Bukan Pembantu Biasa

1085 Words
Hati Mona terasa sakit mendengar ucapan Dani yang menyudutkannya. Terlebih lagi, Dani tanpa merasa bersalah justru pergi dengan tetap menggandeng tangan pembantu tidak tahu diri itu. Mona kembali berjalan ke arah taman belakang dengan tangis yang tidak bisa lagi dia tahan. “Kenapa Mama nangis?” tanya Kiara yang melihat kedatangan Mona dari kejauhan. Mona berjalan mendekati Kiara dan memeluk tubuh gadis kecilnya itu. “Nggak apa-apa kok, Sayang. Mama hanya kelilipan tadi kena debu di dekat pintu dapur,” jawab Mona dengan berbohong pada putrinya itu. “Oh. Mama mau Kakak tiupin matanya nggak?” tanya Kiara penuh perhatian. Mona mengurai pelukannya dengan Kiara dan berusaha untuk tetap tersenyum. “Boleh deh. Siapa tau aja jadi makin cepat sembuhnya.” “Sini biar Kakak tiup.” Kiara meniup mata Mona yang terbuka lebar dengan tiupan yang lebih banyak encesnya dari pada anginnya itu. Hal lucu itu lantas membuat Mona dan Citra sama-sama tertawa karena merasa kejadian itu sungguh membuat mereka terhibur. Apalagi bagi Mona yang saat ini jelas sedang merasa sangat bersedih karena pria yang selama ini dicintainya telah berkhianat. Meski pun Mona tahu bahwa selama ini pun Dani tidak pernah mencintai dirinya. Namun, dengan berselingkuh seperti ini semakin memberikan luka yang dalam di hati Mona. Sudah lah cintanya tidak dibalas sampai empat tahun pernikahan, sekarang justru rumah tangganya sudah ternoda dengan perselingkuhan Dani. “Makasih, Sayang. Sekarang, Kiara main dulu sama kelincinya, ya. Mama mau ngobrol sama tante Citra. Kakak mau kan, Sayang?” tanya Mona dengan sangat lembut setelah memberikan apresiasi pada sikap dan perhatian Kiara padanya. “Mau, dong Mama. Kakak kasih kelincinya kangkung boleh kan?” “Boleh banget, Sayang. Asal jangan banyak-banyak, ya. Kasih satu ikat aja buat mereka bertiga.” “Siap, Mama cantik.” Kiara mengacungkan jempolnya dan kaki mungil itu segera berlari menghampiri kandang kelinci yang tidak jauh dari kolam ikan. Sementara Citra sudah menunggu dengan kelanjutan yang terjadi tadi. Dia sama sekali tidak tahu bahwa rencana penggerebekan itu ternyata sudah gagal total. “Udah kelar semuanya, Mon?” tanya Citra dengan perasaan sedih melihat nasib pernikahan sahabatnya itu. “Gagal semuanya, Cit!” jawab Mona dan membuat Citra melotot tak percaya. “Sini deh, duduk dulu. Gagal gimana maksud kamu?” tanya Citra lagi dan menarik tangan Mona untuk duduk di kursi kayu di bawah pohon mangga yang sedang berbuah lebat. “Gagal, Cit. Gagal! Dia bisa berkilah dan memang buktinya nggak cukup. Semua orang udah pulang, dan dia justru pergi sama si pembantu nggak tau diri itu,” ungkap Mona lagi menjelaskan kepada Citra semuanya. “Tunggu ... tunggu! Aku masih nggak bisa paham. Kamu ceritain semuanya sama aku dari awal kamu ke sana tadi. Pelan-pelan dan nggak sauah pakai nangis. Bisa?” tanya Citra serius pada Mona. Mona mengangguk dengan sepenuh hatinya dan berusaha untuk tetap tegar. Dia tidak ingin berlama-lama larut dalam kesedihan dan rasa kecewanya itu. Sebagaimana dia yang memang sudah bertekad bahwa tidak akan pernah menuntut Dani untuk membalas cintanya, seperti itu sekarang dia menguatkan hatinya dengan alasan bukan Dani yang menyakitinya tapi dirinya sendiri yang membuat hatinya tersakiti. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu menceritakan semuanya kepada Citra secara perlahan dan juga jelas. Hingga Citra memahami semuanya dan juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi saat ini. Namun, jelas saja Citra merasa geram kepada Dani dan Ijah yang masih tidak punya muka di depan Mona. “Maaf, aku udah ganggu kamu untuk segera datang ke sini tadi. Tapi, ternyata semuanya gagal total.” Mona berkata dengan sungguh-sungguh pada Citra. “Ya ampun, Mona! Kamu apa-apaan sih? Aku tuh kebetulan emang lagi jalan dekat sini karena nggak jadi pergi ke cafe. Aku memang mau mampir karena aku juga khawatir sama Kiara.” “Makasih, Cit. Kamu selalu ada untuk aku dan selalu bersama aku selama ini. Sekarang, aku benar-benar merasa sangat rapuh, Cit. Aku ingin menangis, tapi aku nggak mau Kiara ikut merasakan kesedihan ini dan tau penyebabnya.” “Sayang ... kamu harus kuat. Jangan terlihat lemah di depan mereka. Kalau nggak, mereka akan terus menginjak injak kamu dan menyakiti perasaan kamu. Kita akan tunggu waktu yang tepat dan bukti yang akurat untuk membongkar perselingkuhan mereka itu,” ungkap Mona yang merasa sangat geram pada kelakuan Dani dan Ijah. Seharusnya, Dani merasa bersyukur dan beruntung karena memiliki Mona sebagai istrinya. Mona mencintai dirinya, menjadi istri yang penurut dan tidak banyak menuntut. Sudah memberikannya seorang anak perempuan yang cantik dan cerdas. Dan Mona juga seorang wanita karir yang tentu saja menjadi menantu idaman para mertua di luaran sana. “Aku harus kuat, Cit. Aku memang harus kuat!” ucap Mona yang berjuang untuk menguatkan dirinya sendiri. Dia tidak boleh jatuh dan terpuruk sekarang. “Kamu pasti bisa! Aku sangat yakin kalau kamu adalah wanita yang kuat! Kamu adalah wanita tangguh dan pemberani!” ujar Citra pula. “Sekarang, aku nggak tau mereka pergi ke mana. Yang pasti, aku udah nggak mau lagi satu ranjang sama Dani, Cit. Gimana cara aku menghindari dia?” “Aku yakin, sekarang dia sudah merasa bebas karena kamu udah tau semuanya. Aku pikir dia justru senang kalau kamu nggak lagi sekamar sama dia.” “Jadi, dia akan tidur sekamar dengan pembantu itu, Cit? Di dalam rumah ini yang masih ada aku dan Kiara, apa Dani akan sekejam dan setega itu padaku? Nggak! Setidaknya, dia tidak akan melakukan itu di depan Kiara – putrinya.” Mona berusaha berpikir bahwa masih ada sisi baik dari hati Dani untuk tidak melakukan hal itu. Sebenarnya, Mona juga merasa ingin pergi dari rumh ini sekarang juga. Bagaimana dia bisa tinggal satu atap dengan pasangan m***m yang jelas-jelas sudah melakukan zina di dalam rumahny sendiri? Mona ingin mengatakan semua itu kepada mertuanya, tapi mengingat Baskoro adalah ayah mertua yang sangat baik, Mona merasa tidak tega melukai hati pria itu dengan kelakuan Dani. “Bagaimana kalau ternyata dia memang segila itu, Mon?” tanya Citra dengan ekspresi serius. Mendengar pertanyaan dari Citra, kembali Mona termenung memikirkan semua hal itu. Dia kembali teringat dengan obrolan yang dilakukan oleh Dani dan Ijah saat dia baru saja pulang tadi. “Cit, aku pikir Ijah itu bukan benar-benar pembantu. Aku dengar sesuatu yang mereka obrolin tadi. Gimana kalau kita cari tau aja dulu tentang identitas aslinya?” tanya Mona yang langsung merasa harus cepat bergerak mengumpulkan semua bukti untuk bisa membuat Dani dan Ijah tidak bisa lagi mengelak. “Aku punya ide, Mon. Kita bisa mendapatkan bukti dengan mudah mumpung mereka nggak ada di rumah saat ini!” seru Citra dengan senyum yang sulit diartikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD