Saat ini perasaan Mona sangat galau karena memikirkan Kiara di rumah. Tidak biasanya Ijah bersikap aneh seperti itu, apalagi sampai meninggalkan Kiara saat bermain sendirian. Tadi, Ijah juga menutup teleponnya dengan sengaja. Sementara ia belum selesai berbicara. Saat Mona mencoba untuk menghubungi nomor ponsel Ijah lagi, telepon sudah tidak bisa tersambung.
Meski sangat ingin untuk pulang ke rumah dan melihat sendiri keadaan di sana, akan tetapi hal itu tidak bisa dilakukan oleh Mona saat ini. Tugasnya sebagai seorang tenaga pengajar masih harus tetap dipenuhi untuk hari ini. Jadi, agar pikirannya tidak berlarut mengenai keadaan di rumah, Mona berusaha untuk bermain dengan murid-muridnya sampai jam pulang sekolah.
“Mon, temani aku ngafe dulu, yuk!” ajak Citra, salah seorang sahabat terdekat Mona yang juga berprofesi sebagai guru di tempat yang sama dengannya.
“Sorry, Cit. Aku buru-buru mau pulang dulu nih.” Mona menjawab dengan tergesa-gesa membereskan perkakas mengajarnya.
“Emang kenapa? Ada apa di rumah?” tanya Citra penasaran.
“Perasaan aku nggak enak, Cit. Tadi, Ijah bersikap lain saat aku menelponnya. Dia juga membiarkan Kiara bermain sendiri dengan alasan sedang sibuk mengerjakan pekerjaan dapur.”
“Wah, nggak bisa dibiarkan tuh. Aku sih udah lama punya feeling nggak bagus tentang ART kamu itu, Mon. Dia kaya punya maksud lain gitu pokoknya.”
“Maksud lain apa?”
Citra teringat saat ketika ia bermain ke rumah Mona minggu lalu. Mona sedang ke kamar karena Kiara terbangun dari tidurnya dan Citra menunggu di ruang tamu. Namun, perasaan haus tiba-tiba saja menyerang tenggorokannya.
Citra memang sudah biasa bermain di rumah Mona karena memang mereka adalah teman dari bangku sekolah. Itu sebabnya, Citra tidak sungkan lagi untuk langsung ke dapur dan mengambil segelas air.
Namun, saat akan kembali ke ruang tamu ia mendengar bahwa mobil Danu terdengar memasuki garasi. Diam-diam Citra berdiri pada posisinya saat ini saat melihat Ijah yang langsung keluar dari kamarnya.
Kamar Ijah berada tepat di sebelah garasi mobil. Ijah mengambil tas kerja Dani dan menciumi lelaki itu dengan sengaja. Tak lupa, tangan Dani meremas b****g Ijah dengan sedikit seringai di bibirnya.
Jujur saja, Citra merasa sangat terkejut melihat pemandangan itu. Ia tidak menyangka bahwa suami sahabatnya itu ada main dengan pembantunya sendiri. Namun, Citra belum sempat menceritakan kejadian itu pada Mona karena beberapa alasan yang sulit dijelaskan.
“Cit!” panggil Mona yang melihat Citra justru melamun saat ia tanya tentang maksud apa yang sedang ia bicarakan.
“Ah, iya. So-sorry, ya. Aku tiba-tiba juga teringat ada janji dengan Lukman. Kamu tau kan kalau pernikahan kami tinggal beberapa minggu lagi. Kami harus menyiapkan banyak hal.” Citra berusaha untuk tetap tenang di depan Mona. Ia tidak ingin menambah kegalauan yang sedang dirasakan oleh sahabatnya itu.
Citra juga tidak mau mengatakan semua tanpa bukti. Ia takut kalau Mona justru berpikir bahwa ia sedang berbohong. Jadi, Citra berencana mengatakannya saat nanti ia mempunyai bukti yang akurat dan akan meminta bantuan calon suaminya untuk menyelidiki Danu. Ia yakin ada yang tidak beres antara Danu dan Ijah. Antara majikan dan pembantunya itu pasti ada hubungan terlarang.
“Ya udah kalau gitu. Aku duluan, ya. Aku nggak sabar lagi nih mau liat Kiara,” ucap Mona dan segera memberikan cipika cipiki pada sahabatnya.
“Hati-hati bawa motornya, Mon!” ujar Citra mengingatkan Mona sebelum Mona memutar pedal gasnya dan berlalu dari lapangan parkir.
Mona melalui perjalanan yang sepertinya ia merasa cukup jauh dari biasanya. Padahal, jalan itu lah yang selalu ia lalui setiap hari. Setiap pagi dan siangnya. Kebetulan, siang ini Mona pulang lebih awal karena pihak sekolah mengadakan sesuatu rapat yang penting dan memulangkan murid lebih awal. Namun, Mona meminta izin untuk tidak bisa menghadiri rapat tersebut.
Dalam hatinya terasa tidak karuan saat memikirkan Dani yang mungkin masih di rumah saat ini, dengan Ijah yang notabane-nya adalah seorang janda muda. Semua adalah hasil keputusan Dani sendiri dan tidak berunding pada dirinya saat memutuskan untuk memperkerjakan Ijah sebagai ART di rumah mereka.
“Kok sepi?” tanya Mona dalam hati saat memasuki ruangan dalam rumahnya.
Mona mengetuk pintu kamar Ijah dan tidak ada jawaban. Mona memberanikan diri untuk mendorong pintu kamar pembantunya itu. Kosong. Tidak ada siapa pun di dalamnya. Mona memang sengaja tidak bersuara seperti biasanya. Jika biasanya ia akan memanggil Kiara atau Ijah saat pulang ke rumah, kali ini hal itu tidak ia lakukan demi sebuah tujuan.
Ia ingin memergoki apa yang sedang dikerjakan oleh pembantunya itu di luar pengawasannya dan Dani. Jadi, andai nanti Ijah memang melakukan kesalahan, ia punya alasan kuat untuk meminta Dani memecatnya. Sejujurnya, Mona tidak suka jika di rumahnya ada seorang pembantu. Apalagi seorang perempuan yang tinggal di sana juga. Tentu saja hal itu bisa mengundang banyak hal yang tak diinginkan nantinya. Mengingat bahwa Dani lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah.
Itu juga membuat Dani jadi tidak perhatian pada Kiara karena merasa sudah ada Ijah yang akan mengurus segala keperluan Kiara. Dengan mengendap-endap seperti seorang pencuri di rumahnya sendiri, Mona menyusuri tiap ruangan di lantai bawah. Tidak beruntungnya Mona, karena tidak menemukan Ijah dimana pun di lantai dasar ini. Tempat di mana seharusnya ia berada dan mengerjakan semua pekerjaannya. Itu karena lantai atas hanya berisi kamar pribadinya dengan Dani dan juga kamar tidur Kiara.
Dengan jantung berdegup kencang, ia memutar tubuhnya dari arah dapur dan perlahan menaiki anak tangga. “Pasti Ijah sedang menemani Kiara tidur. Ini sudah jam tidur Kiara,” gumam Mona saat melirik angka di jam tangannya.
“Kau sangat luar biasa, Sayang! Aku tidak menyesal memasukkanmu ke dalam rumah ini!” ucap suara seorang pria yang sayup-sayup didengar oleh Mona saat langkahnya baru saja sampai di lantai atas.
“Tentu aja, Sayang. Aku ini bukan perempuan bodoh kayak istri kamu yang kampungan dan miskin itu. Beda kelas banget. Aku sampai bela-belain jadi pembantu gini demi bisa terus bersama kamu!” balas suara perempuan yang dikenal Mona sebagai suara pembantunya itu.
Deg!
“Apa yang sedang terjadi di dalam kamarku? Kenapa Ijah dan Dani bicara seperti itu?” bathin Mona dengan perasaan hancur berkeping-keping. Ia menyadari bahwa Dani sudah mengkhianatinya saat ini. Terlebih, wanita itu adalah Ijah sang pembantu yang sudah satu tahun bekerja di kediaman mereka itu.
“Tapi kan aku memanggil pekerja harian untuk melakukan semua pekerjaan rumah itu dan kamu nggak melakukan apa-apa.” Suara Dani terdengar sangat jelas saat Mona berada di depan pintu kamar pribadinya.
Saat Mona ingin mendobrak pintu kamar itu, tiba-tiba sebuah tangan kecil yang halus terasa menyentuh telapak tangannya.
“Mama … ssstt … jangan berisik dan jangan ganggu papa. Papa lagi diobatin sama Bi Ijah karna sakit kepala. Nggak boleh masuk sebelum Bi Ijah keluar kamar,” bisik gadis kecil itu dengan polosnya dan seketika air mata Mona runtuh dan ia langsung memeluk tubuh kecil tubuh itu dengan erat.
“Tega sekali kamu, Dan. Melakukan hal memalukan itu di depan anakmu sendiri! Kau anggap apa diriku?” lirih Mona yang berusaha menahan rasa sakit dan kecewanya atas pengkhianatan Dani padanya itu.