bab 11

1445 Words
"ARE YOU KIDDING ME?" Yang masih menjadi pertanyaan gue sampai sekarang adalah alasan si Marwan mau menikah dengan Monyet gue yang sekarang lagi melotot hiperbolis. Perutnya yang udah mulai buncit itu ia elus-elus pelan sambil bersandar di sofa. Heran. Dari mana coba keberanian Marwan itu buat mempertaruhkan hidupnya cuma demi macan kayak Ange gini. Dan ... gue juga sama ke Alisa. Gue tanya coba buat perempuan Indonesia, sekarang lagi jaman ya perempuan pada galak? Gue pikir, Kartini itu emansipasi wanita biar cerdas dan nggak ketindas deh bukan malah nindas balik dan lupa kodrat macam dua cewek---satu di depan satunya di samping gue---ini. "Alisa, Bima, jelasin ke gue, apa maksud dari kalian yang sekarang in relationship." "Jelasin Al coba." "Ogah! Lo aja ngapa nyuruh gue." "Kan lo cewek. Yang demen ngoceh panjang juga biasanya elo." "Situ nggak nyadar kalau situ cerewetnya ngelebihi cewek?" "SETOP!" Macan betina senior mulai meraung lagi. Sekarang dia belagu banget setelah jadi menantu menteri. Gue yakin, di depan para koleganya, Ange pasti nggak diakui. Mampus lo, Nyet. "Kalau nggak mau cerita, pulang aja sana. Ngapain main ke rumah gue. Mau pada minta makan, ya?" "Gue mau minta restu." Akhirnya gue mengalah. Malas juga harus ribut berkepanjangan sama bumil (ibu hamil) begini. "Jangan ketawa lo." Gue udah merelakan Minggu gue ini buat datang ke sini dan dia ngetawain gue? Nggak sopan banget. Jadi, setelah pulang dari Bandung---Man, gue nggak nginep yang artinya lo semua bisa bayangin gimana remuknya badan gue---malam-malam, gue tidur di rumah Alisa. Udah nggak kuat mau pulang. Ngantuk plus capek banget. Walaupun setelah bangun dari tidur yang ada badan gue tambah kretek karena cewek gue itu minta gue tidur di sofa ruang depan. Jahat banget sumpah. Padahal gue udah bersumpah demi nama Tuhan dan segala hal yang berharga kalau gue nggak akan nyentuh dia sedikitpun. Tapi, seenggaknya kasih gue satu kasur empuk. Dengan jahatnya, dia menggelengkan kepala sambil bilang, "No no no. Kalau mau kasur, pulang ke kosan." Sialan banget karena kasur di rumah dia cuma ada satu dan itu yang ada di kamarnya. "Jadi ... kalian berdua beneran jadian? Seriously? Gustiiiiiii. Gue kaget lho ini. Tapi kok nggak bisa histeris ya, Bim, Al?" Peaknya kumat kan. "Papanya dedek harus tahu ini, pasti dia syok berat." "Anjir! Nggak cocok lo ngomong gitu. Pakai papanya dedek segala. Najis, Nyet." Di sebelah gue Alisa ngakak. "Coba dedek kecil, Ante Al mau denger suaranya dong." Ratu gue mencondongkan mukanya ke perut Ange. Terus dia nempelin tuh kupingnya sambil cengar-cengir nggak jelas. "Oh my god! Dia gerak, Nge. Gue denger dan ngerasain dia gerak. Waw banget. Bimaaaa, mau hamil." Bagus. Nada rengekan. Sialan nih cewek bikin gue ngakak siang-siang begini. "Nge, kamar tamu sebelah mana?" "Buat apaan?" "Mau hamilin Alisa." "GILA!" Dua macan betina langsung nyakitin badan gue. Yang Alisa geplak kepala dan Ange nendang betis gue karena dia nggak bisa bangun secepat itu. Alam, boleh nggak lo telen mereka berdua ini sekarang? Hehehe. Lo tahu selera humor gue kan. Janganlah. Gue cinta mati sama Alisa dan benci setengah mampus sama Ange ini. "Lo udah cinta belum sih, Nge sama Farhan?" Ratu nanya lagi. Gue milih buat dengerin sambil nyeruput minuman yang tadi di kasih sama ... duh, gue lupa namanya, Suci? Gue juga penasaran sama hubungan dua orang aneh ini yang sok-sokan nikah tanpa cinta. Udah setahun, sih tapi siapa tahu rumah tangganya lebih drama dari muka Ange. "Ini camilannya, Mbak Ange. Silakan dinikmati Mas Bima dan Mbak Al." "Makasih," jawab gue dan Al barengan. Jodoh memang nggak akan bisa dibohongin. "Makasih ya, Mbak Susi. Nanti tolong sekalian siapin makan siang, ya." "Siap, Mbak. Saya permisi ke belakang lagi." "Cinta, ya ..." Ange mengambil satu kue dari piring dan mengunyahnya sok imut. Sumpah, nih Monyet setahun aja jadi keluarga Marwan belagunya tingkat Donald Trump. "Nggak tahu sih, Al. Soalnya gimana ya. Karena udah setahun hidup bareng, terus gue sama dia baik-baik aja. Ketawa, marah, debat ya normal kayak yang lain. Itu cinta bukan?" Gue diam. Begitupun Alisa. "Gue pikir, dulu banget, cinta itu yang kalau lihat dia menggebu luar biasa. Terus bawaannya deg-degan dan maunya dimengerti. Tapi sama Farhan, gue tahu cinta lain. Sederhana banget rasanya. Cuma rasa adem kalau lihat dia di rumah, terus nyaman setiap tahu kalau ada dia di kasur yang sama dan gue belajar buat nggak egois, tapi balik ngertiin dia." Sedetik. Tiga detik. Lima.... Ange tertawa. "Gue aneh ya. Iya nih, akhir-akhir ini kata Farhan omongan gue bener terus. Sialan banget dia. Gue juga kadang jijik sendiri." Alisa ikut ketawa, gue masih diam. "Terus, Al, nanti kalau lo hamil pasti ngerasain. Kalau kita udah digrepe-grepe sama doi, rasanya tuh nggak mau ditinggal. Apalagi hamil gini, bawaanya mau ikut dia ke mana pun. Tapi kan sayang, Farhan nggak sebaik itu. Pasti ujung-ujungnya 'Aku sering pergi keluar buat menuhi undangan dan bla bla bla' ngeselin nggak coba." Ange benar. Cinta itu nggak cuma ditempuh dengan cara gue yang sampai segini tololnga. Caranya dia jelas lebih elegan karena nggak melibatkan luka di dalamnya. Cinta mereka tumbuhnya perlahan tapi pasti di tengah keluarga yang mereka bangun berdua. Nggak nyangka gue teman yang satu ini hidupnya akan sesempurna sekarang. "Jadi, Bima dan Alisaku. Kalian serius pacaran? Kok bisaaaaaa?" "Bima itu naksir gue sejak dulu. Kedoknya aja tuh jadi sahabat, padahal selama ini nasihat-nasihat dia yang nyuruh gue putus sama Abam beneran karena dia naksir." "Ew. Serius, Bim? Cara lo nggak baik banget sumpah." "Gue serius ya kalau bilang Abam itu nggak baik!" Ini kenapa malah pada nyalahin gue. "Gue juga sebenernya rela kok kalau Alisa nikah sama cowok yang bener. Sakit hati kan gue yang ngerasain, kalian enggak. Tapi lihat Abam sekarang, beneran ninggalin Alisa kan?" Ange mendengus. "Taeee. Sok-sokan ngomongin patah hati. Katanya dulu nggak pernah patah hati. Dasar Dugong!" Gue terkekeh. Menarik pinggang Alisa merapat ke tubuh gue. "Sekarang kan udah nggak sakit hati lagi. Ya kan, Teh?" Gue kecup pipi Alisa yang detik berikutnya perut gue kena sikut maut. "Sakit banget, Al! Lo kasar banget sik jadi cewek." "Ya lo m***m banget. Dikit-dikit cium. Lo pikir gue apa?" "Lo macan," jawab gue lirih sambil menjauh dari tubuhnya. "Assalamualaikum." "Hei, suami aku." Lebay banget ini Ange, berdiri aja kesusahan gitu maksa banget. "Situ aja, aku yang nyamperin." Suara Marwan memperingati. Tuh, ajaib banget emang kekuatan si Marwan bikin Ange nurut lho dan nggak jadi berdiri. "Halo Alisa, Bima." "Halo, Mas. Apa kabar?" Ini Alisa yang ngomong. Kalau sama orang lembutnya nggak tanggung-tanggung. "Baik." "Halo, Wan. Eh eh salah, Han. Dapat ketopraknya?" Ini gue basa-basi aja. Jadi, tadi pas gue sama Alisa datang, Ange bilang suaminya ini lagi keluar buat cari ketoprak. Ngidamnya Ange enggak banget emang. Ngidam tuh steak kek biar kelihatan cucu menteri. Eh tapi bagus juga, nasionalismenya tinggi. "Dapet ini. Kalian mau ikutan makan juga? Saya beli lagi kalau gitu." "Enggak-enggak, Mas. Makasih. Buat Ange aja." Padahal gue mau, Al. "Ini kamu beli yang di dekat warung bebek itu, kan?" Ange masih bersandar di sofa, sementara Marwan jongkok di depan Ange sambil buka styrofoam. Susah banget apa ya si Ange itu buat duduk normal. Gue noleh ke Alisa, dan tiba-tiba senyum sendiri. Alisa nanti kalau hamil kayak gimana ya cantiknya. "Tapi kok beda?" Seketika gue sadar lagi. "Warung bebek? Bukan. Yang di seberang kompleks itu lho." "Ih, kan aku bilangnya yang di dekat warung bebek. Itu yang enak. Ini mah nggak tau kayak gimana." Anjir nih Monyet. Kalau gue jadi Marwan, udah gue tumpahin di kepalanya. "Suruh Afdi atau Dendi aja deh yang beli. Kamu mah salah terus kalau dimintai tolong." "Mereka lagi ngurus tanaman di belakang. Aku aja yang beli. Dari ketoprak yang ini arahnya ke mana?" Yang kayak gini ya nggak mungkin nggak bikin Ange jatuh cinta mendadak. Baik banget lo jadi cowok, Wan. "Sekalian, Bima sama Alisa doyan ketoprak?" Gue langsung menggeleng. "Nggak usah. Nanti Alisa biar gue aja yang beliin." Enak aja dia mau beliin cewek gue makanan. "Kebetulan tadi, kita udah sarapan kok, Mas." Ratu gue jawab kalem. Marwan mengangguk. "Pokoknya, kamu dari ketoprak yang ini lurus terus. Nanti ada papan tulisan laundry gede, nah di sebelehnya itu. Okay?" "Oke." Marwan ngecup perut Ange bentar, terus berdiri. "Saya tinggal dulu ya, Al, Bim. Angenya diajak ngobrol. Gampang bosen katanya." "Siap, Mas!" Ini ratu gue antusias amat jawabnya dari tadi. Gue cuma mengangguk sambil senyum. "Gila lo, Nge. Bikin anak orang sampai segitunya." Gue menyetujui ucapan Alisa. "Apaan? Emang gue lagi pengin ketoprak yang onoh." "Dia nggak pernah marah, Nge?" "Marahnya dia kalau gue joroknya kumat." Ange ketawa. "Atau ketahuan s**u hamilnya gue buang." "Lo emamg nggak berubah begonya, Nyet." "BIARIN!" Kan. Mau jadi emak tapi kelakuan masih begitu. Gue turut berduka cita ya, Wan. Sorry, karena kita bukan teman, gue nggak bisa bantu apa-apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD