"Ada rasa yang tiba-tiba muncul sulit diartikan. Namun, ketika melihatnya ada rasa yang tidak bisa diungkapkan."
****
"Assalamualaikum...." Alvena pulang ke rumahnya. Setelah di terima magang di perusahaan milik Ethan dan Eldan besok Alvena sudah mulai bekerja di sana.
"Waalaikumsalam," jawab keluarganya yang sedang duduk berkumpul. Ayahnya memang sudah pensiunan guru. Dia memiliki dua kakak laki-laki satu kakaknya sudah menikah dan kakak keduanya Masih kerja sampai saat ini menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi negri di Jakarta.
"Kamu udah pulang nak," ucap sang Ibu dengan senyum hangat yang selalu menjadi penyejuk di keluarga mereka.
"Sudah, bu."
"Terus gimana kamu diterima magang di sana?" tanya Kakaknya yang Masih setia berkutat dengan laptopnya.
"Alhamdulillah, Kak aku diterima. Tahu enggak sih aku mau cerita nih tadi pas aku interview buat magang di sana."
"Cerita apa? Kayaknya kamu seneng banget pulang-pulang dari sana."
"Paling ketemu cowo, biasanya dia 'kan gitu, Yah kalau ketemu cowo mukanya." Alvena terkekeh kakaknya ini selalu tahu saja dengan raut wajahnya.
"Kakak sotoy ih. Dari pada Kakak sok enggak punya cewe-cewe kapan nikahnya coba. Lihat Kak Chio udah nikah, Kakak kapan?"
"Belum ketemu jodohnya."
"Ya makanya Kakak cari dong, kalau kakak berkutat terus sama kerjaan ya masa cewe bisa dateng sendiri."
"Bisa kalau emang udah jodoh," ucap Kakaknya lagi.
"Udah-udah kalian ini sudah dewasa masih saja suka berdebat. Jadi, gimana tadi ceritanya," ucap Ayahnya mem
"Heheh ... Iya-iya ini mau cerita tapi sebentar, Vena mau minum dulu haus." Mereka mendesah sudah siap menunggu Alvena bercerita tapi malah sang pendongeng alasan haus.
Beberapa saat lagi Alvena kembali dengan jus dan beberapa cemilan di tangannya. Kakaknya yang melihat hanya menggelengkan kepalanya, "Tadi bilang haus, tapi yang dibawa minuman sama makanan." Alvena terkekeh.
"Enggak papa, Kakak. Alvena 'kan Masih butuh gizi yang cukup. Udah kakak no komen-komen. Nih dengerin, Vena cerita...." Sebelum mulai bercerita Alvena meletakkan beberapa makanan di meja, tapi ada satu makanan yang tetap di genggamnya agar sekali-kali dia makan.
"Jadi, aku Itu tadi dateng ke perusahaan Itu, 'kan. Perusahaannya gede banget. Nah aku ketemu Sekretarisnya, habis Itu di suruh masuk ke ruang bosnya. Aku kira bakal sampe HRD doang, ternyata atasan langsung yang interview. Tapi, ya enggak papa sih aku malah seneng. Habis Itu ya aku masuk-masuk atasan malah udah ngomel-ngomel asli galak banget, Kak, Yah, Bu."
"Terus kamu enggak takut?"
"Ngapain takut sama-sama manusia, Kak. Dia juga makan nasi paling. Tapi, ya mereka Itu kembar loh. Dua-duanya sikapnya dingin, Kak. Kayaknya yang tadi interview adeknya kalau enggak salah."
"Terus kamu dimarahin?"
"Kakak ih jangan dipotong-potong dulu napa," ucap Alvena kesal. Mereka jadi tertawa mendengar kekesalan Alvena. Memang sejak dulu kalau Alvena cerita Itu seperti lucu mendengar ocehan bawelnya.
"Iya-iya lanjut."
"Adeknya masih mending, adalah ramahnya dikit. Tapi, dikit banget dibandinginkan kakaknya, astaga dia tuh ya pas Alvena dateng udah marah-marah, terus ketus banget ngomongnya. Dia marah-marah gara-gara tu sekretarisnya ngajak Vena di depannya, dia kira si kakaknya Itu yang mau wawancarain, Vena tapi ternyata adeknya. Eh, sekretarisnya di giniin, "Kenapa dibawa ke saya 'kan tadi Eldan yang manggil." Gitu, tapi ya nadanya enggak nyantai banget." jelas Alvena sambil menirukan nada suara atasannya tadi.
"Terus kamu udah takut gitu di sana?" tanya Kakaknya.
"Enggak lah, ngapain takut. Emang mental, Vena mental apa digituin aja Vena takut. Malah ya magang di sana kayaknya buat Vena tertantang tahu, mau lihat emang bener itu asli sifatnya gitu. Apa cuma gimic soalnya biasanya 'kan kebanyakan atasan kayak gitu, contohnya kakak."
"Lah kok kakak, kakak mah bukan bos."
"Ya tapi sama Kakak Itu dingin, nyebelin pokoknya bikin Alvena gedek sama, Kakak," sunggut Alvena. Orang tuanya hanya tertawa melihat mereka berdua yang berdebat.
"Dih, mana ada."
"Tauah. Debat sama Kakak Itu percuma bikin capek doang. Vena mau ke kamar mau nyetrika baju dan nyiapin semua buat besok kerja," ucap Vena bangkit dari duduknya.
"Yah, Bu, Vena ke kamar dulu ya."
"Enggak makan dulu?"
"Enggak, Bu nanti aja kalau laper, Vena makan."
"Yaudah gih."
"Okey," ucap Vena menunjukkan Ibu jarinya yang berarti "oke" lantas berjalan ke kamarnya.
......
Alvena sampai di tempat magang dengan Senyum merekah. Walaupun, bosnya dingin dan ketus tidak menjadi alasan bagi Alvena untuk mundur dari tempat magang ini dan sepertinya tempat magang ini juga menarik.
Alvena berjalan masuk ke dalam. Lalu, dia menunggu pintu lift terbuka, dia sudah di beritahu bahwa kerjanya ada di lantai 3. Setelah pintu lift terbuka dia langsung masuk, saat Alvena menghadap ke depan dia melihat ada dua bos kembarnya yang masuk ke lift yang sama. Melihat mereka membuat merekah di pipi Alvena.
Ethan dan Eldan berpakaian rapi dengan jas yang senada dan juga kacamata yang Masih mereka gunakan, menambahkan kesan maskulin di mata Alvena. Tapi, seketika pujian dan senyum Alvena pudar kala ucapan ketus terlontar dari mulut sang bos besar.
"Enggak usah lihat-lihat saya. Kamu pikir saya enggak risih kamu lihatin dari depan sampe masuk segala pake senyum-senyum."
"Idih ya suka-suka saya dong, Pak. Lagian senyum itu 'kan ibadah dulu bapak diajarin enggak di sekolah kalau senyum itu ibadah? Lagian saya senyum 'kan juga karena Bapak mengaggumi kecoolan Pak Ethan sama Pak Eldan emang saya salah?" saut Alvena. Orang-orang di lift sudah menahan tawanya, karena baru kali ini ada yang berani menyahuti ucapan bos besar mereka.
"Kamu jangan enggak sopan ya sama saya. Kamu mau saya keluarkan dari sini dan bilang sama tempat kuliah kamu kalau kamu enggak sopan?!"
"Eh jangan, Pak. Saya nanti enggak lulus-lulus kalau dikeluarin dari sini. Kakak-kakak saya bisa ngoceh kalau kuliah saya enggak kelar-kelar," ucap Alvena. Si kembar memilih menghadap ke depan dan tidak memperdulikan Alvena.
"Mentang-mentang, bos," ucap Alvena pelan. Alvena yang merasa Bosnya mendengar jadi mati kutu. Pintu lift terbuka Si kembar ke luar dari lift tersebut kemudian mereka segera ke luar. Alvena ikut ke luar untuk mengejar mereka dan berhenti di depan mereka berdua hingga membuat Ethan dan Eldan berhenti juga.
"Pak jangan laporin saya ke tempat kuliah saya ya, Pak. Maafin saya tadi beneran keceplosan suer deh. Izinin saya dulu buat magang di sini baru juga hari pertama masa udah di keluarin. Saya enggak mau ah."
"Ini Perusahaan saya, jadi saya bisa melakukan apa saja suka-suka saya," jawab Ethan. Saat Ethan ingin berjalan melalui samping kiri lagi-lagi Alvena mencegahnya.
"Ya saya tahu, tapi bapak enggak boleh semena-mena ada pasalnya loh, Pak." Ethan tidak menggubris dia tetap ingin melanjutkan jalannya tapi dicegah sedangkan Eldan yang melihat gadis itu malah tersenyum lucu dalam hatinya.
"Minggir saya mau kerja."
"Pak, nih ya bayangin kalau bapak punya adek atau kakak cewe ketemu bos modelan bapak terus adek bapak dikeluarin di hari pertama dia magang atau kerja emang bapak enggak kasihan gitu."
"Saya bisa ajak dia kerja di sini enggak perlu kerja sama orang lain."
"Lah, iya kalau bapak Masih punya ini Perusahaan kalau bangkrut gimana? Roda kehidupan itu 'kan berputar, Pak. Bisa jadi beberapa tahun ke depan Bapak yang minta kerjaan sama saya yakan?" Ethan menarik nafasnya dalam-dalam.
"Alvena udah kamu kembali ke tempat kerja kamu."
"Berarti saya enggak jadi dikeluarin atau dilaporin 'kan, Pak?" tanya Alvena kepada Eldan yang berada di belakang Ethan. Eldan mengangguk dengan wajah datarnya, dia segera mengajak Kakaknya untuk ke ruangannya sebelumnya Kakaknya itu naik pitam dan wanita itu kena semprot oleh Alvena.
....
"Benci itu ibarat biji yang tidak sengaja tumbuh menjadi pohon dengan sendirinya. Tidak ada angin dan tidak ada hujan biji yang sengaja dilempar di lahan yang tidak terawat bisa tumbuh pohon yang besar dan bahkan berbuah. Sama seperti Perasaan. Awalnya benci mendominasi tanpa sadar kebencian itu yang memunculkan rasa cinta yang tidak diundang."
****
"Lo ngapain sih, tadi pake belain dia. Itu anak magang baru hari pertama aja udah songong banget." Sampai di ruangannya Ethan marah-marah dengan adiknya. Bukannya sang adik ikut tersinggung karena tidak sopan malah membela perempuan tadi.
"Kak, lagian 'kan juga ini hari pertamanya ya biarin aja dia coba dulu."
"Masalahnya dia enggak sopan. Udahlah gue mau telepon tempat kuliahnya biar dia dikeluarin aja."
"Kak, jangan gitu kasihan tahu. Apalagi dia bilang tadi kalau ada adek yang dikayak gituin kayak lo. Lo enggak Inget sama Lisa kalau nanti waktu magang di kayak gituin juga sama atasannya."
"Ya gue bakal samperin itu atasannya. Lagian dia bakal gue suruh magang di sini."
"Enggak bisa kayak gitu, Kak. Udahlah enggak usah difikirin namanya juga anak baru."
"Tapi, dia enggak sopan, Dek."
"Iya aku tahu, udah ah jangan marah-marah mulu banyak kerjaan hari ini, Kak," ucap Eldan menenangkan sang Kakak. Ethan menarik nafas dalam-dalam walaupun dia kesal tapi apa yang diucapkan Eldan ada benarnya juga dia punya adik perempuan. Sudah pasti kalau ada orang lain yang menyakiti adiknya, Ethan akan segera maju paling depan.