Video

1046 Words
Sebuah panggilan berdering menunggu untuk dijawab, saat perempuan dengan rambut sebahu itu sibuk mengoles wajah dengan bedak untuk mempercantik diri. Ia menoleh pada ponsel di atas kasur tepat di sebelah bantalnya. Tertera nama dan wajah Doni pada layar dengan cahaya berkedip-kedip. Getaran semakin mendengung, membuatnya menaruh alat make up dan meraih benda pipih yang terus saja berbunyi. “Halo ....” Bibir tipis dengan olesan lip balm pink terbuka, saat ia menempelkan ponsel pada telinga. “Aku sudah di depan, cepatlah!” “Ya, dua menit lagi.” Panggilan seketika terputus, saat ia berbicara demikian. Secepatnya ia kembali mengambil barisan alat di atas meja rias dan membenarkan polesannya yang belum sempurna. Sentuhan terakhir pada bulu mata dengan penjepit, menjadi final rutinitasnya untuk membuat dirinya tampak fresh. Buru-buru ia mengambil tas ransel cokelat dan beberapa tumpukan buku yang digamitnya di antara lengan dan d**a. Dibukanya pintu kamar dan celingukan ke kiri dan kanan sebentar. Lantas, berjalan tergopoh menuju ke depan. Ia sepertinya tak mau jika pemuda yang kini sedang berada di depan pagar, menunggu terlalu lama. Dipastikannya tak ada yang melihat Doni yang duduk di atas motor bututnya di depan. Diangkatnya lengan sebelah kiri dan melihat jam pada pergelangan tangan dengan warna gold yang tampak terlihat menyatu dengan kulitnya yang putih mulus. Pak Gito belum datang pada jam seperti ini. Biasanya, ia akan datang sepuluh atau lima belas menit sebelum jam tujuh tepat. Sebelum Papa berangkat menuju kantor jam 07:15. “Ayo cepat!” sergahnya pada Doni dan segera naik di belakangnya. Tanpa menunggu lama, dan diketahui yang lain. Motor segera melaju cepat menuju kampus mereka. *** Motor diparkir pada parkiran belakang kampus seperti biasa. Sebab bagian depan, dipenuhi mobil-mobil mewah milik para anak dengan kelas menengah ke atas. Esti tak suka menjadi gadis yang dikenal dengan kemewahan hidup. Ia lebih menyukai kesederhanaan. Meski hal itu hanyalah secuil kegampangan jika saja ia mau. Ia bahkan bisa menjadi ratu di kampus, hanya dengan kedipan mata. Akan tetapi, ia bukan gadis murahan dan suka menjadi publik figur. Meski tetap saja, namanya selalu menjadi topik dan dielu-elukan para pemuda kampus, juga kaum hawa. Banyak pula gadis di kampus yang iri dengan dirinya. Seorang putri Wicaksana. Ia juga dikenal banyak orang sebagai penulis n****+ online dengan memakai nama penanya sendiri, Titi Jasmine. Meski ia cukup mudah mendapat uang saku yang bahkan lebih-lebih dari papanya. Ia lebih suka mengumpulkan pundi-pundi rupiahnya sendiri dengan menjadi author. Walau dikenal begitu kalem, ia seorang penulis n****+ dengan genre thriller dan horor. Yang begitu kontras dengan karakternya sendiri di dunia nyata. Beberapa mata tampak mengawasi dua insan yang turun dari motor. Sebagian besar bergerumun. Sebab, semua tahu jika semalam Esti melaksanakan pertunangan besar yang menjadi viral dan perbincangan banyak orang, dari postingan Bu Winda, Mama Bagus. Keluarga Raharja memang selalu meng-update setiap hal dan kebersamaan keluarganya. Bahkan Bu Winda sudah menjadi konten kreator dan akunnya sudah monetisasi. Dengan follower lebih dari 18M. Namun, tiba-tiba hari ini, Esti begitu santai jalan berdua bersama lelaki lain yang sungguh berbeda kasta dengannya. Beberapa tampak mengambil gambar serta memvideokan Esti dan Doni. Tanpa sepengetahuan mereka. Tanpa punya rasa takut, keduanya berjalan beriringan menuju gedung kampus dengan wajah ceria, seperti sedang dalam candaan. Esti seperti tak peduli dengan banyak paparazi yang selalu siap mengintai dan mencari fakta terbaru darinya. Sampai dalam gedung, keduanya berpisah. Esti berbelok ke arah kiri, sedang Doni ke arah kanan. Sebab, keduanya berbeda kelas dan semester. Sampai dalam kelas, Esti masuk dan menjatuhkan tas ransel di atas meja nomor tiga dari depan, di dekat dinding. Diempaskannya tubuh pada kursi hitam dan bersandar pada dinding. Tasnya terasa bergetar, saat ia baru saja menumpuk beberapa buku di sebelah tas. Ia membuka resleting dan merogoh ke dalam, mengambil ponsel yang masih terus berdering. Tampak nama Bagus di layar pipih miliknya. Bibirnya merengut, membiarkan teleponnya terus dalam panggilan. Meski ia tak menghiraukan, ponsel itu terus saja menyala beberapa kali. Sampai terlihat tulisan 5 panggilan tak terjawab di sana. Tetap dari nomor yang sama; Bagus. Esti berdecak kesal, membiarkan ponsel terus saja berdering dan mengusiknya. Seorang teman di bangku belakang mengingatkannya. “Ti, kenapa nggak diangkat? Kali aja penting.” Ia memaksa tersenyum pada gadis dengan jilbab yang berbicara di belakangnya. Dengan rasa malas ia terpaksa mengangkat panggilan. Tak mengeluarkan suara sama sekali. Menunggu seseorang di sana memulai percakapan. “Halo, Esti ....” Hanya embusan napas yang ia berikan untuk menjawab panggilan dari seberang. “Mm ... Aku dapat DM, dari beberapa akun. Maaf, apa benar yang kulihat? Aku kirim videonya ke WA mu sekarang.” Esti menarik ponsel dari telinga, lalu membuka pesan dari Bagus. Memutar video yang masuk. Alisnya tampak bertaut. Dilihatnya video yang menampakkan dirinya yang turun dari boncengan Doni, lalu berjalan penuh canda, disertai tawa renyah. Bibirnya seketika mengerucut. Ia menyibakkan rambut dengan menggoyangkan sedikit kepala, lalu menempelkan kembali gawai miliknya pada telinga sebelah kiri. Ia berdehem satu kali. Lalu berkata. “Iya benar, kenapa?” “Esti, please ... tolong hargai aku. Baru saja semalam kita melaksanakan pertunangan. Pagi ini kamu sudah berulah seperti ini. Bagaimana kalau video ini sampai pada orang tua kita? Tolong berhati-hatilah. Banyak paparazi di sekitarmu!” Bibir Esti membuka sedikit. Sepertinya ia kesal. Hidungnya terlihat kembang kempis. “Dengar, ya, Gus. Aku berakting semalam hanya demi orang tua kita. Bukan untukmu. Aku sudah punya jawaban sendiri, jika video ini tersebar dan sampai pada orang tua kita. Tenang saja! Jangan sok perhatian denganku!” Terdengar tarikan napas di seberang telepon. Sepertinya Bagus berusaha sabar dan menenangkan diri. Ia memang lelaki dengan d**a yang begitu lapang. Meski ia selalu ditolak Esti dengan segala makian dan kata kasar, ia tak menghiraukan, dan terus saja berjuang mempertahankan. “Oke, aku minta maaf. Aku tak memaksamu untuk punya perasaan yang sama denganku. Tapi satu pintaku. Tolong hargai ikatan antara kita. Itu saja.” Esti memejam, menggigit ujung bibirnya. Sepertinya ia merasa bersalah. Kepalanya mengangguk, meski Bagus tak melihatnya di ujung sana. “Iya, aku mengerti. Terima kasih sudah diingatkan.” Suaranya sedikit parau, dengan tenggorokan yang tampak tercekat. “Oke, maaf sudah mengganggu waktumu.” Terdengar suara panggilan Bu Winda yang berteriak pada Bagus. Sebelum akhirnya telepon terputus. Tut ... tut ... tut .... Esti terdiam. Masih digenggamnya ponsel pada telinga. Sepertinya ia merasa bingung. Lantas, bergumam sendiri. “Apa Bu Winda melihat video itu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD