bc

Finding Mr. Destiny

book_age18+
1.7K
FOLLOW
9.4K
READ
fated
goodgirl
sweet
bxg
city
office/work place
coming of age
love at the first sight
widow/widower
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Pengkhianatan yang dilakukan oleh suaminya, menjadikan Genara Kamilia Mustika tidak lagi mempercayai cinta. Bahkan wanita berusia 27 tahun itu meragukan jika cinta itu nyata dan benar ada nya.

Menjadi seseorang yang tumbuh dalam keluarga broken home dan dikhianati oleh suaminya sendiri, menjadi alasan yang kuat untuk Nara menanamkan pemikirannya untuk tidak lagi mempercayai cinta. Diusir dari rumah. Tidak ada yang berdiri di sisinya dan disalahkan atas semua yang terjadi. Genara harus benar-benar berjuang untuk memulai kembali semuanya.

Damar Pramudya Bayanaka, pria yang menjadi bos baru di tempat Genara bekerja. Jatuh cinta kepada Genara pada pandangan pertama. Menjadi seorang duda yang ditinggal mati oleh istrinya. Damar percaya jika Genara adalah takdirnya. Berbeda dengan Genara yang sama sekali tidak mempercayai cinta. Damar harus menelan kenyataan pahit ketika Genara terus menolak dirinya.

Bagaimana akhirnya? Akankah Damar berhasil meluluhkan hati Genara? Dan mampu kah Genara membuka kembali hatinya dan menerima Damar sebagai takdir pendamping hidupnya?

chap-preview
Free preview
Air Mata Genara
5 bulan yang lalu ... Genara Kamilia Mustika. Akrab dipanggil Nara. Wanita berusia 27 tahun yang harus menelan pahit kenyataan jika sang suami telah bermain di belakangnya. Pengkhianatan yang sudah berlangsung selama lima bulan itu terkubur rapat-rapat dengan dukungan beberapa pihak lainnya. Dibalik fakta yang begitu menyakitkan, sebuah kenyataan jika sang Ibu mertua telah mengetahui perbuatan anaknya sendiri bahkan ikut mendukung hubungan tersebut. Herdian Atmaja Purnama, Pria yang selama ini menjadi partner hidup Nara. Pria yang selama ini begitu Nara percaya sepenuh hati. Tega membelah cintanya untuk wanita lain. Tidak ada yang lebih terpukul dibanding Nara. Diceraikan kemudian diusir dari rumah, menjadi sarapan pahit yang harus Nara telan pagi ini. Tidak tanggung-tanggung, wanita yang berkepribadian lembut dan ramah itu mendapat talak tiga dari suaminya. Dengan berlinang air mata, Nara mengemas semua barang dan pakaian miliknya. Dunia Nara seakan hancur berkeping-keping. Suami dan Ibu mertua yang selama ini Nara layani dengan begitu tulus dan sepenuh hati. Bagai air s**u yang dibalas dengan air tuba. Pengabdian Nara selama delapan tahun pada keluarga itu dibalas dengan sebuah pengkhianatan. Isak tangis yang berusaha Nara pendam dalam hatinya. Sebagai upaya tidak ingin menimbulkan kegaduhan pada lingkup keluarga yang sudah memanas. Ya, panas karena mereka bertiga sempat berseteru tadi. Herdian, sebagai kepala rumah tangga dan imam bagi seorang Nara, melontarkan beberapa kalimat menyakitkan sebagai hadiah perpisahan mereka. ‘DASAR MANDUL!’ Kalimat menyakitkan itu seolah panah dengan bara api yang menghunus jantung Nara. Bagaimana bisa? Kalimat itu meluncur dengan mudahnya dari mulut seorang Herdian yang terkenal santun dalam tutur kata. Bukan aib lagi, jika rumah tangga Nara dan Herdian selama delapan tahun tak kunjung dikarunia seorang anak. Bukan karena Nara yang bermasalah. Semua penyebabnya adalah Herdian. Pria itu sendiri pun tahu, jika yang bermasalah adalah dirinya. Selama ini pun, meski Sasi—Ibu mertua Nara—selalu mengompori Herdian, anaknya, untuk menceraikan Nara dan tutup mata pada kenyataan yang ditanggung oleh putra semata wayangnya itu. Kenyataan jika Herdian bermasalah dengan dirinya sehingga tak kunjung mendapatkan momongan, Sasi selalu tutup mata dan terus menyalahkan Nara sebagai biang permasalahan. Meskipun sang ibu selalu mengompori Herdian untuk meninggalkan Nara dan mencari wanita lain pilihannya, Herdian tetap mempertahankan rumah tangganya. Namun lima bulan belakangan, Herdian tergoda dengan wanita pilihan ibunya. Wanita yang menurut Herdian lebih menarik daripada Nara. Dan terjadilah sesuatu yang begitu diinginkan oleh Sasi, yaitu perceraian antara Herdian dengan Nara. Entah hal apa yang mendasari Sasi begitu membenci Nara, yang jelas wanita paruh baya itu tidak menyukai Nara sejak kali pertama. Masih dalam tangisnya yang membisu, Nara meletakkan pakaian miliknya ke dalam koper. Bahkan wanita yang terkenal akan kesabarannya itu sudah memanggil taksi online untuk mengantarkannya ke tempat Bude Rina. Beberapa saat yang lalu, Nara menghubungi Bude Rina dan memberi tahu jika ia akan berkunjung ke sana. Bude Rina adalah saudara mendiang ibunya yang telah meninggal sepuluh tahun silam. Hubungan Nara dengan Bude Rina sudah seperti ibu dan anak. Maka tidak heran, jika dalam keadaan seperti ini, Nara akan mengunjungi Bude Rina sebagai tempat peraduan. Tidak lama kemudian, Nara telah selesai berkemas. Bersamaan dengan taksi online yang juga sudah tiba di depan kediaman suaminya. Ah, lebih tepatnya, calon mantan suami. --- Nara menuruni undakan tangga dengan perasaan berkecamuk. Tidak akan ada wanita yang merasa bahagia jika berada di posisi Nara. Setegar apa pun wanita itu, juga tidak akan sanggup. “Bu, Nara pamit dulu ya,” ujar wanita itu ketika berpapasan dengan Ibu mertuanya. Sasi tidak menjawab, wanita paruh baya itu hanya berdeham dengan tatapan ke lain arah. Menunjukkan betapa angkuh dirinya sebagai seorang wanita. “Maaf, jika selama Nara di sini—” kalimat wanita itu terputus sebab suara Herdian menggema di seluruh ruangan. “Sudahlah Nara, cepat kamu pergi dari sini,” ujarnya mengusir. Tanpa ada belas kasih ataupun basa basi. Nara tersenyum kecut, kemudian membuka kembali langkahnya yang sempat tertahan. Berjalan melalui Sasi yang masih berdiri dengan kedua tangan bersedekap di daada. Ada perasaan senang ketika Sasi melihat raut wajah Nara yang begitu putus asa. Rasa puas akan usahanya selama ini untuk memisahkan wanita itu dengan putranya. *** Mobil yang ditumpangi Nara melaju ke arah kediaman Bude Rina. Sepanjang perjalanan, air mata mengalir dari kedua sudut matanya yang sedikit sipit. Melalui pipinya yang mulus dan berakhir jatuh di atas celana katun berwarna beige yang Nara kenakan. “Maaf, Pak, hati saya sedang patah. Tolong hiraukan saja saya menangis di belakang sini,” ujar Nara membuka suara. Sang supir taksi online hanya mengangguk. Sesekali menatap Nara melalui kaca spion tengah yang terpasang di dalam mobilnya. Memastikan jika wanita yang tengah menangis itu masih dalam keadaan terkontrol. Ya, siapa tahu jika Nara tiba-tiba pingsan karena terlalu emosional dan tenggelam dalam perasaannya sendiri. “Ya Tuhan, rasanya sakit sekali di sini,” lirih Nara sembari memegang kuat dadanya. Banyak hal yang berkecamuk dalam d**a Nara. Tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh Herdian ataupun beberapa kalimat yang Pria itu ucapkan yang begitu menyayat hati Nara. Terlebih dua buah kalimat yang seakan menjadi bom bunuh diri bagi seorang Nara. ‘DASAR MANDUL!’ ‘AKU TALAK KAMU, NARA! TALAK TIGA!’ Tangis Nara pecah. Ia sudah tidak bisa lagi membendung kesedihan yang sejak tadi ia tahan. Nyatanya, mereka akan kembali bertemu lagi nantinya. Nanti, saat sidang perceraian mereka di Pengadilan Agama. Satu jam menempuh jarak perjalanan, Nara akhirnya tiba di kediaman Bude Rina. Setelah membayar ongkos taksi dan mengeluarkan semua barang miliknya, Nara berjalan dengan gontai menuju pintu rumah sang Bude. Dengan kedua mata yang merah dan sembap, Nara mengetuk pintu rumah Bude Rina. Tidak lama Nara menunggu, pintu pun terbuka. Bude Rina langsung menyambut hamburan pelukan keponakannya yang tengah bersedih. Tidak banyak bertanya, Bude Rina tahu hanya dengan melihat keadaan di sekitarnya. Dua buah koper berukuran cukup besar dan kedua mata Nara yang sembap. Sudah cukup menjelaskan jika wanita itu tidak baik-baik saja. “Masuk dulu, Sayang. Jangan menangis di sini,” ujar Bude Rina. Mengiring Nara untuk masuk ke dalam rumahnya. Tidak lupa pula wanita berusia sekitar 40 tahun itu menyeret koper milik Nara. Kini Nara dan Bude Rina sudah berada di dalam rumah, lebih tepatnya mereka tengah berada di ruang tamu. Keduanya duduk di atas sofa. Nara kembali menghamburkan diri ke dalam pelukan budenya itu. Dapat Bude Rina rasakan jika bahu kanannya sedikit basah sebab air mata Nara yang merembes masuk di celah serat kain pakaian miliknya. Wanita bernama Nara itu benar-benar menangis hingga sesegukan. --- Nara sudah tidak menangis lagi. Meski sakit yang ia rasakan masih mendominasi seluruh relung hatinya, namun Nara berusaha untuk tegar. Dengan sabar, Bude Rina menantikan keponakannya itu untuk bercerita. “Bude ...,” ujar Nara dengan sedikit getir. Wanita yang dipanggil Bude oleh Nara itu pun membalas dengan begitu lembut. Tangannya terulur mengusap lengan Nara untuk menguatkan wanita itu. “Ada apa, Nara sayang? Cerita sama Bude, ya?” ujarnya. Nara mengangguk lemah. Kemudian berkata, “Nara diceraikan oleh Mas Herdian, Bude. Ditalak tiga,” ujarnya dengan suara yang semakin bergetar. Deg! Rasanya sesuatu yang begitu besar menghantam tepat di jantung Bude Rina setelah mendengar sepatah kalimat dari Nara—keponakan yang begitu ia sayangi. Nara menambahkan, menceritakan jika penyebab perceraian itu terjadi adalah karena adanya orang ketiga. Selama ini Bude Rina sangat tahu bagaimana hubungan Nara bersama Ibu mertuanya. Wanita itu selalu memberikan nasihat kepada Nara, jika Nara harus kuat dan sabar. Bude Rina percaya, jika kesabaran dan ketabahan akan menghasilkan sesuatu yang begitu menakjubkan. Sama sekali tidak ada dalam benaknya, jika yang didapatkan Nara adalah pengkhianatan dan perceraian sebagai buah bersabar diri selama ini. “Bahkan Ibu juga tahu, Bude. Beliau tahu tentang hubungan Mas Herdian dengan wanita itu.” Nara menambahkan. Semakin getir yang dirasakan oleh Bude Rina dalam hatinya. Entah kenapa, ia merasa begitu sesak. Hatinya seperti diremas oleh sesuatu. “Nara, anakku ....” suara lirih dari Bude Rina begitu menyayat hati. Membuat Nara kembali menitikkan air mata yang sedari tadi memang menggenang di kedua pelupuk matanya. Nara kembali menangis. Diikuti oleh Bude Rina yang sama meraung nya dengan wanita itu. Sebenarnya Bude Rina tidak ingin bersedih, tapi entah kenapa ia tak kuasa untuk menahan diri. *** Siang hari ini sangat terik, tapi yang Nara rasakan ia bagai disapu oleh hujan badai beserta deru guntur dan kilat. Sejak kedatangannya di kediaman Bude Rina tadi pagi, Nara hanya diam mengurung diri di dalam kamar. Wanita berusia 27 tahun itu masih memikirkan takdir yang Tuhan berikan untuknya. “Ya Tuhan, aku hanya ingin engkau menguatkan hati yang begitu rapuh ini, hanya engkau yang mampu membantuku,” lirih Nara memanjatkan do’a. ‘Tok Tok Tok!’ Terdengar suara pintu yang diketuk dengan begitu lembut. “Nara?” Suara itu adalah milik Bude Rina. Sekarang adalah jam makan siang, untuk itu Bude Rina berniat mengajak Nara untuk mengisi perut dengan makan siang bersama. “Masuk, Bude. Pintunya tidak dikunci kok,” jawab Nara dari dalam kamar. Pintu terbuka dengan perlahan. Menimbulkan suara decitan halus dari pintu yang bergesekan dengan keramik lantai. “Nak, ayo makan siang.” Ajak Bude Rina. Memberikan sebuah senyuman yang nampak sekali ia paksakan. Bagaimana bisa ia tersenyum dalam keadaan seperti ini? Tapi tidak mungkin pula jika ia menunjukkan raut wajah sedih di depan Nara. Nara menggeleng lemah. “Nara tidak lapar, Bude,” ujarnya, menolak ajakan Bude Rina untuk makan siang. Senyuman tipis dari kedua sudut bibir Bude Rina luntur perlahan. “Loh, jangan begitu, Nara. Kamu harus makan, Sayang. Nanti kamu sakit kalau tidak makan,” balas Bude Rina. “Sungguh, Bude. Nara tidak lapar,” ujarnya begitu lesu. Memangnya siapa yang masih akan memiliki selera makan ketika berada dalam situasi seperti Nara? Setidaknya siklus itu akan bertahan hingga beberapa waktu kedepan. “Bude tahu dan Bude paham. Tapi kamu harus tetap makan meskipun kamu tidak memiliki selera.” Bude Rina bersikukuh untuk mengajak Nara makan siang. Bahkan wanita itu sampai memaksa Nara agar luluh. Karena terus dipaksa, akhirnya Nara pun menurut untuk makan siang. *** Malam menjelang, Nara yang sudah membersihkan diri berniat untuk tidur lebih awal. Wanita itu merasa sangat lelah hari ini. Semua tenaga miliknya seakan telah habis karena menangisi nasib rumah tangganya yang sudah tidak ada harapan lagi. Kedua mata Nara menerawang, menatap nanar langit-langit kamar yang berwarna soft pink. Lagi, bulir bening kesedihan kembali menetes di kedua ekor matanya. Delapan tahun yang ia habiskan bersama dengan Herdian. Dalam sekejap menjadi sirna dan tidak berarti apa-apa. Herdian, Pria itu seakan telah dirasuki oleh makhluk tak kasat mata, buta dengan apa yang ada di hadapannya. Pintu hati Herdian yang begitu lembut dan penuh kasih sayang kepada Nara telah tertutup. Nara merasa sangat gelisah. Sama sekali tidak bisa memejamkan kedua matanya. Sekelebat dari berbagai kejadian tadi pagi begitu membuncah hati dan pikiran Nara. Ia sama sekali tidak bisa memikirkan hal lain. Hingga kemudian, terdengar suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Nara. “Nara,” seru Bude Rina di balik pintu. Membuka perlahan daun pintu tersebut kemudian berjalan masuk ke dalam. Nara beranjak bangun, duduk bersandar pada headboard kasur. Sedangkan Bude Rina sudah memposisikan diri di ujung kasur, tepat di ujung kaki Nara. “Nak, masih belum mau tidur ‘kan?” tanya Bude Rina. Nara mengangguk. Kedua sudut bibirnya tersungging tipis ke atas. “Belum, Bude,” sahutnya singkat. “Bude hanya ingin mengobrol sama kamu. Tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Bude lagi. Lagi-lagi Nara menganggukkan kepala. Menarik kedua kakinya dan duduk meringkuk. “Bude hanya ingin berpesan kepada kamu, bahwa Nara harus menjadi wanita yang kuat dan tegar. Tuhan akan selalu bersama dengan orang-orang yang sabar. Bude yakin, di balik semua kejadian ini, ada kebahagiaan yang begitu besar akan menghampiri Nara. Cepat atau lambat,” tuturnya begitu yakin. Betapa Bude Rina sangat menyayangi Nara seperti anak kandungnya sendiri. Kedekatan keduanya sejak dulu, semakin erat kian bertambahnya waktu dan usia mereka. Bude Rina yang begitu tulus menyayangi Nara, seakan menjadi Ibu kedua bagi Nara setelah Ibu kandungnya sendiri. “Iya, Bude. Terima kasih karena selalu ada untuk Nara. Di saat titik terendah Nara sekali pun, Bude tidak pernah membiarkan Nara sendirian. Nara bersyukur memiliki Bude dalam hidup Nara.” Wanita itu kemudian menghambur ke dalam pelukan Bude Rina. Membalas pelukan Nara kepadanya, Bude Rina tiba-tiba menitikkan air mata. Bahagia Nara juga akan menjadi bahagianya. Kesedihan Nara sudah tentu akan menjadi kesedihannya pula. “Bude yakin, Nara akan bisa melalui semua ini dengan kuat dan tabah. Selama ini Nara adalah wanita yang seperti itu,” puji Bude Rina. Nara mengangguk, lidahnya terasa kelu hanya untuk menjawab kalimat dari Bude Rina kepadanya. Wanita itu hanya semakin mengeratkan pelukannya, membalas kalimat tersebut melalui bahasa tubuhnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.7K
bc

My Secret Little Wife

read
99.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook