Setelah berhasil mengajak kerjasama mas Misno untuk tidak membocorkan rencana ini ke papa, kami janjian ketemuan di Citos dengan rombongan yang akan naik mobil yang dikendarai mas Misno.
Aku cuma bisa menceritakan betapa dinginnya tanganku ketika harus menghampiri mobil mas Dana dan salah tingkah tidak karuan. Peragaan busana yang pernah aku jalani dan ditonton banyak orang dikalangan atas tidak pernah membuatku grogi atau demam panggung, tapi hanya duduk disebelah Teguh Pradana sudah menguras segala energi yang aku punya supaya bisa tetap berdiri dan bergerak dengan sempurna.
Pewangi mobil yang beraroma kopi menyergap hidungku ketika masuk kedalam mobilnya dan duduk dikursi penumpang disebelah kiri pengemudi. Hawa dingin dari ac mobil yang sudah dinyalakan beberapa menit sebelum aku masuk, mendramatisir keadaanku yang sedang panas dingin ini. Salah tingkah, antara senang dan grogi berada didekatnya. Apakah satu jam kedepan aku mendapatkan perlakuan yang baik darinya? Let's see.
"Dalam rangka apa kamu ikut ke Sentul?" Tanyanya membuka pembicaraan 5 menit pertama sejak mobil meluncur meninggalkan taman budaya dan sudah menujui pintu tol Jagorawi.
"Diajak Dudi, " jawabku tanpa berani menoleh.
"Padahal aku udah senang beberapa hari ini tanpa gangguan dari kamu, kenapa hari ini harus lihat wajah kamu lagi?"
Aku tersenyum masih dengan tidak menoleh kepadanya tapi aku merasakan sedang dipandang dari samping, ntah pandangan seperti apa.
"Apa yang lucu?" Tanyanya sambil membuka kaca hendak menempelkan kartu tol.
"Ya lucu aja, aku datang ke Sentul diajak Dudi, trus salahku dimana? Kalo memang nggak mau lihat ya sudah, jangan dilihat. Trus kenapa sekarang harus ajak aku ikut disini?"
"Gimana nggak mau lihat kalo kamu ada di depan mataku? Dan jangan ge er juga kalo aku ajak kamu sekarang... aku malas jadi bulan-bulanan si Andro dan teman - teman kamu."
Kali ini aku berani menoleh menatapnya.
"Salah aku apa sih sama mas Dana? Boleh kasih tahu letak salahnya?"
"Aku nggak suka kalo kamu selalu ada didekat aku ... dan aku tidak suka jadi bulan-bulanan orang lain gara - gara kamu!"
"Lho...kan tadi aku juga nggak bikin apa - apa yang memancing orang lain jadiin kamu bulan-bulanan mas ... teman kamu sendiri yang bikin kehebohan."
"Ya...setiap ada kamu pasti kehebohan itu terjadi, tahu karena apa? Karena kamu sudah keterlaluan nggak tahu malu terus menerus deketin aku. Kamu pikir Andro bener- bener lugu nggak tahu apa-apa dengan apa yang kamu lakukan untuk meminta perhatian aku? Mereka semua tahu! Itu yang bikin aku muak sama kamu!"
Aku sedikit terkesiap mendengar ucapannya barusan.
"Maaf..."
"Ya...kamu memang harus minta maaf, tapi itu tidak cukup. Bisa nggak kamu menjauh sejauh - jauhnya? Aku benar- benar nggak tertarik sama kamu, bahkan seujung kuku."
Tesss ... Kali ini airmataku mulai jatuh, kok baru terasa sakit ya ...
"Aku kasih tahu sama kamu ya, tidak semua cowok suka didekati dengan cara yang kamu lakukan, mau kamu merasa cantik kayak apapun, tetap saja sebagian cowok tidak suka didekati dengan cara murahan... dan sebagian cowok itu termasuk aku."
"Kalau aku berubah?"
"Nggak akan ada efek apa - apa sekarang, aku sudah terlanjur muak lihat kamu."
Astaga...kejam sekali dia. Tidak ada baik - baiknya sedikitpun. Kenapa aku harus jatuh cinta kepada orang ini ya?
Aku mengalihkan pandanganku ke kiri jalan, rasanya memuju ke citos itu jarak yang jauh sekali.
"Maaf..." hanya itu lagi yang bisa aku ucapkan saat ini.
Aku menyeka air mataku dengan tisu yang ada didepanku.
Ternyata rencanaku tinggal rencana. Kalo beberapa hari yang lalu dia mengucapkan kata-kata penuh emosi malah membangkitkan adrenalinku untuk terus mengejarnya, tapi sekarang dia mengucapkan kalimat - kalimat itu dengan santainya, layaknya pembunuh berdarah dingin.
Setelah kata 'maaf' ku tadi, tidak ada lagi pembicaraan diantara kami. Akupun sudah tidak berniat berkata - kata.
Kurang dari 1 jam kami sudah tiba di Citos tentu saja dia mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, dan mas Misno belum ada karena kami tadi juga jalan duluan.
"Sudah dimana mobil kamu?" Tanyanya ketika kami sudah berputar balik dan hendak masuk ke area Citos.
"Nggak tahu."
"Telpon aja Dudi."
"Nggak usah, nanti biar aku tunggu mereka di lobby aja."
"Maksudnya aku mau mengajak Erin pulang bareng, bukan mau nungguin kamu."
"Owh ...," jawabku datar tanpa minat.
Aku mengetikkan pesan wa ke Erin, dan bilang bahwa aku sudah sampai dan lelaki disebelahku ini sedang menunggunya untuk mengantarkan dia pulang karena memang rumah mereka searah dan berdekatan. Aku langsung mendapat jawaban dari Erin yang mengabarkan mereka masih berada diarea Kampung Rambutan.
"Terimakasih ya tumpangannya." Aku mencoba membuka membuka pintu mobilnya yang masih dalam keadaan terkunci.
"Nanti aja turunnya kalau mereka sudah sampai," ucapnya dan tetap tidak membukakan kunci sentralnya.
"Nggak usah, aku takut mas Dana keburu muntah kalo masih lihat aku masih disini ..., nggak apa - apa aku tunggu di lobby sana," jawabku.
"Ya ... dan kamu nanti akan drama bilang ke teman kamu bahwa aku sudah bikin kamu sedih?"
"Bikin sedih? Memangnya apa yang mas Dana lakukan yang bikin aku sedih? Nggak ada tuh."
"Itu kamu sampai menangis."
"Aku nangis karena merasa menjadi orang bodoh dan sial berada dimobil ini. Bukan karena sikap mas Dana tadi," jawabku yang langsung membuka pintu mobil sendiri tanpa menunggunya lagi.
"O ya ...thanks tumpangannya ...it's very nice trip anyway..." Aku menutup pintu dengan santun dan meninggalkan mobilnya menuju area lobby.
Sesampainya di lobby aku langsung menuju area belakang menuju toilet untuk mencuci muka. Sebelum tiba di toilet aku sempat menelpon Erin.
Panggilan ke 2 Erin sudah menerima telponku.
"Rin ... kalo udah dekat bilang ya, aku lagi mau ke toilet nih."
"Mas Dana mana?"
"Dia parkir depan Jco, nggak bisa turun karena parkir penuh, jadi paralel depan sana, nanti kamu cari aja mobilnya."
"Owh oke, sekarang udah depan pertanian, paling sepuluh menit lagi sampe."
"Oke ..kamu langsung aja pindah ke mobilnya mas Dana ... mas Misno parkir didepan aja, aku masih antri ke toilet."
"Ya, gue langsung pulang aja, Dudi sama Ary ikut lo ya ... supir Dudi udah nunggu di rumah lo."
"Sip .."
"Sampe ketemu Senin di sekolah ya."
"Okay ... bye."
Aku menutup sambungan telpun dan menyimpan hapeku didalam tas. Lalu aku masuk ke toilet dan mencuci muka sebentar dan kembali kearah lobby.
Mobil mama yang dikemudikan mas Misno tampak masuk ke lobby depan Citos dan aku lihat Erin sudah turun dan berjalan menuju mobil mas Dana, setelah itu aku baru menampakkan diri keluar dari kerumunan orang yang berdiri di lobby menunggu mobil jemputan seperti aku sekarang.
"Udah lama?" Aku bertanya ketika masuk mobil seolah tidak melihat mereka datang tadi.
"Baru aja, belum ada lima menit," jawab Ary.
"Kita sekarang kemana neng Ana?"
"Langsung pulang ya pulang aja. Papa nelpon nggak tadi mas?"
"Nggak neng ... cuma tadi aja sebelum ke taman budaya. "
"Jangan bilang ya mas."
"Iya neng."
"Gimana tadi?" Ary penasaran.
"Biasa aja."
"Ngobrolin apa aja?"
"Kepo deh!"
"Ih pelit banget sih lo Na ..." Ary mulai kesal.
Aku tersenyum tipis melihat raut wajah Ary.
"Nggak ngobrol apa - apa kok."
"Masak iya satu jam diam - diaman?"
"Ya maksudnya nggak ada yang penting kok, cuma ngobrol ringan - ringan aja."
"Ya ngobrolin apa?"
"Ngobrolin sekolah, teman - teman ...ya biasa aja sih."
"Yaahhh .... nggak ada kemajuan dong namanya." Sepertinya Ary kecewa tidak mendapatkan apa yang dia harapkan.
"Ya kemajuan dong Ry ... biasanya Dana nggak mau ngobrol sama Ana." Sahut Dudi.
"Tuh ... Dudi aja pinter, masak lo nggak bisa menarik kesimpulan sih?" Aku berakting seolah tidak terjadi apa - apa.
"Trus abis ini ada janjian lagi nggak?"
"Ehm ... nggak ngomong janjian apa - apa sih, paling ketemu latihan basket di sekolah aja."
"Ikut gue lagi aja dua minggu lagi ngedrift Na, bulan depan di Kemayoran, kan lebih dekat dari pada ke Sentul."
"Ya boleh aja kalo nanti pas bisa.."
"Wah Ana pasti nggak bisa tidur malam ini, berasa dapat durian runtuh naik mobil mas Dana." Ary berkomentar dengan maksud menggodaku.
"Iya doong, aku nggak bisa tidur nyenyak setelah ini." Jawabku dengan tersenyum manis walau hati perih.