BAB 3. Memberi Pelajaran Manis

1551 Words
Semua berjalan sesuai rencanaku. Wendy akan menjadi istriku dan perusahaan yang sebelumnya di kelola oleh tim manegement oma Marina, sekarang berada di bawah kendaliku langsung. Sudah sejak lama aku ingin membangun usaha di luar yang sudah di kelola Ayah. Kebetulan The Princess Wear ini cukup menarik menurutku. Sekaligus menjadi tempat yang akan membuat Wendy tidak akan bisa pergi dariku lagi. “Kayaknya kamu jangan terlalu dekat deh Ga sama Wendy di kantor.” Ucap Sarah tiba-tiba. Kami dalam perjalanan pulang setelah acara launching perhiasan baru merek ternama. “Kami sudah dekat dari kecil, lo yang nggak tahu aja.” Balasku santai. Kemudian aku menghentikkan mobilku di lobby Apartemennya. “Yakin gue di turunin di sini Ga?” desahnya kesal. “Supir keluarga lo banyak, gue males anter lo sampai rumah soalnya jauh. Besok gue ada Meeting pagi dan banyak banget kerjaan yang baru aja serah terima. Besok kemungkinan bakal lembur juga jadi hari ini mau tidur cepet.” Balasku menjelaskan. Sedikitpun aku tidak pernah memberikan perhatian lebih pada Sarah. Sejak awal aku setuju dekat dengannya adalah untuk kepentingan perusahaan seperti yang Ayah intruksikan. Lalu dengan dekat dengannya aku juga tidak perlu mendapatkan gosip-gosip dengan wanita manapun yang mana itu cukup menyebalkan. Sarah sendiri juga aku rasa memanfaatkan hal yang sama dengan dekat denganku. Kami tidak pernah sekalipun memiliki kedekatan secara pribadi, apalagi secara fisik. Tapi entah kenapa semua temanku baik alumni tim tujuh maupun Oliver dan yang lain tidak ada yang menyukai Sarah. “Udah tujuh tahun lebih loh Ga kita dekat, kamu masih cuek banget kaya gini. Giliran sama Wendy aja langsung perhatian banget.” Protesnya langsung membuat aku memusatkan perhatian padanya. “Loh kedekatan kita selama ini hanya teman dan sebatas rekan kerja. Kenapa gue harus perhatian sama lo?” balasku. Dia langsung terkekeh. Selalu seperti itu saat gelagatku sudah ingin marah. Sarah pandai menjaga mood orang lain dan pandai mengendalikan dirinya saat berhadapan dengan orang lain. Karena itu kariernya sukses dan apapun yang dia kerjakan selalu berhasil. “Maksudnya tuh sesekali anterin aku sapai rumah dong, Ga, aku malas nunggu Supir soalnya.” Kekehnya geli. “Sana beli jajan!” ucapku sambil menyelipkan uang lima puluh ribuan ke tangannya yang sontak langsung membuatnya tertawa. “Emangnya aku bocah?” balasnya masih dengan sisa tawanya. Aku pun akhirnya terkekeh geli. Setelah mengembalikan uang itu ke tanganku, Sarah turun dari mobil dan melambaikan tangan padaku sambil tersenyum. Sejauh ini kami tidak pernah ada masalah. Hubungan kita baik dan terjaga di batas teman dan rekan kerja saja. Acara pribadi yang aku datangi bersamanya juga hanya sebatas acara rekan-rekan kerja saja. Tidak ada yang benar-benar pribadi. Tapi siang ini ada yang aneh, aku cukup terganggu dengan sikap ketus Wendy pada Sarah. Padahal aku lihat Sarah begitu Ramah. Dan aku sangat tahu bahwa Wendy tidak pernah setidak ramah itu pada orang yang tidak pernah membuat masalah dengannya. Setahuku Wendy tidak mengenal Sarah secara pribadi. Pertemuan pertama mereka adalah saat drama di Restoran dulu dan itu juga aku tidak pernah mengenalkan mereka secara langsung. Apakah ada sesuatu yang aku tidak tahu? “Sebelumnya pernah kenal sama Wendy?” tanyaku pada Sarah yang terlihat hendak mencuri minumanku. Tapi karena ini di belikan Wendy, aku langsung mengamankannya di bawah meja. Bibirnya langsung mengerucut. “Aku nanya loh Sar?” “Ya kamu pikir aja sendiri, mana mungkin aku kenal Wendy kan? Sebagian besar waktuku di habiskan di London jaman kuliah dulu, terus pas lulus aku duluan yang ke Indonesia karena kamu nambah satu tahun lagi di London. Sementarav Wendy sendiri terus di Paris nggak pernah pulang.” jawaban Sarah cukup masuk akal. Tapi kenapa sikap Wendy tadi masih menggangguku? “Terus hari ini ke sini mau ngapain?” tanyaku lagi. Seingatku kemarin aku sudah mengatakan hari ini akan banyak pekerjaan. “Mampir aja emang nggak boleh? Kebetulan deket sama tempat aku ngecek Catering.” Balasnya sambil memainkan pulpenku di meja. “Gue banyak kerjaan Sar, nanti juga harus lembur. Pulang aja sana! Lo di sini ganggu.” Ucapku jujur. Ucapanku memang cenderung tidak berperasaan. Semakin dewasa dan bertemu dengan berbagai macam orang, aku memang jadi pribadi yang malas basa-basi jika bukan di tempat yang membutuhkan itu. “Jahat banget kamu ih, mentang-mentang udah sekantor sama mantan, aku di buang.” Ucapnya terlihat kesal. Tapi dia segera beranjak, mengambil tasnya dan hendak pergi. Sarah selalu tahu kapan aku serius dan tidak. Itu bagus karena aku jadi tidak perlu terlalu berbasa-basi dengannya. “Gue serius Ga, yang gue bilang semalam. Jangan terlalu dekat sama Wendy apalagi kalian sekarang satu kantor. Gimanapun kamu harus jaga reputasi.” Ucapnya lagi yang aku iyakan saja supaya dia cepat pergi. Selepas kepergiannya, aku segera mengambil minuman yang di belikan Wendy dan cukup kaget karena rasanya pas dan sesuai yang aku mau. Senyumku terbit sambil meminumnya sampai hampir setengah gelas. Kemudian aku baru ingat bahwa Wendy hanya mengantarkan minum saja tadi, dompetku masih ada padanya. Aku terkekeh karena sifat lupanya itu kembali datang. Aku berencana tidak akan menanyakannya sehingga nanti bisa aku manfaatkan untuk di jadikan alasan membuatnya kesal, Sepertinya kali ini Tuhan sedang berpihak denganku karena itu aku selalu di beri banyak kesempatan untuk memberinya pelajaran yang manis. Menyenangkan sekali melihat wajah jengkelnya, apalagi status di sosial medianya yang terlihat kesal. Aku bahkan tertawa lantang ketika melihat akun pribadinya berganti nama menjadi Tuan Putri yang Teraniaya setelah aku menjadi atasannya. Isi kepalanya memang kadang-kadang sangat ajaib. Aku yakin sekali setelah lembur yang aku minta secara tiba-tiba tadi, dia pasti akan membuat status lagi. Entah kenapa aku jadi menantikan statusnya. Tidak masalah jika isinya selalu tentang kekesalannya padaku. Setidaknya dia masih membahas tentang aku di sosial medianya. Terhitung lebih dari enam tahun aku tidak berhubungan sama sekali dengannya dan hatiku rasanya hampa sekali. *** Sekarang sudah jam delapan malam lebih, sudah lewat waktu pulang kantor. Semua pegawai sudah pulang kecuali aku dan Wendy. Senang sekali melihatnya ada di jarak yang dekat sekali denganku. Aku bahkan bisa mencium aroma parfumnya yang sejak dulu tidak pernah berubah. Rasanya tidak sabar menjadikannya istriku agar aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan padanya. “Ayo kita buat perjanjian pernikahan!” Ucapanya membuyarkan perasaan bahagiaku. Hatiku langsung merasa seperti di cubit karena kalimatnya terdengar seperti dia tidak ingin menikah denganku. “Perjanjian nikah apa Wendy? Jangan berpikir yang tidak-tidak tentang pernikahan ini seolah aku sangat menginginkannya.” Jawabku dalam keadaan jengkel sehingga tidak sesuai dengan kata hatiku. Wendy menatapku dengan kesal. “Mas punya pacar kan? Dan aku juga mempunyai kehidupanku sendiri. Aku tidak ingin terjebak dalam pernikahan ini selamanya. Lagipula pacar mas Rega nantinya pasti patah hati kalau kita menikah, ujung-ujungnya aku yang akan di salahin juga kan? Aku nggak mau itu terjadi, karena itu, ayo kita buat perjanjian pernikahaan agar mas bisa menjelaskannya pada pacar mas dan agar aku bisa menata kehidupanku setelah pernikahan ini selesai. Tidak perlu juga di umumkan ke publik soal pernikahan ini. Aku malas di banding-bandingkan dengan pacar kamu.” Ucapnya panjang kali lebar. Setiap kata yang dia ucapkan sangat menggores hatiku. Pernikahan ini selesai dia bilang? Siapa yang akan membiarkan pernikahan ini selesai? Mimpi saja kalau ingin lepas dariku setelah menikah. “Tidak mau.” Balasku keras kepala. Wendy mendengus kesal. “Terus kamu maunya bagaimana?” “Tidak ada.” “Astaga Regarta, tolong serius sedikit! Kita sedang membicarakan hal yang serius loh.” Ujarnya kesal. “Aku tidak suka membahas hal-hal yang bukan keinginanku.” Jawabku sambil terus fokus pada pekerjaan. Padahal hatiku sakit sekali mendengar dia hanya menginginkan pernikahan sementara. “Kalau tidak ingin menikah, bujuk ayah kamu, sialan!” Ucapannya langsung membuat aku menoleh dengan kerutan di dahi. Aku berdiri, lalu berjalan memutar hingga berada tepat di samping kursinya. “Siapa yang ngajarin kamu ngomong kasar kaya gitu?” tanyaku tidak ramah. Wendy langsung mengatupkan bibirnya gugup. “Nggak ada.” Balasnya lirih. Matanya menatap ke bawah, tidak berani bertatapan dengan mataku. Sikapnya saat menghadapi kemarahanku masih sama, dan aku suka. “Apa pacar-pacar bule kamu yang ngajarin kamu jadi sekasar ini?” bisikku lirih. Dia langsung melotot dengan kesal. Tangannya meraih kerah bajuku dengan keras sehingga aku kehilangan keseimbangan. Kursi yang di dudukinya tentu saja tidak kuat menahan beban kami di tambah tekanan ketika aku jatuh ke tubuhnya. Karena itu kami berdua jatuh ke lantai dengan cukup keras. Untung saja aku sempat melindungi kepalanya dengan tanganku dan menangkap pinggangnya dengan tanganku yang lain. Mungkin kedua tanganku akan lecet nantinya, tapi itu tidak masalah karena sekarang bibirku menempel di bibirnya dengan sempurna. Selama beberapa detik kami berdua diam dengan kaget sambil menahan posisi yang sulit karena kursi yang masih berada di sekitar kami. Dia terlihat syok dan aku sebenarnya sudah menyadari posisi kami tapi aku enggan melepaskan momen berharga ini begitu saja. Aku rindu sekali bibir ini, rasa lembutnya, hangatnya dan mungkin manisnya jika aku cecap masih sama. Cuma aku belum berani melakukan sejauh itu. Wendy mulai terlihat gugup tapi tangannya sulit bergerak karena ketahan tubuhku. Wajahnya memerah dan perlahan mulai menutup matanya rapat karena malu. Aku gemas sekali. Tapi aku langsung berdiri dengan kaget saat ada seseorang yang mengetuk pintu ruanganku. Wendy sendiri langsung beringsut meringkuk ke pinggiran mejaku. Aku yakin ada bagian tubuhnya yang sakit sekalipun aku sudah berusaha melindunginya. Aku segera merapihkan kerah bajuku dan beranjak menuju pintu. “Sarah? Ngapain ke sini? Kan aku bilang aku lagi lembur.” Tanyaku jengkel. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD