Sebenarnya … kalau sudah basah harusnya sekalian nyemplung, kan, ya? Tapi tak tau, lah, ini nasib kami ke depannya gimana.
Jadi malam pertama tidak, ya, kira-kira?
Dengan perasaan tak karuan dan hati yang terasa makin ser-seran, aku buru-buru memalingkan wajah dan membalikkan badan, begitu melihat sesuatu yang berbeda dari dalam diri Mas Daniel.
Iya, sesuatu yang berbeda. Tanpa aku jelaskan pun kalian pasti sudah paham, kan, ya?
Eh, tunggu-tunggu! Apa tindakanku kali ini tepat? Bukankah tadi itu rejeki nomplok?
Ya Salam, kok jadi galau begini, sih? Kira-kira dia lagi ngapain, ya, sekarang?
Intip dikit, boleh?
Dengan hati berdebar, aku sedikit memicingkan mata saat mencoba menoleh pada dirinya yang tampil apa adanya.
Iya … apa adanya! Ya Allah, ini pertama kali bagiku melihat bentukan aneh seperti itu.
Awas! Travelling lagi!
"Jangan coba-coba balik badan! Atau—."
Aku mendengkus pelan. Rasanya dia yang salah, kok, malah jadi dia yang marah?
Siapa juga yang menyuruhnya menjatuhkan handuk? Tak ada, kan?
Eh, tapi, ataunya tadi atau apa, ya kira-kira? Kok kedengarannya menggantung begitu, sih?
Apa maksudnya … dia mengancam mau bikin aku hamil? Lah, kan memang itu tujuanku. Eh salah, tujuan mama mertua.
Aku mengurungkan niat untuk curi-curi pandang begitu kena semprot. Serem juga dia kalau marah.
"Sudah belum?"
"Belum. Berdiri aja di situ!"
Loh, kok jadi seperti sedang main petak umpet? Kalau begini ceritanya, kapan main perang-perangannya, coba?
Aku berdiam diri cukup lama dengan posisi membelakangi suamiku. Tak berani menoleh karena takut diamuk. Kalau ngamuknya dalam bentuk lain tidak apa-apa. Tapi kalau dia ngamuknya beneran, ogah!
"Sudah."
Lihatlah, kami memang persis seperti sedang main petak umpet, 'kan?
Aku pun lantas membalikkan badan pelan.
What?
Ya ampun! Kenapa dia sudah pakai baju?
"Mas, kok, kamu—?" Lidahku mendadak kayak keseleo.
"Apaan?"
Aku menggeleng pelan.
"Kamu, tuh, ngapain pakai baju begitu? Beli di mana?" Suamiku memandangku dengan tatapan menyepelekan. Padahal, dalam hati siapa tau. Bisa jadi dia tergoda, kan? Nyatanya dia tadi sampai salting begitu tadi.
"Beli di—."
Ya Allah haruskah aku berkata jujur dan mengatakan kalau ini adalah pembelian mertua?
"Eh, udahlah nggak penting juga beli di mana." Mas Daniel memotong cepat ucapanku sebelum merebahkan diri di atas ranjang yang menjadi saksi sepasang pengantin baru cuma tidur bersama tanpa melakukan apa-apa.
"Mas, umur kamu, kan sudah 28—." Aku menyusul dirinya berjalan menuju ranjang dengan langkah ragu.
"So?" Suamiku menaikkan sebelah alisnya seraya menarik selimut setelah tubuh gagahnya ia baringkan di tempat tidur berukuran king size ini.
"Kamu nggak pengen gitu punya—." Aku menjatuhkan diri di bibir ranjang dengan canggung.
"Apa?"
"Baby."
Mas Daniel tertawa lebar. Geligi putihnya yang tersusun rapi membuatku resah dan meleleh.
"Belum nemu calon ibu yang cocok."
Aku membeliak. Menatapnya lekat-lekat.
What? Jadi selama dua hari ini kamu menganggapku apa, Mas? Calon Bupati? Aku ini calon ibu dari anak-anakmu, Mas! Calon ibu dari anak-anak kita ….
"Eh … udahlah, yuk tidur! Udah malam."
"Langsung tidur gitu?"
"Iyalah, emang mau ngapain?"
"Ya … ngapain gitu, kek." Aku membalas pertanyaan yang sebenarnya retorika itu sambil memilin jari dengan kaku.
"Bikin baby? Ngimpi!" Dia tergelak tanpa perasaan. Sudah seperti j****y saja aku, 'kan? Padahal, bukan aku satu-satunya orang yang menginginkan baby, tapi mama mertua juga. Tapi, kenapa aku yang nyesek?
"Satu lagi, ganti bajumu sana! Ntar kalo masuk angin, aku yang repot." Mas Daniel memperingatkan sebelum benar-benar tidur.
"Kenapa kamu yang repot, Mas?"
Mas Daniel berdecak sebal.
"Pake nanya lagi! Ya aku lah yang disalahin sama Mama!"
Huh! Rupanya itu alasannya.
***
"Lintang, kenapa rambutmu ….?" Pagi ini, aku yang sedang menuruni tangga sebelum berjalan menuju dapur, dihadang oleh pertanyaan penuh keheranan dari mama mertua cantik yang punya dua anak laki-laki.
"Gagal, Ma." Aku menjawab lesu begitu sampai di undakan terbawah.
"Kok bisa? Apa lingerie-nya kurang hot?" Mama mertuaku yang sudah lebih dulu ada di lantai dasar, mengernyitkan dahi penuh keheranan.
Aku menarik napas pelan.
"Mama yakin, 'kan kalau dia suka sama cewek?" tanyaku lirih saat jarak aku dan mama mertua nggak terlalu jauh.
"Yakinlah." Tak ada keraguan yang kutemukan dari cara mertuaku menjawab. Jika sudah begini, siapa yang salah?
"Terus, kenapa dia kayak jijik, ya, Ma, sama Lintang? Apa Lintang jelek?"
Mama mertua menggeleng lantas menatapku sendu.
"Siapa bilang kamu jelek?"
Sebenarnya memang dia tidak pernah secara terang-terangan mengatakan aku jelek. Cuma dari cara suamiku bersikap bukankah sudah cukup menegaskan kalau aku sama sekali tidak menarik?
"Apa karena Lintang cewek miskin? Makanya Mas Daniel jijik?" tanyaku saat rasa sendu tiba-tiba datang menyerbu dadaku.
"Enggak, Sayang. Jangan pernah merendahkan diri seperti itu, ya. Kita semua sama di mata Allah."
Ah, betapa aku beruntung bukan, karena dapat mertua baik? Bukan seperti emak-emak mertua yang menyeramkan seperti dalam cerita drama rumah tangga favorit temanku.
***
"Ma, pergi dulu, ya." Mas Daniel yang telah siap dengan pakaian kasual dan kamera DSLR yang menggantung di leher, membuat aku dan mamanya yang tengah bercengkrama di ruang tengah, tersentak.
"Ke mana lagi? Kemarin mancing, hari ini mau jadi fotografer. Waktu buat istri kamu kapan, Dan?"
Aku meremas pelan jemariku ketika Mas Daniel memandangku dengan tatapan tak bersahabat begitu sang mama mengolok dirinya.
"Pokoknya, Mama nggak mau tahu, kalau mau pergi, bawa Lintang!"
"Tapi, Ma—."
"Nggak usah, Ma." Aku buru-buru menyela. Benar sungguh, lebih baik aku tidak usah pergi kalau cuma dianggap beban sama laki-laki sombong ini.
"Tuh, kan, Lintangnya aja nggak mau."
Aku bangkit dan buru-buru masuk ke kamar. Saat merasa diri ini sebenarnya tak pantas menikah dengan lelaki kaya seperti Mas Daniel.
"Dasar Cengeng! Buruan ganti baju!" Aku yang sedang terisak di sudut kamar, dibuat terkejut saat menyadari Mas Daniel menyusul langkahku ke kamar.
"Mau ngapain?" tanyaku meski dengan perasaan sesak.
"Jalan lah, apa lagi?"
"Enggak, aku mending di rumah aja. Nanti kamu malu."
"Dasar baperan!"
"Dasar angkuh! Aku nggak mau ikut!"
"Harus ikut! Jangan membantah! Suami bilang ikut, ya ikut!"
Ya ampun, sejak kapan pabrik gula pindah ke sini? Kok rasanya manis bener pas dia menyebut diri sebagai suami aku?
***
Suamiku yang katanya sedari dulu hobi dengan fotografi, tampak fokus dengan kamera di tangan. Asal menemukan objek yang indah di tempat wisata alam yang kami sambangi, dia akan mengambil gambar dan menjepret dari berbagai sudut.
Keberadaanku di sini rupanya tak lebih dari pelengkap yang mendampingi dia untuk menyalurkan hobi. Jangankan diajak ngobrol sesekali, menoleh padaku yang berjalan di sampingnya pun tidak.
Benar, aku seperti tak terlihat di matanya.
Tahan … jangan nangis, nanti dikata baperan!
"Dan, sebenarnya … bini lu tuh Lintang, apa kamera?"
Mas Daniel menghentikan aksi jeprat-jepret ketika ada seseorang yang menegurnya.
Dia … Gerald, 'kan? Sepupu suamiku?
"Apaan, sih, lu. Masa iya gue foto-foto sambil gandeng tangan dia. Ngaco lu!" Mas Daniel akhirnya bersuara setelah sekian lama diam dan fokus dengan kamera kesayangan.
Gerald mendengkus kecil.
"Ya udah, pinjem bini lu bentar, ya, Dan."
Suamiku menatap sepupunya dengan tatapan waspada.
What? Pinjem Gerald bilang? Memangnya dikira aku korek api?
"Pinjem buat apaan?" sahut suamiku dengan pandangan galak.
"Mau diajak foto bareng, terus aku kirimin ke Shila. Biar dia tau kalau gue udah move on," balas Gerald santai.
"Lah, ya, jangan bini gue juga kali, yang elu jadiin pacar abal-abal!"
Wah … sepertinya ada yang mulai cemburu ini.
"Alah … pinjem bentar. Lima menit, ya."
"Terserah deh, terserah!" Aku tak tahu kenapa dia terlihat kesal saat sepupunya meminta izin untuk menjadikanku sebagai kekasih palsunya. Mungkinkah dia memang cemburu?
Ah, rasanya tidak mungkin. Jangan terlalu percaya diri, Lintang!
Gerald menarik tanganku dan membuat aku dan dirinya sedikit menyingkir dari hadapan Mas Daniel.
"Satu … dua … ti—."
Aku buru-buru menjauhkan wajah saat menyadari Gerald secara tiba-tiba seperti ingin mengecup pipiku.
Lancang juga adik Mas Andre ini. Apa dia ingin merasakan sandal jepit yang kupakai melayang di wajahnya?
"Heh! Apa-apaan lu! Jangan ngeduluin gue lu buat cium-cium si Lintang! Itu jatah gue yang belum gue ambil!" Mas Daniel berjalan mendekat dengan raut wajah … marah?
Apa? Jatah yang belum diambil?
Eh, ya ampun, apa Mas Daniel menyamakan aku dengan ... raskin? Atau … bantuan langsung tunai seperti program pemerintah?