12. Bukan Dia

2278 Words
Kata mamanya, dulu Jani sering sakit kalau keinginannya tidak dipenuhi. Itu dulu, waktu dia masih kecil. Dulu, dia ingin punya adik. Karena orang tuanya mengira itu hanya rengekan sementara, makanya mereka tidak terlalu mengambil hati. Sampai akhirnya, Jani sakit tidak sembuh-sembuh. Ajaibnya, dia sembuh saat mamanya hamil. Kalau mengingat tentang itu, Bu Intan geleng-geleng kepala. Bersyukur sekali hal-hal semacam itu terjadi saat masih kecil. Bagaimana kalau sudah besar Jani tetap sakit-sakitan kalau keinginannya tidak dipenuhi? Yang ada seisi rumah pusing tujuh keliling jika itu betulan terjadi. Sama seperti sekarang, Jani bersikeras ingin ke Bandung, katanya ingin menjenguk Mbak Yuli, istrinya Mas Andi yang mendapat musibah. Tentu saja bukan Jani sendirian yang pergi. Ada Andra dan Nadia juga, dan tentu Andra yang akan jadi supirnya nanti. Maksudnya, supir mereka. “Ngapain ke Bandung sih, Kak. Besok udah Senin, lho. Udah kerja. Jangan jauh-jauh mainnya.” Bu Intan tentu saja memberi wejangan pada anak perempuannya yang masih gadis ini. “Aku nggak mau main, Mama. Tapi mau jenguk istrinya boss aku pas di kantor dulu.” Jani memasang tampang serius agar mamanya ini percaya. “Lhoh kenapa?” “Jatuh, padahal lagi hamil. Ini masih di rumah sakit.” Katanya mendadak sedih. “Ya Allah, semoga ibu sama bayinya baik-baik aja, ya. Mama dulu pernah stress gara-gara pernah jatuh waktu hamil kamu. Eh pas lahir, malah cewek pecicilan kayak gini.” Jani mendengus untuk merespon cerita mamanya. Mana ada dia yang cantik pintar begini dibilang pecicilan? Mamanya memang begitu. Suka meninstai anaknya sendiri. “Ya sudah, pokoknya aku ke Bandung, ya. Paling nggak sampai malem, Ma. Lagian si Andra juga jadi sopir pribadi kita.” “Cuma bertiga?” Bu Intan menatap Jani sekali lagi. “Iya. Yang lain udah kemarin-kemarin malah. Kita ketinggalan tahu, Ma. Mana aku nanti jadi obat nyamuk, mending bawa guling biar nanti ada yang aku peluk pas ngantuk.” Jani cemberut, dengan mata memicing ke arah televisi yang menampilkan siaran lokal. “Obat nyamuk apaan, Kak? Yang ada Nadia yang jadi obat nyamuk.” Jani tentu menyerngit mendengar penuturan mamanya. Masalahnya, bukankah itu terbalik? Yang Jani tahu, Nadia menyukai Andra. Tentu Jani terus denial saat orang-orang di sekitarnya mengatakan kalau Andra bukan menyukai Nadia tapi dirinya. “Mama kok bisa menyimpulkan kayak gitu dari mana, sih? Panji nggak terganti lho, Ma. Aku masih mau bawa Panji ke rumah. Kalau dia beneran udah nggak ada, aku bawa nanti surat kematiannya.” Bu Intan menatap Jani yang tengah sibuk dengan handphonenya sendiri nanar. Seperti yang Andra katakan. Dia suka memberikan kemajuan apa-apa tentang Jani yang dia ketahui pada Bu Intan. Dan soal beberapa waktu lalu, Bu Intan juga mengetahuinya. Namun melihat sekarang, Jani jelas-jelas menghancurkan harapan tinggi pemilik surganya. “Mama pas hamil kamu nyidam apa, ya, Kak? Kok pas lahir setianya minta ampun kayak gini.” Alih-alih mengibaskan rambutnya sendiri seperti model shampo, Jani tersenyum riang ke arah mamanya. “Ya harus setia dong, Ma! Yang nggak setia mah kelelepin di laut aja. Nggak ada tempat buat buaya-buaya darat!” Bu Intan tertawa, Jani yang dulu sepertinya sudah kembali. Ini yang dia rindukan. Putri sulungnya dulu sering bercanda, suka bicara seenaknya sendiri tentang sesuatu yang tidak dia sukai. Dan sekarang, putrinya itu kembali lagi meski Bu Intan tahu kalau Jani sudah berusaha keras untuk sampai di titik ini. “Sehat-sehat ya, Kak. Bahagia selalu. Mama sama Papa nggak minta apa-apa.” Jani berhenti mengetikkan sesuatu di papan keyboard handphonenya. Kemudian buru-buru bangkit dan menyalimi mamanya sambil d**a-d**a seolah tak terjadi apa-apa. Begitulah, Jani terlalu suka melarikan diri daripada menghadapi masalah yang jelas-jelas di depan matanya kalau ada kaitannya dengan Panji. *** Mereka menempuh perjalanan dua jam lebih tiga puluh menit untuk sampai di rumah sakit Permata. Harusnya bisa sampai beberapa saat lalu, tapi Jani mendadak mabuk perjalanan karena bau pengharum mobil yang rasa bunga-bunga. Alhasil, mereka harus berhenti sebentar untuk mengurusi anak itu. Sampai di rumah sakit, Jani mendadak sembuh. Dia memang seperti itu. Katanya, kalau mabuk, dia tidak akan sembuh sebelum keluar dari mobil. Makanya saat dia turun dan bisa menghirup udara secara bebas tanpa ada wewangian memusingkan kepala, dia bahagia lahir batin. Kemudian, dia berjalan berdampingan dengan Nadia, mengikuti Andra sebagai petunjuk arah. Dan saat sampai di salah satu ruang, Andra mengetuk pintu sebentar dan masuk ke dalam. "Lhoh, kalian?” Mas Andi kaget, berikut dengan Mbak Yuli yang ikutan kaget, tidak menyangka mereka ikutan menyusul yang lain. Andra memeluk Mas Andi sekilas sebelum menyapa Mbak Yuli, Jani dan Nadia juga bersalaman dulu dengan Mas Andi, memberikan tatapan penguatan. Kemudian, Jani duduk di samping Mbak Yuli. “Keadaannya sekarang gimana, Mbak?” Mbak Yuli tersenyum lemah sambil mengusap perutnya. “Masih pemantauan.” “Lima bulan ya, Mbak?” “Iya.” Jani mengembuskan napas pelan. “Jangan banyak pikiran ya, Mbak?” ujarnya sambil mengusap tangan Mbak Yuli yang tergeletak di sisi ranjang, mencoba menguatkan. “Kata mamaku, dulu dia pernah jatuh pas hamil aku. Perutnya sakit katanya. Mama bahkan mikir kalau bakal kehilangan aku. Tapi alhamdulilah mama sama aku baik-baik aja. Tadi pas aku pamit mau jenguk Mbak, mama titip pesan buat di sampaikan ke Mbak. Mama bilang gini. “Khawatir boleh dan itu hal wajar. Tapi jangan sampai stress apalagi sampai stress berat. Pokoknya pikiran harus happy, mikir yang positif terus. Sama apa tadi, ya?” Jani jadi lupa. “Oh iya, katanya mama, apapun yang Mbak rasain, bagi ke Mas Andi. Entah rasa sakit sekalipun, bagi aja. Kalau Mbak pendam sendiri, nanti malah sakit sendiri.” Kebetulan, mereka yang lain turut mendengarkan. Mas Andi jadi ikut-ikutan bicara. “Dengerin tuh, Yang. Jangan main rahasia-rahasiaan sama aku.” Katanya. “Aku nggak akan marahin kamu kalau tahu kamu jatuh. Yang ada malah aku yang pingsan.” Lanjutnya. Baru begitu saja, Mbak Yuli malah menangis. "Lhoh mbak, jangan nangis dong. Mas, istri kamu, nih. Tanggungjawab!” Jani yang panik menatap Andi meringis. Andi buru-buru bangun, kemudian mengusap bahu istrinya itu pelan. “It’s okay, kita berjuang bareng-bareng kok. Jangan nyerah, ya? Kan kata dokter masih ada harapan. Nggak papa, yang penting kamu nggak kenapa-kenapa.” Jani mengembuskan napas pelan. Dia tahu sakitnya kehilangan. Dan dia turut berdoa semoga Mbak Yuli dan kandungannya baik-baik saja. Kemudian, mereka berbincang santai di sana. Jani meminta Mas Andi bercerita tentang kejadian yang sebenarnya kalau pria itu tidak keberatan. Kebetulan, Mas Andi mau-mau saja bercerita. Sepulang kerja, sekitar setengah enam sampai rumah, Mas Andi bingung saat memanggil Mbak Yuli tapi tidak dijawab-jawab. Lalu, saat masuk ke kamar mandi, dia kaget melihat melihat Mbak Yuli sudah duduk di kamar mandi sambil memegangi perutnya dengan wajah pucat pasi. Tidak ada perdarahan waktu itu, tapi perutnya sakit. Kalau diingat-ingat, dia jatuh sekitar pukul empat sore dan Mas Andi pulang pukul setengah enam langsung diboyong ke rumah sakit terdekat. Dan kata dokternya, kandungannya lemah akibat peristiwa itu. Ada dua kemungkinan, janinnya luruh atau bertahan. Makanya Mbak Yuli diminta untuk bed rest total, dan terus dipantau jika ada keluhan-keluhan sakit lagi. *** Jani sudah meminta izin keluar saat Nadia, Mas Andi, dan Andra sibuk bercengkrama saat Mbak Yuli sudah tertidur habis menangis tadi. Tujuan Jani tak jauh dari atap rumah sakit. Tentu dia nekat ke sana, hanya untuk mencari udara segar sebenarnya. Mumpung sudah sore, jadi sudah tidak panas lagi. Sampai di lantai teratas, lantai 27, Jani duduk di kursi yang kebetulan ada di sana. Dia memejamkan matanya dalam-dalam kemudian tersenyum sambil menarik napas. Kemudian, dia membuka clutch dan mengambil handphonenya, menatap wallpaper yang tidak pernah berubah dari lima tahun yang lalu, kemudian layar bergulir ke menu galery. Jani memilih salah satu video, kemudian memutarnya. Tidak ada tangisan lagi. Yang ada, dia malah tersenyum melihat Panji jatuh karena tali ayunannya lepas karena tidak mampu lagi menahan beban Panji yang sudah berumur kepala dua. Dulu waktu kecil. Mau dia apakan sekalipun, ayunan di depan rumahnya itu tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Alih-alih mengakhiri kesedihannya sendiri, Jani bergegas mengambil tasnya dan berjalan balik, ingin menghampiri teman-temannya kembali. Namun nahasnya, ada yang memanggil dari arah belakan. Tentu saja Jani terkejut, mengingat, dia tadi sepertinya sendirian. Perempuan itu bahkan sempat berpikir yang tidak-tidak. Yang menegurnya sejenis makhluk astral, misal? Jani hanya diam, masih belum mau menoleh. Sampai dipanggil lagi dan akhirnya Jani mau menoleh. Baik Jani maupun orang yang memanggilnya, mereka sama-sama terkejut. Jani tidak mengenali suara suara itu barusan karena serak. Dan saat ditengok, malah sosok Panji alias Dafa. Lelaki itu menunjukkan handphone berwarna hitam dalam genggamannya. Jani langsung melihat dalam tasnya dan merutuki dirinya sendiri yang teledor. Maka, Jani berjalan menghampiri pria itu dan menerima handphonenya kembali. “Makasih, Pak.” Jani sudah berbalik lagi saat Dafa menegurnya, “saya mau bicara sama kamu.” Mulanya, Jani diam di tempat, sampai akhirnya, setelah memejamkan matanya dalam-dalam, dia bergegas berbalik dan tersenyum ke arah Dafa. “Bicara apa, ya, Pak? Saya rasa, saya tidak punya urusan dengan Bapak, begitupun dengan, Anda.” Bukannya menjawab, Dafa-Dafa ini malah berjalan untuk duduk di kursi panjang dan meminta Jani untuk duduk di sampingnya. “Duduk dulu.” Karena Jani tetap tak mengindahkan perkataannya, Dafa sampai mendongak sambil berujar, “saya nggak ada niat buruk sama kamu.” Baiklah, akhirnya Jani ikutan duduk meski terlihat terpaksa. Seperti tadi, Dafa yang meminta tapi pria itu malah diam saja. Karena kesal, Jani bangkit lebih dulu, tapi Dafa menahan dengan menahan pergelangan tangannya. “Don’t leave.” Pintanya. Tidak tahu kenapa, Jani menurut. Dia seolah kena gendam dengan menurut saja kembali duduk. “Saya minta maaf.” Ujar pria itu pertama kali. “Di gazebo waktu itu, saya tidak tahu ada kamu di sana.” Oh ayolah, tentu Jani tak peduli tentang itu. Dia bahkan sudah lupa. “Nggak papa, Pak.” Karena sadar dengan respon Jani yang terlalu dingin, alhasil Dafa mengembuskan napasnya sekali lagi. “Di rumah sakit saat itu, saya juga minta maaf. Saya mikir yang enggak-enggak tentang kamu.” “Nggak papa, Pak. Lagian saya yang salah, kan? Saya yang sok kenal sama Bapak.” Kata Jani cuek, tak peduli lagi. Kemudian keheningan melanda sampai Dafa menemukan suaranya yang serak karena tenggorokannya bermasalah. “Tadi saya nggak sengaja menyalakan handphone kamu dan melihat look screen-nya. Dia… mirip sekali sama saya. Tapi--” Jani lebih dulu menoleh ke arah Dafa sampai pria itu tidak jadi mengatakan kelanjutannya. Yang ada, Jani malah sibuk dengan ponsel dan menunjukkan rekaman video dirinya dengan Panji di halaman rumah tadi. “Bapak bisa lihat. Kalau nggak percaya, saya bisa bawa Bapak ke rumahnya juga kalau ingin tahu.” Dalam diam, Dafa melihat video itu, wajahnya yang memang dingin tidak berekspresi apa-apa. Apalagi di bagian Panji memanjat pohon, dan Jani dibawah menunggu untuk menangkap mangganya. Dan dapat dilihat track record nya, itu lebih dari lima tahun yang lalu. Sudah lama sekali dan perempuan itu tetap menunggu kekasihnya yang tak jelas berada di mana. Entah masih hidup atau sudah mati. Belum puas melihat, Dafa mengembalikan handphone nya pada Jani lebih dulu. Dia tidak mau terbawa perasaan. Ada perasaan yang harus dia jaga. Siapa lagi kalau bukan, Rania? Kekasihnya yang selama ini menemaninya dalam suka ataupun duka. Dan hubungan mereka sudah berjalan empat tahun ini. “Where is he—” Jani tersenyum menatap langit yang biru cerah. “Kata orang, dia sudah pergi bersama lautan nyawa saat terjadi kecelakaan pesawat lima tahun lalu. Tapi, dari dulu saya belum pernah mendapatkan buktinya. Jadi waktu itu, saya seperti menemukan hidup saya kembali saat melihat Bapak tiba-tiba muncul di depan saya. Maaf untuk ketidaknyamanannya.” “No, saya yang minta maaf karena sudah kasar sama kamu.” balas Dafa cepat-cepat. Jani tidak menjawab meski menyadari raut bersalah dari Dafa. “Tapi, kamu harus tahu. Saya bukan dia.” Kalau tadi Jani diam saja, maka sekarang dia tersenyum lagi. “Mungkin, karena yang saya tahu, Panji tidak pernah menyakiti saya.” Dafa terdiam sambil menoleh ke arah Jani, menatap paras ayu perempuan itu. “Namanya Panji?” Dafa bertanya. “Hm, Panji Laksana. Baguskan arti namanya?” Kata Jani sambil menerawang jauh ke depan. “Tapi dia sendiri gagal memenuhi janjinya untuk kembali selesai bertugas.” Dan kali ini, Dafa kembali terdiam. Jani menggeleng, dia baru sadar kalau sudah terlalu banyak bicara. “Saya permisi dulu, ya, Pak. Maaf karena harus mendengar cerita saya yang tidak ada bagus-bagusnya sama sekali.” Pria itu tetap diam, bahkan saat Jani sudah berjalan menjauh. Namun, dia mendengar suaranya lagi. "Kalau tenggorokan bapak sakit, mungkin bisa minum s**u jahe sama berhenti merokok selama beberapa hari. Panji saya langsung sembuh kalau minum itu." Jani terdiam sejenak, mencoba melanjutkan perkataannya lagi, “mungkin, Bapak juga.” Katanya untuk yang terakhir kali sebelum benar-benar pergi. Dafa tetap terdiam di sana, dengan tatapan penuh tanda tanya ke arah langit yang nampak memesona. Dafa bisa ada di sana bukan karena mengikuti Jani tapi ada salah satu kerabatnya yang sakit, jadi dia sekeluarga menyempatkan menjenguk mengingat ini weekend. Namun tadi, saat dia merokok, matanya tak sengaja melihat Jani duduk sendirian di kursi. Dafa bahkan mengira kalau dia sedang halusinasi. Namun, saat mendapati perempuan itu pergi tanpa membawa handphonenya, dia tidak bisa terus diam di tempatnya. Sekarang Dafa paham, kenapa perempuan itu sampai menangis yang benar-benar lega saat melihat dirinya beberapa waktu lalu. Namun tetap saja, Dafa akan menegaskan. Dirinya bukanlah Panji. Dia Dafa Arkana, anak dari Bapak Arkana Hadiningrat bukan Panji Laksana, yang entah dia sendiri tidak tahu siapa dan anaknya siapa. Jujur, tiba-tiba rasa iba langsung menyelimuti dirinya. Ayolah, siapa pun yang melihat Jani pasti setuju perempuan itu begitu cantik. Tidak akan heran kalau banyak kaum Adam yang antre untuk mendapatkan hatinya. Namun tadi, setelah mendengar cerita yang sebenarnya, pandangan buruk Dafa pada Jani langsung berubah seketika. Dia menyanyangkan nasibnya yang menurutnya begitu menyedihkan. Untung saja, dirinya baik-baik saja dengan Rania. Jadi, dia tidak khawatir kalau ada hal buruk yang terjadi. Mengingat, mereka sama-sama saling mencintai. Sangat mencintai malah. Namun Dafa lupa, bukan tempatnya dia menganggap semua akan baik-baik saja sebagaimana mestinya. Mana dia tahu takdir Tuhan seperti apa. Dia tidak bisa mendahului takdir seingin apapun dia melakukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD