa mendorongnya kembali terbaring.
"Aku melakukan yang terbaik agar takdir berubah. Apa kau tidak mengerti?" Harsa bersikukuh dengan rencananya. Saat ilmunya semakin bertambah, dia merasa semakin benar akan setiap tindakannya. Dia pun berbalik badan, hendak meninggalkan Danawa. Namun, sebelum kakinya melangkah dia kembali berkata, "Aku akan memerintahkan para prajurit untuk mencari Rakayu dan membawanya kembali ke kerajaan ini."
'Ya, Gusti ... apa yang sebenarnya terjadi?' Danawa merasa pilu akan pengkhianatan Harsa. Padahal, dia sudah menaruh harapan besar kepada putranya itu. Apakah mungkin jika takdir yang dilihatnya memang bisa berubah?
"Kau terlalu ceroboh Danawa!" Tiba-tiba, Lumina ada dalam biliknya.
"Lumina?"
"Bukankah, Amara sebelum kita sudah jelas memperingatkan. Bahwa ilmu yang kita punya sebagai Amara hanya boleh diturunkan kepada yang haknya. Namun, kau melakukan kesalahan hingga dua kali."
Danawa terdiam. Apa yang dikatakan oleh Lumina memang benar.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku akan membawa Rega jika memang Harsa tak menurunkan ilmunya."
"Lumina ... kukira, takdir dalam pengelihatanku memang bisa dirubah. Sepertinya, peperangan itu tak akan terjadi karena Harsa akan memberikan takhta ini kepada Lunara."
Entah bagaimana, pemikiran Danawa bisa jadi sependek itu. Padahal, permasalahan yang dia pikir hanya karena takhta di Kerajaan Lembahiyang, kini sudah bercabang menjadi permasalahan-permasalahan lain.
"Kau berpikir demikian? Bagaimana dengan cucuku yang terusir dari Kerajaan Manbara karena ulah Lunara? Dia akan menuntut balas akan hal tersebut."
"Kerajaan Manbara ... pengelihatanku tidak dapat menembus kerajaan tersebut karena mantra pelindungnya."
Lumina tersenyum. Dia berjalan mendekat ke tempat Danawa. Berkata, "Itu kesalahanmu yang lain. Kau tahu, aku bisa menembus mantra pelindung Lunara. Aku juga melihat semua yang terjadi di Kerajaan Manbara. Kini, putrimu mempunyai seorang putra dari seorang manusia. Kau tahu 'kan apa artinya?"
Danawa menggeleng kepala. Ingin rasanya dia tak mempercayai Lumina. Namun, jika dibanding dengan dirinya, sosok Lumina memang memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi darinya. Dia tidak akan mungkin berbohong mengenai pengelihatannya.
"Putrimu telah jatuh hati kepada seorang manusia. Maka dari itu, takhta di Kerajaan Lembahiyang bukan lagi menjadi tujuannya. Dia yang sudah menjadi ratu sedang memperjuangkan takhta untuk putranya."
Saat Lumina berkata demikian, hati Danawa terenyuh. Putri kesayangannya sudah mempunyai seorang putra. Ingin sekali rasanya dia melihat cucunya tersebut.
Perlahan, Lumina menempelkan telunjuk di kening Danawa. Sesosok bocah lelaki pun muncul dalam pengelihatannya. Dan tak lama, wajah Lunara yang menjelma dalam wujud Inka muncul. Dia berteriak, "Aksa ..." pengelihatan mulai memudar. Namun, ada sosok bocah lelaki lain memandang pilu sebelum akhirnya Danawa tak melihat apa pun lagi.
"Apakah dia cucuku?" tanya Danawa.
"Ya. Dia cucumu, bernama Aksa. Saudara se-ayah dari Asoka. Bocah lelaki yang kau pandang pilu di akhir pengelihatanmu," ungkap Lumina.
Obrolan mereka terhenti. Danawa terbawa suasana sehingga dia tak dapat membawa diri kembali pada kenyataan. Sosok dari Aksa urung berlalu dalam ingatan, seolah bocah lelaki itu tengah bermain dengannya. Dia pun lupa diri dan memikirkan cara bagaimana bertemu dengan putri dan cucunya itu.
"Lumina! Bantu aku menembus mantra pelindung di Kerajaan Manbara. Aku ingin bertemu dengan mereka. Kumohon!" Danawa terbangun dari tidurnya. Pengelihatan dari Lumina sedikit memberinya kekuatan.
"Tidak, Danawa. Kau sudah lemah, aku khawatir terjadi sesuatu kepadamu." Sedikitnya, perasaan yang pernah Lumina lupakan itu masih ada. Danawa masih menjadi lelaki yang pernah mengisi hatinya.
Lumina beranjak karena tiba-tiba sesuatu yang pernah menggores hatinya kembali terasa. Dia tak ingin perasaan itu membuatnya terlihat lemah. Maka, sesegera mungkin dia pergi dan berlalu dari hadapan Danawa.
"Aku mempunyai urusan yang lebih penting dibanding harus membantumu pergi ke Kerajaan Manbara. Sampai jumpa, Danawa." Lumina melangkahkan kaki dan merapalkan mantra untuk menghilang dari bilik Danawa.
Sesaat setelah kepergian Lumina, Danawa kembali lemah karena kekecewaan. Dia terbaring kembali di atas ranjang tidurnya, meratapi ketidakberdayaan setelah hidup sekian lama dalam keagungan.
"Aksa ... seperti apa cucuku itu?" gumam Danawa melirih.
⁂
... bidik sasarannya dan lepaskan anak panah dari busurnya.
Mata tajam seorang anak kecil mengunci seekor kelinci yang tak mau diam. Di waktu yang tepat, dia melesatkan anak panah dan berhasil melumpuhkannya. Semua orang yang menyaksikan bertepuk tangan menganggapnya hebat, termasuk sang ibu. Namun, tidak dengan dirinya sendiri. Baginya, tak ada hal istimewa dari membidik seekor kelinci. Dia menginginkan latihan yang lebih hebat, tepatnya di alam bebas. Bukan di gelanggang pertempuran istana seperti ini.
"Bagus, Pangeran Aksa. Sepertinya keahlianmu semakin baik dari hari ke hari," ucap seorang guru kepadanya.
Aksa menaikkan bibirnya sebelah. Dengan besar kepala, dia berkata, "Tentu saja. Aku adalah pewaris takhta. Jelas kemampuanku harus baik bukan?"
Sang guru kecewa mendengarnya. Namun, dia tahu bahwa tugasnya hanya membantu pangeran di Istana Manbara berlatih. Sebab, petuahnya tak akan diresapi sekalipun dia berkata ribuan kali, kecuali kepada Pangeran Asoka. Sayangnya, dia tidak diizinkan melatih Pangeran Asoka lebih unggul dibanding Pangedan Aksa.
"Aku lelah!" Aksa melempar busurnya ke tanah. Dia hendak meninggalkan gelanggang pertempuran. Namun, kakinya terhenti saat sang guru berkata, "Tapi, latihan kita belum selesai, Pangeran."
Aksa kembali menoleh dengan tatapan tajam. "Aku lelah!" hanya dua kata saja yang terlontar dari bibirnya. Dan sang guru pun menunduk hormat kepadanya disertai perasaan takut.
"Guru ... Rakanda sudah selesai berlatih. Apa kau boleh mengajariku sekarang?" Asoka menghampirinya. Kali ini, dia berharap waktu untuknya berlatih lebih lama dari biasa. Sebab, Aksa berhenti lebih awal.
"Tentu, Pangeran Asoka. Ambil busur dan anak panahmu." Titah sang guru. Namun, Asoka tetap terdiam tak beranjak selangkah pun melakukan perintah. Sehingga sang guru bertanya, "Ada apa, Pangeran?"
"Bolehkah kali ini kita berlatih tombak? Aku merasa bosan terus berlatih panahan," ungkap Asoka jujur.
"Tidak pangeran. Kau berlatih untuk bekal masa depanmu. Bosan bukan menjadi alasan untuk berpindah haluan. Kau harus mengasah kemampuanmu hingga benar-benar menguasainya. Aku tidak akan melatihmu yang lain, sebelum kau benar-benar mahir dalam panahan."
Asoka tersenyum mendengar jawaban dari sang guru. Rangkaian kalimatnya tersebut menjadi dorongan semangat untuk berlatih dengan giat. Agar esok, dia bisa mempelajari hal lainnya.
'Maafkan aku, Pangeran. Sebetulnya, kau sudah bisa berlatih yang lain. Hanya saja, aku tidak bisa melatihmu sebelum Pangeran Aksa menguasainya. Untunglah, kau selalu mendengar apa yang kuucapkan,' batin Sang guru.
Lunara menyipitkan pandangan. Dia membaca pikiran sang guru. Bagaimana pun, Asoka tidak boleh lebih hebat dari Aksa. Dia pun berbalik badan untuk menemui putranya.
⁂
"Aksa, kenapa kau berhenti berlatih?" tanya Lunara menghentikan langkah kaki Aksa yang sedang menuju biliknya.
"Biung ... aku bosan berlatih panahan dalam istana. Aku ingin berlatih di luar istana." Suaranya terdengar kesal saat menjawab.
"Bagaimana kau bisa berlatih di luar istana, jika kemampuanmu saja belum cukup hebat?"
Pertanyaan yang terdengar seperti pernyataan tersebut menyulut emosi Aksa. Dia menghadap Lunara dan berkata, "Kau meragukanku, Biung?"
"Tidak, putraku ..."
"Biung, izinkan ananda berlatih di luar istana sekali saja. Jika nanda tak mampu, maka ananda tak akan memintanya lagi sampai kau atau pun sang guru merasa sudah waktunya."
Perihal orang yang dicintainya, Lunara selalu kalah. Sehingga dia pun mengangguk dan berkata, "Baiklah."
.
.
.
Bersambung