9. Pergi Satu

2314 Words
Here we go. Alih-alih marah dengan Andra yang meninggalkannya semalam hingga bertemu dengan Dafa lagi, Jani memilih diam saja seolah tidak terjadi apa-apa. Memangnya, apa lagi yang dia harapkan? Hidupnya sudah seperti ini dari dulu. Hingga Mbak Nisa datang dan membawa paper bag besar yang entah berisi apa. Semua orang di ruangan itu tentu berkumpul menjadi satu, ingin tahu juga meski sebenarnya tidak terlalu tertarik. “Ini anak fly.id diundang sama Pak Arkana ke acara tahunan Ormord,” Nadia yang membuka undangan lebih dulu sedikit membuka mulutnya. “Wah hotel Ormord, malem minggu. Jan, Jani…ikutan ya?” katanya bersemangat. Jani malah balas memutar bola matanya tak semangat. Semua orang tahu kalau Jani tidak terlau suka keramain. Membawa Jani ke sana sama saja memberinya hukuman. Karena pasti, Jani tidak akan nyaman dengan suasananya nanti. Orang kaya, orang beruang dan sebagainya, Jani tidak terlalu suka. Dulu, dengan Panji, Jani tidak pernah mau diajak ke pesta yang hampir mirip dengan pesta macam ini. Dulu, Panji juga sempat menakut-nakutinya kalau Panji bisa saja oleng karena diganggu perempuan lain. Hasil akhirnya, Jani tetap tidak peduli dan Panji, berakhir tetap bersamanya. Ya…tidak berguna sebenarnya. Sudah terlanjur cinta. Terlanjur percaya. Mau dibilangan jelek macam apapun, tetap tidak ada pengaruhnya. Menyadari rekanitanya ini males gerak, Nadia tentu siap-siap paksa. Kapan lagi dapet undangan ke hotel Ormord, hitung-hitung sekalian jalan-jalan akhir pekan. Suntuk melihat wajah-wajah itu saja. Siapa tahu, di sana Nadia bisa bertemu dengan pangerannya kan? Siapa tahu. Sujud syukur kalau-kalau Jani lah yang menemukan jodohnya. Bermodal wajah melas andalannya dan mata yang sedikit diberkaca-kacakan, Nadia memohon pada Jani sekali lagi. “Mau ya, Jan? Nanti ajakin Andra juga, masak plan manager nggak ikut pesta beginian. Ntar kalau kamu mau sama Andra berduaan, aku mau nyari temen kencan deh.” Jani menghempas tangan Nadia cepat. “Nggak, kita pergi bertiga, kumpul bertiga. Jangan aneh-aneh di tempat orang. Nyasar, baru tahu rasa kamu.” Nadia tertawa pelan. “Ya kamu kira aku mau ngilang, apa? Ya enggak lah, aku cuma nggak mau jadi orang ketiga, ntar jadi setan.” “Orang ketiga apaan?” Jani menyerngit tidak mengerti. “Kamu pikir aku ada apa-apa sama Andra?” “Yaaaaa siapa tahu.” kata Nadia tak acuh. Jani menggeleng dan tak menghiraukan Nadia lagi. Perempuan itu sudah tahu semua tapi tetap saja mengatakan omong kosong. Kalau mau, Jani bisa saja jatuh cinta dengan Andra tapi masalahnya masalah hati. Andra orang baik, banyak juga yang naksir dengan lelaki itu. Namun sayang seribu sayang. Yang namanya cinta, tidak bisa dipaksa. Mau Andra ganteng, tajir, kaya raya tujuh turunan, tujuh tanjakan sekalipun, kalau nggak cinta, bisa apa? Harusnya, Nadia menawarkan Andra pada perempuan yang gila harta. Bukan pada Jani yang jelas-jelas kaya raya. Untuk apa mencari yang kaya lagi. Toh, statusnya tidak akan turun kalau memiliki seorang lelaki dari kalangan bawah. Mengabaikan Nadia, Jani kembali sibuk dengan laptopnya. Seperti hari-hari kemarin, jam sepuluh pagi nanti harus rilis artikel beserta teaser singkat tentang modul-modul baru perumahan di daerah Menteng. Baru juga mengangkat kepalanya, Jani hampir melempar muka Nadia dengan mouse kalau perempuan itu tidak memundurkan wajahnya. Pasalnya, Jani yang terkenal suka terkejut, kaget melihat Nadia tahu-tahu berdiri terlalu dekat dengan laptopnya, pakai sedikit membungkuk. Persis seperti setan yang ingin keluar dari layar. “Apaan sih, Nad? Untung nggak aku tinju wajah kamu.” Nadia cengengesan. “Pertanyaan aku yang tadi belum dijawab, Nek. Yah, mau, yah…pergi ke perayaan malem minggu?” Jani mengembuskan napas tak minat, tapi dia mengangguk juga. Percuma juga menggeleng karena Nadia pasti menyeretnya paksa untuk ikut ke perayaan sialan itu. Jani yang baik hati dan tidak sombong mah, bisa apa ya, kan? “Iya, sama Andra tapi. Aku nggak mau kalau cuma berdua, ntar digangguin om-om lagi.” Lagi-lagi, Nadia cengengesan dan mengacungkan kedua jempolnya kepada Jani. Kalau urusan Andra, Nadia memang pawangnya. Colek sedikit, lelaki itu pasti langsung iya-iya saja. *** Senin memang identik dengan kesibukan yang merayap. Namun entah kenapa dengan Jumat minggu ini. Baik Jani dan tim lainnya sibuk bukan main karena banyaknya tugas tambahan dikarenakan ada yang cuti sementara karena melahirkan. Jani yang menjadi sekretaris di tim itu, tentu langsung ditunjuk sebagai ketua. Dan di sana lah semua dimulai. Saat dirinya mengantikan Mbak Tanti untuk presentasi pekerjaan tim mereka di petinggi-petinggi penting yang ada di fly.id. Kenapa harus presentasi segala? Karena tentu untuk melihat kinerja pegawainya. Perusahaan Ormord bukan perusahaan yang main-main tentang pekerjanya. Semua harus tersertifikasi. Kalau bisa merekrut pegawai yang kompeten, kenapa harus mencari yang membanggakan IPK 4 saja? Mencari IPK 3,7; 3;8; 3;9; tentu banyak. Belum tentu yang memiliki IPK sebagus itu berbanding lurus dengan kemampuannya. Karena sekarang, kebanyakan orang mencari nilai bukan ilmu. Padahal sudah jelas bukan, belajar itu mencari ilmu bukan nilai. Kalau nilai bisa dibeli, maka ilmu tidak akan pernah didapatkan kalau tidak pernah berjuang untuk mendapatkan ilmu itu sendiri. Namun, banyak sekali kasus seperti ini. Tapi tetap saja, kalau bukan rejekinya, tidak bisa dijangkau juga. Tuhan sudah menyiapkan porsi hambanya sesuai dengan yang dibutuhkan. Tidak berlebihan, tidak kekurangan, pas. Dan tentu, sebagai penanggung jawab dadakan, Jani sedikit agak gugup saat melihat satu persatu petinggi fly.id masuk dan duduk di tempatnya masing-masing. Bukan apa-apa, dia takut kalau dia tidak maksimal karena dia baru mempelajari ulang proposal tadi malam. Saking gugupnya, dia sampai tidak bisa tidur. Jani lupa, ada Tuhan yang senantiasa membantunya. Harusnya, dia tidak khawatir. Tidak apa-apa, khawatir dan gugup itu wajar. Memang tidak mudah menghadapi ketakutan dalam diri sendiri tapi bukan berarti tidak bisa. Sejak pagi, dia sudah mengirim chat di grup kalau dirinya meminta maaf jika nanti presentasinya kurang baik. Dia juga minta doa semua orang agar presentasinya berjalan lancar. Karena kalau konsep ini diterima dan menarik banyak klien setelah disetujui oleh plan manager, mereka bisa berada di posisi aman. Dengan kata lain, bisa dipromosikan naik jabatan. Namun, lebih dari pada itu, Jani hanya ingin semua berjalan lancar dan kerja keras timnya beberapa bulan terakhir ini tidak sia-sia. Dan lagi, Andra adalah plan manager di sana, tentu Jani sudah memberikan info lebih dulu pada Andra dan Andra tentu sudah setuju dengan beberapa perubahan sedikit konsep di awal. Sebenarnya bukan maksud ingin memanfaatkan. Namun ya, ada orang dalam, kenapa tidak? Toh, Jani hanya meminta masukan dan Andra sudah setuju dengan konsepnya dan hanya ada perubahan kecil. Jani rasa, itu bukan memanfaatkan melainkan diskusi singkat belaka. Then, she has to face it by her self. Mulanya, Jani sudah mampu mengendalikan dirinya sendiri. Dia sudah senang mulut beberapa saat lalu dengan Nadia hingga dia nampak konyol karena memonyong-monyongkan bibirnya tidak jelas dan bersuara bak orang tidak waras. Namun, mereka menikmati itu semua. Nanti, enak kapan, momen seperti ini pasti akan dirindukan. Jani sudah membuka mulutnya dan hampir. Hampir saja membuka suara dan memulai. Namun pintu rapat terbuka dan masuklah sosok yang tak pernah Jani bayangkan sebelumnya akan hadir di rapat hari ini. Untuk sesaat pandangan Jani terpaku pada sosok Dafa yang datang dengan pakaian formal rapi. Demi Tuhan Jani jadi ingat dengan Panji. Oh ayolah tentu saja, mana mungkin Dafa tidak mengingatkannya pada Panji kalau wajahnya mirip sekali seperti itu. “Saya belum telat, kan? 9.58, masih dua menit lagi.” Katanya sambil melihat arloji yang terpasang sempurna di pergelangan tangan kirinya. Beberapa orang di sana tertawa dan mempersilahkan Dafa untuk masuk. Jani sampai harus menahan napas, dia semakin gugup sendiri. Namun, saat dia menoleh ke sayap kiri, senyumannya mengembang melihat Andra menatapnya penuh keyakinan dan tersenyum tipis. Tentu itu menjadi mood booster tersendiri bagi Jani dan membuatnya lebih percaya diri. Dia mampu. Dia bisa. Dan dia pasti akan melakukannya dengan baik, sangat baik malah. Ya, dia harus percaya. Satu jam berlalu dan benar-benar menjadi rapat yang efektif lengkap sudah dengan sesi tanya jawab yang dilontarkan kepada Jani. Tentu Jani yang tahu dan paham dengan konsep yang dia bawa, mampu meyakinkan semua petinggi yang ada di sana. Dafa pun bertingkah professional, memang tidak diragukan lagi posisinya di Ormord. “Untuk MOM akan diberikan kepada setiap divisi. Terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata. Sekian dari saya.” Penutup yang singkat, padat dan jelas. Semua orang tentu langsung keluar tapi ada beberapa yang masih diam di tempat rapat karena ada perlu dengan Jani. Dan Pak Surya adalah orang yang memilih tetap di sana. Dia sebenarnya ingin menginterogasi Jani, ralat—lebih tepatnya menanyakan sesuatu pada Jani. “Apa kamu bersedia menjadi kepala dari divisi publikasi?” Jani terdiam sejenak, sedikit meresapi pertanyaan Pak Surya yang agaknya terlalu mendadak dan tiba-tiba. Lalu, Jani menoleh kepada Andra dan lelaki yang ditatap hanya mengangkat bahunya tak acuh. Jani mengulum bibirnya, “memangnya, kepala divisi yang sekarang kenapa, Pak? Bukannya Mas Andi kerjanya baik, sangat baik malah. Saya banyak belajar dari beliau.” Pak Surya tersenyum kecil. “Iya, tapi masalahnya, dia mau resign. Mau pindah ke kantor yang ada di Bandung.” Jani terdiam, dia tidak tahu soal ini. Dan anak-anak juga tidak ada yang memberi tahu ataupun membahas tentang hengkangnya Mas Andi. Kenapa mendadak sekali? Padahal, Mas Andi adalah pendengar dan pementor yang baik. Saat ada yang salah, dia tidak langsung menyalahkan tapi memberikan pengertian kalau konsep yang dibawa kurang tepat. Sayang sekali kalau Mas Andi benar pindah. Namun, kalau Pak Surya sendiri yang memintanya, bisa jadi Mas Andi memang ingin keluar dari sini. “Jangan langsung dijawab, saya tahu ini terlalu mendadak tapi ini juga kesempatan bagus buat kamu.” kata Pak Surya lagi. Jani mengangguk mengiyakan dan baru tersadar kalau Dafa masih di sana saat Pak Surya pergi. Mereka hanya saling tatap singkat karena Jani langsung mengalihkan perhatiannya pada Andra yang masih bersedekap d**a di tempat duduknya. “Menurutmu gimana?” “Ambil lah, kapan lagi?” katanya enteng. Dia langsung bangkit dan terkejut melihat Dafa masih di sana juga. Namun, hanya bermodal senyuman tipis ke arah Dafa, Andra langsung berlalu. Jani tentu tidak tinggal diam, dia langsung membereskan laptop dan beberapa berkas yang tertata di meja dan bergegas untuk keluar. Seperti Andra yang tersenyum tipis, Jani juga melakukannya, sekadar basa-basi kepada atasan. “Permisi, Pak.” “Tunggu.” Langkah Jani terhenti saat mereka bersisihan, hingga Dafa yang jauh lebih tinggi dari tubuhnya meski sudah mengenakan heels tujuh senti, berdiri tepat di depannya. Dia mengulurkan gantungan kunci kecil berbentuk globel dengan lukisan abstrak yang melingkar. Untuk sejenak Jani terpaku. “It’s falls when we collided.” Jani mengembangkan senyumnya yang menawan saat menerima gantungan kunci itu. Itu kado dari Panji dan Jani sudah pusing beberapa hari ini mencari gantungan itu. Dan sekarang, tanpa dicari, barang itu kembali kepadanya. Diberikan seseorang yang mirip dengan Panji pula. Kebetulan macam apa, ini? She could’t figure out this moment. But, of course she is happy. “Terima kasih.” kata Jani tulus. Dafa menatap Jani yang terlihat berbinar hanya karena gantungan kunci yang menurutnya biasa saja. Oh ayolah, beli di luar sana juga tidak sampai menghabiskan uang pecahan seratus ribu. Setidaknya, itu yang Dafa pikirkan. Dia sendiri tidak tahu kebenarannya seperti apa. Karena, dia memang belum pernah melihat gantungan kunci seperti ini. Atau mungkin, itu memang gantungan kunci yang dibuat secara khusus. Namun, untuk apa juga dia peduli, kan? Tidak ada gunanya juga. Dafa tak menjawab, dia langsung berlalu begitu saja. Sedang Jani, mata berbinarnya sudah digantikan dengan tatapan berkaca-kaca, dia sudah berpikir kalau akan kehilangan gantungan kunci ini. Terima kasih untuk Dafa, Jani berhutang dengan lelaki itu. Kembali melanjutkan langkahnya, Jani berjalan dengan percaya diri sesekali tersenyum pada semua orang yang kebetulan dia lihat sepanjang kembali ke ruangannya. Mendadak, moodnya membaik setelah semalaman galau setengah mampus disela-sela mempelajari proposalnya. Tuhan…Engaku memang Maha Adil. Saat kembali ke ruangannya, Jani dihadiahi tepuk tangan dan kaget saat melihat Mas Andi duduk di kursi kerjanya. “Mas kok nggak bilang kalau mau resign?” tuduhnya langsung saja. Jani meletakkan berkas dan laptopnya di meja Nadia, titip sebentar. “Kenapa, mau kamu kasih kenang-kenangan?” tanyanya santai, terlihat tak punya beban sama sekali. Jani mencibir. “Masak aku ditanyain Pak Surya buat gantiin, Mas.” “Ya bagus Jan, ambil aja. Kemampuan kamu juga nggak kaleng-kaleng.” Jani menatap Mas Andi curiga. “Jangan-jangan, Mas yang rekomendasiin aku, ya?” Mas Andi tersenyum dan meminum cup kopi yang dia genggam. “Enggak lah, Pak Surya emang udah tahu sepak terjang kamu lagi.” Jani belum puas dan Nadia hanya menjadi pendengar yang budiman. “Kenapa pindah ke Bandung, Mas?” Mas Andi mengembuskan napas pelan, raut wajahnya berubah agak sedih bagi yang bisa membacanya. “Istriku sendirian, nggak mungkin juga kan aku terus di sini.” Nadia menyerngit bingung. Pasalnya, Mas Andi sudah bekerja di sini lima tahun. “Lah, emangnya kan dari dulu kerja di sini, Mas. Kenapa dadakan pindah? Mbak Yuli kan tinggal di Jakarta juga.” tanya Nadia. “Dia udah pindah ke Bandung minggu lalu.” “Kenapa?” Mas Andi hanya nyengir. “Kebobolan.” “What?” pekik Jani dan Nadia bebarengan. Kemudian, mereka tertawa dan berakhir Nadia yang melempar berkas ke arah Mas Andi kesal. "Kenapa nggak bilang, sih? Tahu gitu aku mau bawain sesuatu buat Mbak Yuli.” kata Nadia lagi. “Keburu pindah” Mas Andi menyengir seadanya. “Btw, selamet ya, Mas. Ntar kalau lahiran, kita-kita jangan lupa diundang ke Bandung.” Kali ini, gantian Jani yang angkat suara. “Siap, reservasi hotel sendiri tapi.” Mereka hanya tertawa dan melanjutkan obrolan seputar Mas Andi yang benar-benar hengkang dari fly.id dalam kurun waktu satu bulan ke depan. Itu artinya, mereka harus siap-siap hectic setiap saat karena Mas Andi juga sudah mengajukan kepindahan di Bandung. Sebenarnya bukan kata hengkang yang tepat untuk menggambarkan kepergian Mas Andi tapi dipindah tugaskan ke Bandung. Tapi tetap saja, yang menjadi tim di bawahnya pasti sedih mendadak dia pindah secepat ini. Padahal, tidak ada angin tidak ada hujan sebelum ini. Mana lagi dia sudah dianggap sebagai kakak banyak orang di sana karena sikap dewasanya dan suka membantu orang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD