bab 3

1720 Words
Gue sering bertanya sama diri sendiri, apa sih arti keluarga selain adanya darah yang mengalir di dalam tubuh? Lihat kebahagiaan keluarga Salim itu, boleh juga. Lihat kompaknya anggota DPR dari fraksi parpol (partai politik) A membela anggota lainnya, solid banget. Lihat gimana relanya pasukan penyidik KPK dalam kasus besar dan tantangan nyawa macam n****+ Baswedan, mantab juga. Dan, coba lihat gimana sayangnya gue ke Ange dan teman-teman yang lain? Lalu, maksudnya keluarga sedarah itu yang gimana? Bapak ke anak yang nggak pernah punya prinsip dan pandangan (baik politik, sosial dan agama) yang sama dan berakhir debat berlanjut? Orangtua yang menganggap bahwa mereka paling tahu apa yang terbaik untuk anaknya hingga memupus semua mimpi anak? Ibu yang mencoba mendidik anaknya sejak dini demi menjadi manusia baik berdasarkan definisinya? Mungkin lo semua bilang, ayolah Bima, apa yang lo omongin sekarang? Nggak usah jadi sok melankolislah. Nggak cocok sama tampang lo. Gitu kan? Benar, Kawan. Gue juga paling benci setiap dapat telepon dari Salsa dan bilang empat kata, "Mama kangen Abang katanya." Dan, Bima Fattan langsung berubah sebaik Aldebaran Richard—benar nggak sih tulisannya?—dalam film menye yang kalau bukan karena ratu gue itu, males banget nontonnya. Jangan tanya kenapalah, nanti gue malah lupa mau ngomong apa. Soal Mama, kan? Nggak ada anak yang nggak sayang sama orang tua. Jangankan manusia yang melahirkan dan membesarkan, sama orang lain aja gue bisa sesayang itu. Tapi masalahnya gue nggak tega kalau gue pulang dan Mama bakal stroke setiap lihat gue sama Papa debat cuma masalah Wahidin yang menang dan Rano kalah. Bukan itu poinnya, Kawan. Intinya gue sama Papa itu nggak bisa sepaham. Apapun. Itu kenapa gue lebih suka tinggal di indekos bermodalkan KTP Banten dan membiarkan Mama dan Papa hidup berdua di Cikini, Sektor 7, Bintaro sana. "Bang." Gue lupa kalau Salsa belum menutup teleponnya. "Oy." "Pulang bentar ngapa, sih. Mama aja sampai nggak berani telepon Abang lho. Inget umur, Bang. Udah tua, mau sampai kapan kayak gitu terus?" Gue ingat, Sal. Umur gue udah 30 tahun. Usia yang udah cocok buat dipanggil ayah dan gandeng tangan Alisa. Tapi, Tuhan belum mau mengintervensi. Masih membiarkan gue terombang-ambing kayak gini. "Iya, weekend Abang pulang." "Bener?" "Iya. Ashilla lagi ngapain?" "Gambar princess sama Papinya. Katanya, 'OBim yang kece kok belum dateng, Mi?' Abang ajarin anak Salsa apa aja sih kalau teleponan?" Bocah satu itu. Udah gue ajarin manggilnya Uncle masih aja Oom. Dikira gue punya bola di perut apa? Ada sih dikit. Alisa bilang perut gue mulai buncit. "Abang cuma ngajarin supaya dia tumbuh jadi perempuan kece kayak Uncle-nya." "Apaan. Omongannya makin ada-ada aja. OBim ganteng, Mi. OBim kece dari lahir, Mi. Dan sebagainya sebagainya sebagainya." Gue ketawa. "Udah ah. Abang mau date nih." "Emang punya pacar?" "Ya makanya kamu jangan telepon terus. Nggak nyari-nyari kan ini." "Beneran weekend pulang ya, Bang? Papa udah nggak keberatan kok Abang kerja di media." Nggak keberatan tapi nyidir terus ke arah sana. "Bang...." "Iya. Nanti pulang." "Oke. Bye." Lo semua mau tahu apa yang paling melemahkan di dunia lelaki selain gengsinya selangit? Ibu, adik dan perempuannya. Coba aja tes dengan mengganggu ketiga perempuan itu, bisa napas sedetik setelahnya aja lo udah syukur. Dan, gue mengalami itu sekarang. Dua hari lagi weekend, adik gue minta Abangnya ini pulang buat jenguk Mama. Gue malas banget harus ketemu Papa dan lihat muka meremehkannya itu. Gaji gue memang nggak sebesar gaji dia dulu, tetapi gue yakin gue mampu ngikutin dunia ini berputar kok. Yang perlu dilakukan manusia di dunia cuma makan, kerja buat makan, ibadah, kan? Hahaha. t**i, Bim, sok-sok ngomongin ibadah. Salat Jumat kelewatan enggak? "Woy, Fattan! Baju lo angkateeen!" Suara Badak itu ganggu aja sesi benarnya pikiran gue. Emang ya setan itu senang ganggu laki macam gue waktu lagi mikirin ibadah. "Udah setaun juga masih aja digantung. Ngantri yang mau jemur." "Bacot diem!" Gue melempar kaleng bekas soda semalam ke arah pintu. Tapi akhirnya berdiri juga bukain pintu. "Emang siapa yang mau nyuci?" Dika menarik rambut gue yang entah kapan terakhir gue potong. "Semuanya mau nyuci, t***l! Kalau pakaian udah kering itu diangkat, Bim, bukannya digantungin kayak hubungan lo sama Alisa." "Nggak usah ngebacot tinggal jawab aja siapa yang mau nyuci." "Ya lo nggak usah ngejawab mulu, tinggal angkat aja pakaian lo. Ini bukan laundry yang bisa gantungin baju berhari-hari. Banyak yang mau make." Gue memilih mengibaskan tangan, berjalan menuju ruangan tempat mesin cuci sekaligus jemur pakaian di indekos ini, setelah sebelumnya menarik kolor Dika hingga lutut. Hidup bareng Alisa mungkin gue nggak akan sengenes ini kali ya. "b*****t lo, Bim!" Gue menoleh, nyengir lebar sementara Dika lempar sandal buluknya ke arah gue. "Anjing, kena aset gue!" Dan, dia ngakak di saat gue udah siap buat nelan semua penghuni indekos ini. Tapi nggak jadi, karena inget betapa sayangnya gue sama dua cowok tetangga yang hidupnya lebih baik dari gue. Gue mau cerita dikit tentang kisah yang menjadi alasan kenapa gue bilang hidup dua teman gue itu lebih baik. Nanti kalau bosen, bolehlah bilang berhenti. Dulu, setelah gue lulus SMP, gue diminta Papa buat lanjut ke SMA dan ngambil jurusan IPA. Alasannya zaman dulu bikin jiwa ke-cowok-an gue langsung naik pengin eksis; anak IPA kelihatan lebih pintar. Dan, berakhirlah gue ngikutin saran Papa yang didukung seratus persen hatinya Mama. Selama menjalani peran sebagai anak IPA, awalnya semua normal dan baik-baik aja. Gue ngerjain soal fisika, kimia, biologi dan matematika dengan gampang bareng teman-teman kelas. Kalau empat mata pelajaran itu aja gampang, jangan ditanya gimana mata pelajaran lain. Selain itu, waktu istirahat digunakan buat makan di kantin atau baca buku di perpustakaan, me-review ulang materi dari guru. Sampai suatu ketika, gue ingat banget datang telat bareng teman sekelas gue. Namanya Alvaro, dia anak sahabat Papa, anak konglomerat tapi goodboy banget. Kita berdua gelisah bukan main di depan gerbang yang udah ditutup rapat. Satpam juga cuma bisa gelengin kepala karena nggak bisa bantu kami masuk. Di sebelah gue, Alvaro udah menggurutu karena takut bikin orang tuanya malu, takut bikin imej anak IPA jelek karena telat datang. Tiba-tiba, ada seorang cowok dengan pakaian brutal. Persis macam badboy yang sering Salsa tonton dulu.  Cowok itu nyengir ke gue sambil bersiul. "Telat?" tanyanya enteng banget. Gue cuma ngangguk aja waktu itu. "Manjat pagar belakang yuk? Berani enggak?" Gue sama Alvaro cuma bisa saling tatap. Gue takut banget sama yang namanya anak IPS. Nggak di rumah nggak di sekolah selalu dicekoki kalau mereka adalah tempat spesies nakal. Dan, cowok yang nyapa gue itu adalah Davino. Murid paling sering melintas di lapangan karena dapat hukuman. "Belum pernah ngerasain telat, kan?" imbuhnya waktu itu. Gue sama Alvaro masih diam dan belum jawab apa-apa. "Lo percaya enggak, segala sesuatu yang terus berputar itu ngebosenin." Gue jelas bingung banget sama maksud cowok songong itu. "Dan, begitu juga hidup kalian berdua. Datang ke sekolah, ngerjain tugas dan belajar, pulang, belajar lagi dan gitu terus. Kita anak muda, Man. Belum saatnya mikirin hal monoton kayak gitu." "Dan, lo nggak pernah malu atau takut dicap buruk?" Itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut gue. Cowok songong itu ketawa. "Hidup itu perlu dihina, supaya kita nggak menjadi yang menghina di kedepannya. Hidup itu perlu buruk, supaya kita nggak mengajarkan generasi kita nanti menjadi buruk karena kita udah tahu rasanya. Hidup itu perlu dihukum, biar kita paham gimana alam bekerja. Gue percaya kok anak IPA orang yang cerdas dan nggak akan jadi bodoh." Dan, gue cuma bisa melongo. Terus memutar kalimat cowok nakal itu sampai akhirnya gue memutuskan pulang ke rumah. Besoknya gue cari dia dan kenalan, terus berlanjut sampai gue tahu gimana indahnya hidup seorang anak IPS. Davino yang selalu stay di sebuah flat bareng temen-temennya. Mereka sering keliling Tangerang malam-malam cuma buat nyanyi bareng para pengamen dan pekerja malam lainnya. Mereka sering ke lampu merah dengan sikap slengek sambil bantuin anak kecil yang jualan koran atau makanan. Dan, dari situ gue tahu satu hal; mereka cerdas secara sosial, bukan hanya untuk membuat otaknya sendiri yang pintar. Sejak itu juga, gue sering ikut Davino dan teman-temannya. Gue merasa hidup lebih bewarna untuk usia gue saat itu. Tapi, semuanya kandas waktu kebiasaan baru gue ketahuan Papa dan dia melarang keras gue buat main sama Davino. Gue dijaga seketat mungkin sampai ada dua penjaga yang ngawasin gue ke sekolah. Dan, puncaknya adalah waktu kelulusan, gue mau ambil Komunikasi karena menurut gue itu adalah sumber dari segala ilmu. Papa marah besar dan ngeyel meminta gue buat ambil Teknik Fisika atau Teknik Perminyakan supaya gue bisa ngikutin karirnya di Pertamina. Siapa yang mau kerja di perusahaan tempat papanya melakukan kejahatan paling keji? Gue gamblangin. Papa pernah menjadi tahanan KPK waktu gue kelas XI dan dia sempat dipenjara satu tahun padahal uang yang diambil dia waktu itu cukup besar. Mungkin bayarannya untuk para petinggi yang saat itu belum berkeprimanusiaan juga lebih tinggi sampai Papa bisa bebas semudah itu. Kebacalah ya kenapa hubungan gue dan Papa nggak pernah akur karena gue nekad ambil komunikasi dan gue mau hidup sebagaimana gue suka. Untungnya, Papa masih mau biayai kuliah dan gue tetap nggak tahu malu nerima uang Papa sampai akhirnya gue dapat gaji pertama. Namun, bukan berarti Papa tetap menjadi Papa gue. Kami tinggal di rumah yang sama, tapi gue dan Papa jarang bertegur sapa. Setiap di meja makan Papa selalu bahas mengenai gaji dan fasilitas beserta tunjangan orang-orang Pertamina. Gila, Bim. Kisah lo udah mirip banget sama acara Mikrofon Indosiar yang kemarin nggak sengaja gue tonton di indekos dan bikin mata gue perih. Bocah-bocah sini emang tontonanya nggak ada yang bener. "Bima! Lo ditungguin sama Agnez di luar!" Sekarang teriakannya Fando. Gue memasukkan asal pakaian kering itu ke dalam lemari. Bodo amatlah kusutnya kayak apa. "Siapa itu Agnez? Gue nggak kenal!" "Tae! Dia bilang kalian ketemuan di halte dekat kantor elo! Bawa mobil, Coy, lumayan Satria bisa istirahat." Gue langsung membuka pintu. Nongolin muka doang. Fando lagi sila di hadapan tv yang nayangin Sule dan Andre nggak tahu ngomongin apa. "Orangnya di mana?" "Noh di teras lagi ngobrol sama Dika." "Agnez yang mana deh?" Perasaan gue nggak punya kenalan cewek namanya Agnez. "Orangnya gimana?" "Rambutnya pendek. Badanya juga pendek." "Bangke, ngejelasinnya yang bener dikit kek." Fando melengos. "Pokoknya kalau ngomong---" "Wanjer!" Gue langsung panik, bikin Fando mandangin gue ngeri. "Itu anak Mandiri yang kemarin gue mintain ID LINE pas di halte seberang kantor, Fan. Lupa lagi kalau gue mau ajak dia nonton hari ini. Faaak!" "Mampus." Sialan. Nasib cowok ganteng gini amat, ya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD