'Mama Baru'

1237 Words
            Amel menggeliat. Kepalanya terasa pening dan sekujur tubuhnya sakit. Pelan-pelan dia mencoba membuka mata. “Kepala gue kok pusing banget sih. Eh, kayak kamarnya Pak Hang.” Ujar Amel bermonolog dengan dirinya sendiri. Amel memfokuskan penglihatan. Ia mengedarkan mata untuk meneliti kamar yang ia tempati sekarang.           ‘Ya Allah!’, mendapati kesadarannya Amel segera mendudukkan diri. Alangkah paniknya Amel ketika melihat Hang yang tidur tanpa sehelai benang membungkus diri lelaki itu. ‘Mana pules banget lagi,’ batin Amel.           “Ini gimana?” lirih Amel bingung sendiri. Amel jadi berpikir kalau Hang nanti pasti memecat dirinya. “Kalau gue dipecat gimana? Gue masih punya hutang pay later di beberapa aplikasi lagi. Huwaa.. Kan celana dalem yang kemaren gue pake belom lunas di Sofee.” Ricuh Amel membuat si pemilik kamar terbangun dengan menepuk keningnya. Laki-laki yang sebentar lagi berusia empat puluh delapan itu mengubah posisi tidurnya menjadi telentang.           “Celana dalem yang semalem?”           “Iya bener!” buru-buru Amel menoleh ke samping setelah sadar bahwa ia telah menjawab pertanyaan seseorang. Bola matanya membulat dengan wajah tersentak akibat kaget berlebihan. “Bapak kenapa udah bangun?” tanya Amel takut-takut.           “Itu celana bekas kamu ngutang yang saya robek?”           “Bapak rusakin?” Hang mengangguk polos mejawab pertanyaan Amel. “God!” Ya udah nggak papa. Saya pesen di Toko Batam itu. Murah kok, tapi saya belinya sampai banyak makanya pake aplikasi utang online.”           Hang mendesah. Dia sangat tahu Amel anak yang baik, meski beberapa kali membuatnya kesal dengan beberapa pekerjaan yang selesai tidak tepat waktu, wanita seusia Rara— putrinya itu memang memiliki pola pikir berbeda. Dia lebih seperti remaja dibandingkan Rara yang terlihat dewasa jauh dari usianya. “Nanti saya bayarin ya. Sekarang kita bahas yang kita lakuin semalem dulu.”           Horor.. Tiba-tiba saja kamar Hang terasa begitu mencekam untuk Amel. Seperti tengah menonton akun Youtube Sarah Wijayanti di tengah malam, Amel merasa bulu kuduknya berdiri semua seolah ada makhluk halus tengah mengintai ubun-ubunnya.           “Kamu mandi dulu sana! Saya pinjemin baju Rara.”           “Eh! Bapak!” Amel mencekal lengan Hang yang masih kekar. “Jangan Pak. Nanti kita ketahuan Bu Rara. Saya takut dikira sekertaris gatel, terus di pecat Pak.” Pinta Amel membuat Hang memicingkan mata.           “Semalam kamu emang gatelin saya Mel.”           Amel menundukkan kepala sembari melepaskan jari-jari dari lengan Hang. ‘Kenapa jadi dia yang di sudutkan? padahal kan di sini dia korban,’ pikir Amel menilai ucapan Hang seolah dia lah yang menggoda lelaki itu semalam.           “Jangan banyak mikir! Pikirin rapat kita nanti! Saya potong gaji kamu kalau sampai ada kesalahan seperti minggu lalu.” Setelah mengucapkan ancamannya, Hang bergerak menuruni ranjang. Lelaki yang masih terlihat tampan dan segar di usia kepala empatnya itu berjalan menuju lemari. Mengambil beberapa pakaian dan tampan risih memakai di hadapan Amel yang tiba-tiba saja merasa malu.           “Saya ke Rara dulu!”           Amelia menghempaskan tubuh ke ranjang, berguling-guling sambil terus mengumpat tentang apa yang telah ia lalui dengan Hang. “Aaa… Astaga! Itu aki-aki kenapa kaya oppa-oppa korea badannya. Mana hot banget. Mimpi apa di boboin dia.” Racau Amel sambil menghentakkan kaki di ranjang.           “g****k! Bahlul ente Mel!” maki Amel pada diri sendiri ketika ia mendudukkan diri lagi. “Gue kan abis diperawanin. Ya Allah, Mak-Bapak! Anak mu udah nggak suci!” kali ini Amel menjerit histeris mengingat orang tuanya di alam barzah pasti sudah menyiapkan parang untuk menggorok lehernya.           Amel jadi berpikir untuk mencari nomor Malaikat Izrail di buku telepon. Dia mau nego buat mati suri bentar biar bisa minta maaf sama orang tuanya. Mereka pasti paham kalau kejadian semalam itu di luar kendali. Amel mau janji juga buat cari laki-laki yang lebih baik dari Bos galak dan kikir seperti Hang, biar banga mereka.           Ceklek!!           Amel menarik bed cover cepat, lalu membungkus diri seperti kepompong saat mendengar suara pintu di buka. Jantungnya berdebar mendengar suara jeritan yang amat ia kenal. Gadis yang memiliki usia sepantaran dengan dirinya itu pasti sempat melihat tubuh mulus telanjangnya yang nggak punya kutil.           “Ameeell! Ngapain kamu telanjang di kamar papa saya, Amel?!”           ‘Nah kan! Mati gue Ya Allah,’ ratap Amel dalam hati. Ia mengutuk Hang yang bodoh karena menyuruh Rara masuk ke dalam kamar lelaki itu. Memang orang tua, pasti otaknya sudah tumpul walau lulusan luar negeri juga.           “Kamu jadi cabe-cabeannya papah juga?!” Amel menggeleng dalam bed cover. Sampai mati juga dia nggak mau jadi sugar babby-nya Hang. Walaupun dapet ini itu, Amel takut kalau nanti kena penyakit kelamin. Secara duda yang ditinggal meninggal istrinya itu pacarnya ganti-ganti mulu.           Rara yang kesal karena tidak mendapat respon dari Amel memutuskan keluar dari kamar. Ia akan mencari info langsung pada Hang dibanding menunggu Amel buka suara. Sejak Hang meminta dirinya untuk mengantar pakaian ke kamar sang Papah, Rara memang sudah negative thinking tapi tidak berpikir akan menemukan sekertaris lelaki itu dengan keadaan telanjang.           “Papah!” tegur Rara membuat Hang yang tengah menyesap kopi paginya, kembali meletakkan cangkir ke atas meja.           “Kenapa Ra?”           “Papah apain sekertaris papah?! Kenapa dia telanjang?!”— Rara dan Hang memang memiliki komunikasi baik. Ia juga mengerti kebutuhan sang papah sejak mamanya berpulang karena sakit beberapa tahun lalu. Rara dan Ibu Hang bahkan sempat menjodohkan lelaki itu dengan beberapa wanita agar Hang tidak sering melanglang buana. Malu juga Rara kalau ada kerabatnya yang melaporkan kelakuan Hang dengan beberapa model.           “Papa nolongin dia. Temen kamu, Atila nggak mau papah putusin. Dia kasih papah hadiah wine, katanya di suruh minum nanti malem aja. Papah suruh buang si Amel, malah diminum. Kamu kaya nggak tahu temen kamu yang model itu.”           “God Pah! Papah kok tega sih sama Amel. Kan bisa papah biarin aja. Amel anak yatim-piatu masih papa manfaatin aja!” kali ini Rara jelas-jelas menghardik papahnya. Rara tahu Hang memang memiliki kebutuhan. Sebagai seorang gadis yang pernah belajar ilmu biologi, rara cukup paham kebutuhan orang dewasa. “Rara bakal bilangin ke Oma!” sungut Rara tak terima.           “Amel udah Rara anggep kaya adik sendiri. Papah udah melakukan hal nggak senonoh ke anak papah!” mata Hang membulat sempurna. Ucapan Rara tentu saja membuat ia bergidik ngeri.           “Papa Inces ih! Dosa! tekan Rara mengatakan jika papahnya telah amat sangat berdosa karena menggauli Amel yang telah ia anggap sebagai adik.           “Amel bukan anak papah ya Ra! Jangan aneh-aneh kamu!” sentak Hang tidak terima.           “Tapi udah Rara anggap adek. Oma pasti juga anggap Rara cucu. Dia kerja sama kita udah agak lama. Keluarga kita dia Pah! Astaga papah. Hiii…”           Hang menyugar rambutnya. Kalau tahu akan seribet ini respon anak sulungnya, Hang tidak akan meminta Rara mengantarkan pakaian untuk Amel di kamar.           “Ini ada apa sih. Mbak Rara kenapa marah-marah sama Papah?!” tanya Resti yang baru masuk ke ruang makan sambil  mengucek ke dua matanya. Kentara sekali kalau anak tiga belas tahun itu baru saja bangun tidur.           “Anak kecil nggak usah tahu. Ini urusan papah sama Mbak.” Ketus Rara pada adiknya.           Hang menghembuskan nafas, sebelum menatap ke dua putrinya dengan tatap mata serius. Ia menganggukkan kepala mantap, sebelum meminta Rara dan Resti untuk mendengarkan ucapannya.           “Papah mau nikah lagi.”           “Hah?!” pekik Rara dan Resti berbarengan.           “Res! Panggil calon mamah kamu di kamar papah. Suruh turun sini sarapan bareng.”           Rara yang shock dengan ucapan papahnya memegang d**a kuat-kuat. Jadi selain menggauli gadis yang ia anggap saudara, papahnya akan menikahi Amel. God! Rara harus mengadu kepada sang Oma.           “Siapa Pah?!” tanya Resti pada Hang.           “Mbak Amel. Suruh ke sini cepet.”           “Omaaaaaa… Papah main cabe-cabean lagiiii.” Teriak Resti berlarian untuk menemui omanya yang tinggal di depan rumah sang papah.                 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD