“Jika diam bisa mengubah semua kekacauan hati yang ada, maka berusaha untuk melakukannya mungkin solusi terbaik walau pada akhirnya diam itu terbatas.”
***
“Kita tidak bisa terus menerus seperti ini. Abang ingin pernikahan ini bukan hanya sekedar ijab kabul biasa. Pernikahan kita harus menjadi pernikahan yang sakinah, mawadah, dan warahmah.”
“Kalau memang itu yang Bang Al inginkan. Lalu, kenapa harus aku yang Abang nikahi?” Jasmine malah mempertanyakan hal yang bertentangan dengan ucapan Al.
Pertanyaan itu membuat Al membeku dan kelu.
“Karena cinta? Itukah alasan utama pernikahan ini sampai terjadi? Bang Al cinta sama Jasmine? Begitu, kan?” Jasmine menambahkan kembali pertanyaannya.
“Lebih dari itu.” Jawab Al dengan lantang. “Cinta Abang ke kamu melebihi seluruh hidup Abang.”
“Kalau begitu Bang Al egois.”
“Terserah kamu mau mengatakan apapun soal keegoisan Abang. Tapi, kamu sudah tidak bisa lagi keluar dari keadaan ini. Karena sampai kapanpun kamu adalah tanggung jawab Abang untuk di dunia dan juga di akhirat. Terlepas kamu menyukainya atau tidak, kamu harus tetap patuh pada Abang.”
“Aturan yang sangat menyesakkan!” Jasmine berdecit tajam dengan senyuman sarkas.
Tapi, seolah mengabaikan kemarahan dan kekecewaan Jasmine terhadapnya, yang Al katakan justru, “Beristirahatlah dan tidur dengan nyenyak. Jangan lupa berdoa.” Ucapnya, lalu kemudian, Al masuk ke dalam kamarnya.
Tanpa Jasmine tahu kalau keberanian yang baru saja Al tunjukkan di depannya adalah bagian dari upayanya mencari kalimat yang tepat selama dia menunggu Jasmine pulang sekolah tadi. Dan, setelah mengatakannya barusan Al merasa cukup lega.
“Iya. Kalimat itu adalah yang terbaik.” Al berusaha pastikan itu.
Akan tetapi, gara-gara Al mengatakan itu kepadanya, Jasmine jadi terus memikirkannya hampir sepanjang malam. Dia jadi kurang tidur dan baru terlelap saat matahari akan terbit dua jam sebelumnya.
Tok... tok... tok...
Al mengetuk pintu kamar Jasmine pagi ini. Dia akan membuka pintu kamar itu sendiri jika tidak ada sahutan dari gadis itu.
Tok... tok... tok...
Dia kembali mengetuk pintu kamar Jasmine setelah terdiam selama satu menit lamanya. Ketukan pintunya kali ini lebih dipelankan olehnya karena dia pastikan kalau Jasmine masih tertidur lelap. Dia pun membuka pelan-pelan pintu kamar Jasmine untuk memastikan dugaannya tersebut. Tepat saat dia membuka pintu kamar itu dan dugaannya benar, Al langsung membuang nafas lega dengan senyuman lebar.
Meskipun jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi, tapi dia akan membiarkan Jasmin untuk tidur selama 10 menit lagi.
“Apa dia sedang haid, makanya dia tidak sholat? Atau, dia sudah sholat terus tidur lagi?” Batinnya, sambil menutup pelan pintu kamar itu kembali.
Tapi, langkah kakinya dia urungkan saat ingin pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Karena Al kembali masuk ke dalam kamar istrinya untuk melakukan sesuatu yang dia pikir adalah kesempatannya saat ini, yang tidak boleh dia lewatkan.
Dia berjalan mendekati Jasmine dan menurunkan tubuhnya di samping Jasmine.
Untuk sejenak, dia menatap Jasmine dari jarak yang sangat dekat.
“Rasanya, sudah lama sekali Abang tidak menatap kamu sedekat ini. Hubungan kita memang sedang dalam kebimbangan, tapi Abang yakin kalau proses ini akan mudah kita lalui dengan baik. Abang yakin itu.”
Al mengakhiri kalimatnya dengan kecupan di bibir Jasmine.
**
Hatchiiimm... hatchiiimmm...
Ini menjadi bersin Jasmine yang ke empat kalinya sejak dia duduk di depan meja makan untuk sarapan. Perintah dari Al untuk sarapan bersamanya mulai hari ini harus Jasmine patuhi.
“Kalau kamu bersin sekali lagi, berarti kamu mau demam dan kamu tidak Abang izinkan untuk berangkat ke sekolah hari ini.”
“Hari ini aku ada ulangan harian matematika, jadi mustahil kalau aku tidak sekolah hari ini.” Jasmine langsung menolak perintah Al sebelum Al mengatakannya lebih jauh lagi.
“Kan bisa ulangan susulan.” Al tetap pandai menepis.
“Aku tidak sepintar Bang Al untuk urusan mata pelajaran hitung-hitungan jadi aku harus masuk, apapun kondisi tubuh aku.”
“Maksud kamu nyontek?”
‘Kok Bang Al tuduh aku begitu?”
“Kalau begitu nurut sama Abang, hari ini kamu harus istirahat di rumah seharian.”
Jasmine diam sesaat seraya menatap Al dengan geram. Lalu,
“Bisa-bisa kepalaku pecah kalau sikap Bang Al ke aku terlalu posesif seperti ini. Bunda sama Ayah saja tidak sampai seposesif ini memperlakukan aku. Lalu, kenapa Bang Al yang hanya suami sementara aku saja malah memperlakukan aku seposesif ini!?? Menyebalkan!!” Jasmine mengatakan dengan nada tinggi dan suara yang kencang, lalu dia bangkit dari kursi dan berangkat ke sekolah tanpa berpamitan.
Melihat sikap Jasmine yang semakin sulit diatur olehnya membuat Al tidak bisa melakukan apa-apa selain menghembuskan nafas kasar dan diam.
**
Montessi of Senior High School
Teacher’s Room
“Jasmine, kenapa nilai kamu jadi menurun drastis seperti ini?” Tanya Aleya, wali kelas Jasmine di kelas sebelas.
“Selain itu, Ibu juga mendapat teguran dari beberapa guru tentang kelakuan kamu yang tidak pernah fokus saat belajar dan jarang mengerjakan tugas sekolah. Ada apa sama kamu, Jasmine? Cerita sama Ibu. Siapa tahu Ibu bisa bantu kamu untuk menghadapi kesulitan kamu saat ini.”
“Tidak ada apa-apa, Bu.”
“Tidak apa-apa bagaimana? Kalau memang kamu punya masalah, lebih baik diselesaikan secepatnya atau setidaknya kamu bercerita sama orang yang bisa kamu percaya untuk membantu kamu menemukan solusinya.”
“Memang tidak ada apa-apa. Jadi apa yang harus aku ceritakan ke Bu Aleya kalau masalah saja aku tidak punya.”
“Lantas, apa alasan kamu jadi berubah seperti ini? Hem? Selama ini, kamu tidak pernah punya masalah. Kamu murid yang rajin dan cukup pintar. Jika bukan karena—“
“Aku akan memperbaiki semua nilai pelajaran aku secepatnya.” Ucap Jasmine, memotong cepat ucapan wali kelasnya yang belum selesai.
Aleya pun langsung terdiam dan menghembuskan nafas pelan sambil menatap muridnya yang berwajah kalem itu.
“Baiklah. Ibu akan memantau perubahan kamu dan perkembangan kamu.”
“Apa boleh aku pamit sekarang?”
“Satu lagi. Jangan pernah absen dari klub melukis. Karena kata kak Dea, kamu punya bakat besar dalam melukis. Sebentar lagi akan diadakan kompetisi beberapa mata pelajaran dan salah satunya seni. Ibu harap, kamu bisa ikut berkontribusi dalam kompetisi tersebut. Begitu juga dengan acara festival sekolah yang akan diadakan dua bulan lagi.” Aleya menyimpan harapan besar pada muridnya yang satu itu.
Jasmine tidak mengiyakan harapan wali kelasnya itu. Dia hanya diam tanpa menunjukkan ekspresi apapun.
“Kamu boleh kembali ke kelas sekarang.”
Jasmine pun segera berpamitan pada guru Bahasa Inggrisnya itu usai menyaliminya.
Sekembalinya Jasmine ke ruang kelas, Fanya langsung menyerbunya dengan deretan pertanyaan seputar pemanggilan Jasmine ke ruang guru barusan. Tapi, dari sekian banyaknya pertanyaan yang Fanya berikan padanya, hanya satu kalimat yang Jasmine katakan pada sahabatnya itu. Kalimat yang sama persis yang dia katakan pada Aleya, yakni dia mengatakan kalau dia tidak ada apa-apa.
“Aku tidur dulu ya, Nya. Kepalaku pusing.”
“Iya. Istirahat deh kamu. Soalnya wajah kamu kelihatan pucat. Lagipula, ulangan harian matematikanya diundur besok di jam pertama.”
“Oh ya?”
“Iya. Baru saja ketua kelas menginformasikannya.”
“Ah, syukurlah.” Jasmine merasa lega. Setidaknya dia bisa belajar lagi untuk memahami materi ulangan harian matematika.
**
Ruang UKS
Akhirnya, Jasmine tumbang juga.
Setelah hampir satu jam dia menidurkan matanya, Jasmine mulai terbangun dan membuka matanya yang terasa sangat berat. Samar-samar pandangan matanya terlihat kabur saat dia menyadari keberadaannya di tempat asing. Jasmine pun langsung membangunkan cepat badannya begitu dia merasa tidak kenal dengan tempat itu.
“Di mana aku?” Jasmine panik.
“Kamu di ruang UKS.” Jawab seseorang yang sejak tadi menemaninya selama Jasmine tidur.
Jasmine langsung menoleh cepat ke arah orang itu yang ternyata adalah “Kamu?”
Kairavv.
Tiba-tiba saja terdengar suara seorang pria yang sangat Jasmine kenali datang ke ruangan itu, sesaat setelah dia terbangun.
“Permisi. Saya walinya Jasmine Queenbee. Apa benar kalau dia jatuh pingsan saat pelajaran olahraga tadi?”
“Iya, benar.”
“Loh? Al? Kamu Al, kan?”
Percakapan itu terdengar jelas oleh Jasmine dari balik tirai yang menutupi pandangannya dari orang-orang yang sangat dikenalinya.
“Aleya?”
“Iya, aku Aleya.”
***