Takut Salah

1589 Words
Hari ini latihan basket pertama sejak aku resmi tergabung dalam tim putri basket di sekolah kami. Sebelum mengajukan pengunduran diri seperti yang dianjurkan kak Priska, aku memutuskan buat cek ombak dulu suasana latihan. Apakah aku bisa menahan diri untuk cuma melihatnya saja atau aku akan seperti biasa tidak dapat menahan diri dan menyapanya. Kalau sampai itu terjadi, maka aku harus segera cepat mencari alasan untuk berhenti. "Jadi gue bagian videoin nih?" "Nggak usah, nggak jadi." "Kenapa?" "Takut dia marah." "Beneran baik hati dan tidak sombong lho Tatiana Pratomo sekarang." Usil Ary menggodaku didepan Erin. "Sok tau!" Balasku. "Beneran, dari kemarin gue perhatiin lo banyak diam, nggak kayak ulet nangka nyamperin mas Dana seperti biasa. Kayaknya kata - kata cinta rahasia malam minggu kemaren ngefek banget ya Rin ..." "Mudah - mudahan aja, walau ntah apa yang mas gue bilang ke dia dalam perjalanan itu." Aku tertawa mendengar percakapan Ary dan Erin yang sangat penasaran apa yang aku bicarakan malam minggu kemarin itu. "Kalo penasaran, silahkan tanya sama yang bersangkutan dong." "Kenapa nggak lo aja sih yang cerita?" Ary lebih kepo dari pada Erin. "Karena dia yang ngomong pasti lebih pas dia yang ceritain. Tapi udah lah nggak usah kepo, yang penting dia ngomong baek - baek makanya aku juga jadi baek gini. Let's go kita kelapangan," ajakku ketika sudah berganti kostum. Dilapangan sudah berkumpul tim putra dan tim putri. Dari kejauhan, 'mata cinta' ku telah memindai sosok yang sangat aku kenal sudah berdiri dengan gagahnya diantara teman - teman 1 timnya. Aku langsung bergabung dengan tim putri yang beranggotakan beberapa kakak kelasku dan juga ada 5 orang dari kelas X sepertiku. Buat anggota baru sepertiku masih belum memakai seragam tim tapi hanya megenakan seragam PJOK selama latihan. Pak Imron masuk lapangan didampingi 3 orang laki - laki yang ntah siapa, tapi kalo dilihat dari postur dan pakaian yang mereka kenakan, sepertinya mereka akan terlibat dalam olahraga ini. Pak Imron meniupkan pluit dan meminta kami berkumpul. Kami berkumpul berdasarkan gender. "Selamat sore anak-anak, hari ini bapak perkenalkan Coach baru kalian untuk ekskul basket ini, ini namanya coach Hakim yang menjadi coach utama kalian nanti dan didampingi oleh coach Rifki dan coach Andi. Untuk kelas XII, kalian hanya akan ikut latihan hingga DBL selesai ya... abis itu fokus untuk ujian akhir...gitu ya Dana, Ivan, Rakha dan Roni. Buat yang baru bergabung...ikut aja latihan ini, nanti kalian juga akan mengikuti turnamen- turnamen lainnya." "Ya paak..." Sahut kami tidak seragam. Lalu coach Hakim mengambil alih latihan dan mulai mengabsen kami untuk lebih mengenal kami tentunya. Satu jam awal latihan aku mendapat bagian hanya pemanasan dan memperbaiki tehnik men-dribble bola dan layup, standard latihan yang sudah aku kuasai dari sd yang dilatih papa dan kakak - kakakku tentunya. Sebenarnya aku cukup mahir bermain basket, tapi entah kenapa rasa malas mama tertular padaku, padahal sejak dulu aku selalu rajin berolahraga basket dan juga berenang, karena ke 2 fasilitas itu ada dirumahku. "Tatiana, kamu masuk grup A ya ..." Coach Hakim memilihku masuk tim inti bukan tim cadangan. "Ya coach," jawabku. "Kita akan ikut DBL bulan depan ya, jadi kita akan latihan intensiv Senin sampai Jumat selama 1 bulan ini, nanti semester 2 dimulai, kita akan latihan normal lagi dan kelas duabelas sudah tidak ikut lagi ya." "Ya coach." "Oke, hari ini latihan selesai, sampai jumpa besok." Coach Hakim menutup sesi latihan. Aku menghampiri duo bestieku yang setia disisi lapangan. "Capek? Nih minum dulu." Erin menyodorkan minuman baru." "Thanks, kalian abis jajan?" "Nggak, tadi Keanan yang kasih." "Lha, dia nggak kemana - mana ... kan latihan bareng." "Dia titip uang buat beliin kita semua minuman." "Pasti nanti ada maunya, malesin banget sih." "Yang pasti dia nggak bakal minta main ke rumah lo lagi Na." "Jangan sampe ah ...awas ya kalo ada yang ngomporin." Ancamku "Nggak .... mana berani gue beride gitu." "Mas Dana udah mau pulang tuh." bisik Ary lagi. Terlihat mas Dana berjalan kearah kami. Dadaku sudah berdegup tidak karuan, aku mulai menyibukkan diri membongkar tas ranselku dengan salah tingkah. "Rin, mau pulang sama mas nggak?" Boleh aku yang gantiin Erina nggak? "Nanti aja mas, aku masih mau jajan ke depan sama Ana dan Ary." "Pulangnya sama siapa?" "Nanti di jemput sama mas Iyan." "Mas Iyan dari rumah? Mending sama mas aja, nggak usah jajan segala." "Nggak, mas Iyan dari kampus kok. Mas Dana duluan aja." Erin tetap menolak. Aku tetap tidak mau melihat kearahnya dan masih sambil mengeluar dan memasukkan isi tasku. "Yaudah, mas duluan." Pamitnya. "Kenapa lo Na, si jantung hati mendekat malah nggak mau nengok?" Tanya Ary. Aku melihat kearah mas Dana berdiri tadi, ternyata dia sudah membawa tas ranselnya dan mulai menjauh. "Gimana mau lihat, dia dekat sini aja aku deg - degan." "Dia emang nggak mau lihat, tapi pasti ngarep diajak pulang sama mas Dana," sahut Erin. Aku memberi cengiran ke Erin sebagai tanggapan. "Tahu ajaaah .... situ dukun ya?" "Nggak perlu jadi dukun kalo cuma mau nebak isi hati lo Na ... udah kebaca dari muka lo." Aku menjulurkan lidah mengejeknya. "Udah yuk, kita makan dulu ... aku traktir." "Aseeek ..." jawab Ary dan kami berdiri mulai meninggalkan lapangan. * Sudah 3 Minggu aku mengikuti latihan tanpa halangan. Ternyata aku berhasil tidak menyapa mas Dana sama sekali. Bahkan pernah kami sparring campuran, mas Dana sempat meyenggol bahuku dan membuat aku oleng dan terjatuh ... walau itu pelanggaran, mas Dana hanya melirik tidak berniat membantu malah Keenan yang menarik tanganku membantu berdiri. Ya sudahlah. Minggu depan hari pertandingan sudah dimulai. Aku sengaja tidak memberitahukan ke papa atau mama, soalnya nanti heboh mau ikutan nonton dan seperti biasa papa pasti banyak nanya, belum lagi kalau nonton trus briefingnya ngalah - ngalahin coach hakim ... mumet pokoknya. Nanti saja kalo lolos ke final baru aku kasih tahu ke papa dan mama. Hari ini kami pulang latihan terakhir minggu ini hampir jam 6 sore, hujan mulai rintik -rintik. Mas Misno belum jemput karena tadi aku bilang sama mama pulangnya sekitar jam 6 lewat, akhirnya mas Misno disuruh mama mengantarkan kue dulu ke Bintaro, ke rumah mbak Sarah dan setelah itu baru jemput aku. Ternyata latihanku lebih cepat selesai dan mas Misno terjebak macet diarea Tanah Kusir. Satu persatu teman latihanku pulang, hanya beberapa cowok yang membereskan bola - bola latihan yang masih tertinggal. Aku menunggu didekat pos satpam, sialnya Ary ada keperluan jadi tidak bisa menemaniku latihan hari ini, sedangkan Erin memang tidak masuk sekolah karena sakit. "Belum dijemput Ana?" Tanya pak Bowo Satpam sekolah yang sedang bertugas. "Iya pak, supirnya masih kena macet di Tanah Kusir." "O ya macetlah kalo sore begini, udah mau hujan nih ... nggak mau pesan ojek online aja?" "Nggak boleh pak, disuruh nunggu supir datang aja disini, lebih aman sama pak Bowo kata mama saya," jawabku sambil tersenyum. Evan dan Rio lewat pos satpam tempat aku duduk setelah menyimpan bola latihan. "Belum pulang Na?" "Lagi nunggu jemputan kak." "Wah, sayang gue boncengan berdua naik motor ... jadi nggak bisa nganterin. Tuh masih ada Dana dia bawa mobil, mugkin bisa nganter." Evan sambil berbicara melihat kearah belakang. "Dan ... Dana!" Panggilnya ketika melihat Dana muncul dari dalam sekolah. Lho ...kok dia belum pulang? "Apa?" Jawabnya datar. "Ana belum dijemput nih, lo kan bawa mobil ... bisa kali sekalian anterin pulang, udah mau hujan nih." Mas Dana hanya melewatiku. "Nggak bisa, gue ada janji dan udah mau telat." Aku tersenyum tipis. "Nggak apa - apa kak, makasih," jawabku agak lirih ke Evan dan melihat kearah mas Dana yang sedang menunggu kendaraan lewat sebelum menyeberang untuk mengambil mobilnya yang memang diparkirkan diseberang sekolah. "Maaf ya Ana ... mudah - mudahan supirnya cepet datang sebelum hujan." "Ya kak ..ada pak Bowo ...aman," jawabku sambil mengangkat jempol dan tersenyum. Aku tetap duduk di pos satpam sambil melihat ke seberang, mas Dana sepertinya baru saja memanaskan mobilnya dan siap mundur. Aku memutus pandangan dan mengambil hape dan berniat memainkan game sambil menunggu jemputan mas Misno yang ntah kapan datangnya. Baru selesai memainkan 1 game Bubble di s****e, pak Bowo memanggilku. "Ana dipanggil Dana tuh, mau diajak bareng kali," ucap pak Bowo dan membuat aku melihat kearah luar tapi aku tidak menemukan mas Dana, mobil sedannya memang terparkir di depan sekolah tapi dengan kaca tertutup. "Bukan kali pak, orangnya ada keperluan katanya tadi." "Lho ... tadi dia buka kaca nunjuk - nunjuk ke Ana." "Nggak tuh," jawabku lagi. Suara dihapeku tanda ada panggilan masuk yang ternyata pak Wagyo. "Neng Ana, bapak sudah di lampu merah belokan sekolah ya." "Lho pak Wagyo yanng jemput?" "Iya disuruh bapak, soalnya Misno masi kena macet." "Oke," jawabku lalu mematikan telpon. "Pak Bowo, makasih ya ...aku udah dijemput pak." "O syukurlah, hati - hati ... bilang sama Dana tuh masih nungguin." "Iya pak." Aku berjalan keluar pagar, tampak Range Rover sport papa sudah parkir dibelakang mobil mas Dana. Setelah aku keluar pagar, mas Dana tetap tidak membuka kaca jendelanya. Sebenarnya ini mau numpangin atau nggak sih? Aku jadi takut ge er kalo mengetuk kaca mobilnya, iya kalo pak Bowo benar kalo ternyata pak Bowo salah? Aku hanya melewati mobilnya tanpa berani melirik, aku menuju mobil yang dikendarai pak Wagyo. Setelah aku masuk ke mobil, pak Wagyo langsung menjalankan mobil dan melewati mobil mas Dana yang masih berhenti di depan sekolah. "Langsung pulang neng?" "Iya pak." jawabku sambil melihat ke belakang ternyata mobilnya masih belum bergerak. Bodo amatlah, berarti dia memang bukan menunggu aku, untung tadi aku tidak mengetuk kaca jendelanya. Tanpa Ana tahu Dana hendak membuka pintu mobil sesaat setelah Ana melewatinya begitu saja dan langsung masuk ke mobil yang parkir di belakang mobilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD