Zoya sedang duduk di teras belakang sembari bermain ponsel. Dia sudah melihat banyak sekali foto Bara dan Nasha, mereka tampak serasi dan saling mencintai. Bibirnya refleks melengkung ketika melihat mereka di foto, Andai dia juga mendapatkan takdir seperti Nasha yang bahagia dan mempunyai keluarga lengkap yang menyayanginya.
Lihat saja sekarang, di depannya tersedia makanan enak lengkap dengan minuman tanpa dia harus bekerja keras untuk membuatnya. Ketika asyik bermain ponsel, Zoya tiba-tiba memikirkan sesuatu yang mustahil terjadi. Dia langsung mencari di internet, tentang jiwa yang tertukar.
Dia langsung terhenyak ketika mendapatkan salah satu artikel yang menulis, jiwa bisa saja tertukar jika saja memiliki saudara kembar. Hanya itu yang masuk akal baginya untuk di percaya, sedangkan alasan lain tidak begitu bisa di percaya. Zoya menatap ponselnya dengan tatapan kosong.
"Zoya?"
Zoya terkejut ketika ada yang memegang punggungnya, dia berbalik dengan cepat dan menghela napas lega setelah mengetahui yang menyentuhnya adalah Bara. Pria itu juga terkejut dengan reaksinya dan langsung menarik tangan lalu duduk tidak jauh dari tempatnya sekarang.
"Maaf, aku mengagetkanmu." ucap Bara.
Dia hanya mengangguk, berusaha menetralkan napasnya. Itu selalu terjadi jika dia di sentuh oleh orang, Zoya pernah mengalami kejadian yang membuatnya trauma sampai sekarang. Dia pernah menjadi korban pelecehan yang dilakukan oleh perempuan yang mengasuhnya disana. Tidak hanya satu, ada beberapa orang dan juga laki-laki.
Itu terjadi di umurnya yang keempat tahun, dia tidak seharusnya mengerti di umur saat itu. Tetapi, banyak teman yang lebih tua darinya juga lebih dulu diperlakukan seperti itu. Itulah yang membuatnya tidak bisa di sentuh dengan mudah sampai sekarang, Rasa takutnya sangat besar akan di perlakukan seperti itu kembali.
"Tidak masalah, ada apa?" tanya Zoya setelah lebih tenang.
Bara melipatkan tangannya, "Aku ingin memperkenalkanmu dengan seorang terapis, psikiater. Siapa tau itu bisa mengembalikan Nasha."
Dia menatap pria itu lama, jika dilihat sekilas pria itu tampak santai dan tenang. Tetapi, Zoya melihat pria itu sangat panik dan seperti menahan diri untuk tidak kehilangan kendali atas dirinya. Bara tidak bisa melalui harinya tanpa Nasha, itu yang bisa Zoya tangkap dari beberapa hari bersama pria itu.
"Tentu saja, aku akan berusaha sebaik mungkin agar tidak mengecewakanmu. Tetapi, ada yang ingin kubicarakan juga." ucapnya ketika pria itu sudah hendak berdiri dari tempatnya.
Bara menatapnya, "Apa?"
"Bagaimana jika jiwa kami tertukar? Aku tidak tahu bagaimana, tetapi mungkin sesuatu terjadi dan itu membuat kami berada di tubuh yang berbeda." ucap Zoya dengan suara bergetar.
Tubuhnya merinding ketika mengetahui jika, tubuh yang sebenarnya sudah ada di dasar lautan ketika mencoba untuk menenggelamkan diri. Jika nyawanya tidak dalam bahaya, tidak mungkin dia ada disini sekarang. Zoya mengusap wajahnya kasar, sepertinya keadaannya sekarang lebih rumit dari apa yang dijalaninya dulu.
"Itu hanya bisa terjadi jika kami saudara kembar. Apakah Nasha memiliki saudara kembar?" tanya Zoya.
Bara tidak berkedip ketika melihatnya, "Setahuku dia anak tunggal. Aku sudah tahu itu sejak kami pertama kenal dan dia memang anak tunggal sampai sekarang."
Zoya langsung menghela napas panjang, "Lalu bagaimana ini terjadi?"
"Aku tidak tahu, jika saja kamu tidak bunuh diri saat itu. Istriku masih bersamaku sekarang!" ucap Bara sedikit keras.
Zoya mundur dari posisinya, dia melihat kemarahan pria itu keluar setelah memendamnya cukup lama. Zoya meremas jemarinya takut, "Ini bukan salahku."
"Bagaimana bisa bukan salahmu? Kamu cepat sekali menyerah, kamu masih muda dan seharusnya bisa berkembang dan hidup lebih mudah dari semua orang. Bukan mengakhirinya dengan bunuh diri!"
Mata bara memerah, jantungnya terasa seperti terbakar ketika memikirkan istrinya sudah tenggelam ketika menyadari jika Zoya melakukan bunuh diri dan itulah yang menyebabkan jiwanya berada di tubuh istrinya sekarang. Dia ingin sekali memarahi wanita yang duduk tepat di depannya ini, tetapi Bara menyadari jika dia sama saja menyakiti istrinya.
Mereka memiliki tatapan sayu yang sama, ekspresi yang sama ketika bingung dan sedih. Mereka terlalu mirip untuk di katakan sebagai orang yang berbeda. Bara seperti orang gila yang harus menghadapi sendiri masalah ini, sebelum dia tidak tahan dan menceritakan ini kepada seorang temannya yang seorang psikiater.
Keadaannya jauh lebih tenang, tetapi ketika masalah ini kembali di ungkit. Bara kembali kehilangan kendali yang sudah susah payah dia pertahankan sejak memutuskan untuk berbicara kepada Zoya. Amarahnya yang baru saja meluap langsung menguap ketika melihat Zoya ketakutan karena perkataannya.
Bara mengetatkan rahang, "Maaf, aku sangat frustasi karena mengkhawatirkan istriku."
Suasana canggung itu menyelimuti mereka berdua, saat itu baru Bara menyadari jika ucapan Zoya cukup masuk akal kenapa jiwanya berada di tubuh istrinya. "Aku akan mencari tahu lebih dulu, jika kemungkinan Nasha memiliki saudara kembar."
Zoya mengangguk pelan, dia tidak melihat pria itu pergi dan baru menarik napas setelah beberapa detik kepergian Bara. Dia tidak berhenti meremas tangannya, ketakutannya juga sama. Bagaimana jika dia akan terjebak di tubuh ini selamanya? Bagaimana jika tubuh aslinya sudah tenggelam di laut?
Tiba-tiba saja ketakutannya akan kematian datang dan itu membuat dadanya sesak bukan main. Zoya seperti ingin kembali membuang jiwanya yang kembali menyusahkan bagi orang lain. Walaupun di tempat terbuka dan sangat sejuk, dia merasa berada di ruang sempit yang sesak.
"Apa yang harus kulakukan?" gumam Zoya.
Dia terkisap ketika baru menyadari sesuatu. Zoya langsung berdiri dan mengejar Bara. Dia mendapati pria itu sudah berada di dalam mobil dan siap pergi dari rumah. Zoya menuruni tangga dengan tergesa, "Bara!"
Bara menoleh ketika mendengar seseorang memanggil namanya, jantungnya berdetak kencang ketika melihat tubuh istrinya itu sedang berlari ke arahnya. Dia langsung keluar dari mobil dan menghampiri Zoya yang masih tergesa-gesa berlari ke arahnya.
"Kita harus pergi sekarang!" ucap Zoya lalu mengelilingi mobil dan membuka pintu penumpang.
Bara mengerutkan kening, dia masuk kembali ke dalam mobil dan menatap Zoya yang sudah duduk tenang menggunakan sabuk pengaman. "Mau kemana?"
Zoya menatap Bara seolah pria itu baru saja mengucapkan hal yang aneh. "Ke pantai, tempatku tenggelam."
Ada getara di mata Bara, pria itu mengangguk kaku lalu ikut emasangkan sabuk pengaman. Sebenarnya, Bara bukan orang yang kaku. Pria itu tampak seperti pria yang bisa berteman dengan semua orang yang baru pertama ditemuinya. Entah kenapa, Zoya merasakan hal itu, hanya saja Bara lebih menjaga jarak darinya, terkesan tidak perduli dan dingin ketika bersama dengannya.
Namun, Zoya pantas merasakannya. Sebelum ini mereka benar-benar orang asing. Pria itu mengajaknya berbicara hanya karena jiwanya berada di dalam tubuh istrinya. Dia memutuskan untuk memasukkan jalan yang akan mereka lalui di peta agar Bara tidak bertanya lagi.
Mereka mengendarai mobil dalam keheningan. Hanya ada suara napas yang terdengar, Zoya melihat-lihat ke luar jendela. Dia tidak pernah akan sering mengendarai mobil mewah seperti ini di dalam hidupnya. Terkadang, dia senang hanya dengan melihat mobil yang terparkir di pinggir jalan.
"Kamu bisa membuka jendelanya jika ingin."
Zoya menoleh, "Lebih baik begini, diluar sedang panas."
Tanggapan Bara hanya tersenyum, "Lebih lama denganmu hanya membuatku sadar jika kalian memang dua orang yang berbeda."
"Tentu saja."
Percakapan singkat itu berakhir, Zoya kembali menatap ke luar jendela. Dia tiba-tiba melihat rekan kerjanya dulu, Zoya meliaht gedung perusahaan itu lalu menghela napas berat.
"Kenapa? Pernah kerja disitu?" tanya Bara pura-pura tidak tahu.
Pelan, Zoya menganggukkan kepalanya. "Tidak terlalu menyenangkan, tapi cukup menghidupiku berbulan-bulan."
"Apa gajinya tidak cukup?" tanya Bara.
"Cukup seharusnya."
Dia tidak ingin lagi mengingat kenangan saat itu. Zoya sekarang setidaknya menikmati waktunya dan bisa mengenangnya sebagai kenangan indah. Mereka singgah di tempat peristirahatan untuk makan dan membeli beberapa cemiln untuk di makan selama perjalanan.
Beberapa jam kemudian, mereka sampai di pantai itu. Zoya mengambil napas panjang ketika turun dari mobil, anginnya lebih kencang dari pada saat terakhir kali dia ke tempat ini. Mereka berjalan bersisian menuju pantai, Zoya mengubah arah untuk berjalan ke sebuah gazebo yang dulu dia gunakan.
Kenangannya masih bisa dia ingat dengan jelas, sementara itu Bara memperhatikannya tanpa mengalihkan tatapan sedetik pun.
"Disana, tempat aku menenggelamkan diri." ucap Zoya sembari menunjuk lurus ke lautan lepas.
Keduanya memandang air laut yang berombak cukup tenang. Walaupun angin lebih kencang, masih banyak orang berada di dekat pantai untuk bersenang-senang. Zoya turun dari gazebo dan menuju ke bibir pantai, tubuhnya berhenti ketika Bara memegang tangannya.
"Mau kemana?"
Zoya menatap ke arah depan, "Siapa tahu aku bisa mengembalikan jiwa istrimu."
"Jangan, kamu mungkin bisa membahayakan nyawanya juga." ucap Bara.
Dia langsung melepaskan cekalan tangan Bara, "Jika usahaku berhasil. Kamu juga akan senang bukan?"
Bara menelan ludah, "Baiklah, jangan terlalu ke tengah."
Zoya benar-benar mengambil langkah dan arah yang sama. Ketika melangkah semakin dekat dengan bibir pantai, kepalanya terasa pusing tetapi dia berfirasat itu mungkin karena anginnya kencang. Zoya tetap melangkah, dia ingin air mencapai betisnya, tetapi keinginannya berkata lain.
Tubuh Zoya langsung jatuh dan kesadarannya menghilang ketika telapak kakinya menyentuh air.
...
Bara berlari begitu melihat tubuh Zoya jatuh ke pasir. Dia langsung menggendong Zoya dan membawanya ke mobil, dia baru saja memasangkan sabuk pengaman ke tubuh Zoya begitu tangannya di pegang.
"Mas?"
Sekujur tubuh Bara membeku, dia langsung memeluk tubuh istrinya. Tetapi, itu hanya beberapa detik sebelum tubuh itu kembali lunglai di dalam pelukannya. Bara hanya membaringkan tubuh istrinya itu di dalam mobil. Dia langsung menuju rumah sakit terdekat.
Saat dia akan membawa tubuh istrinya turun, Bara di kejutkan karena tubuh istrinya tersentak kuat. "Sayang?"
Bara menatap mata istrinya yang masih mengerjab-ngerjab. Mata itu menatapnya, "Ini aku. Kenapa kita disini?"
"Zoya? Kemana istriku?" tanya Bara.
Zoya memperbaiki posisi duduknya, kepalanya masih terasa pusing. "Dia tadi disini?"
Dari tatapan Bara, dia bisa melihat kebahagiaan pria itu menghilang begitu saja. Zoya menghela napasnya, "Maaf."
Pria itu merasa tidak percaya dengan kata-katanya, mereka berdiam diri di dalam mobil selama lebih dari setengah jam. Bara juga memindahkan mobil ke tempat yang lebih sepi untuk bisa berpikir jernih.
"Aku juga belum mati, tadi aku mendengar suara orang berbicara disekitarku. Tapi, semuanya gelap."