Si Misterius Lainnya

1108 Words
Malam ini aku tidur lumayan nyenyak. Meski dalam isi kepala masih penuh dengan bermacam pertanyaan untuk kejadian hari ini. Tubuhku terlalu lelah. Hingga, dengan mudahnya mata ini memejam. Aku belum bertemu Papa lagi, setelah ia pergi bersama polisi dan yang lainnya ke kantor. Sebab, waktu sudah terlalu larut. Kepalaku masih saja terasa berdenyut dan ingin diistirahatkan. Aku tak tahu apa kasus sudah selesai dan benar-benar clear? Tubuhku terlalu malas untuk beranjak. Meski dengan menelepon Papa saja aku bisa, tangan ini serasa enggan menyentuh ponsel. Tak mau tahu lagi kelanjutan kisah ini. Muak! Ya, lebih tepatnya begitu. d**a ini terasa penuh dan sesak ketika mendengar nama Doni. Ia yang beberapa hari ini sudah mengusik ketenangan hidupku. Aku tak habis pikir, kenapa aku harus dihadapkan dengan lelaki seperti dia? Bagaimana jika dia merusak semua rencana besar keluarga kami? Tak terbayangkan jika Mbak Esti benar terpikat dengannya. Aku paham sekali, lelaki sepertinya yang diinginkan hanyalah harta. Aku yakin, jika ia tak benar-benar cinta. Apalagi, melihat basic-nya yang hanya seorang sopir. Tak salah lagi. Ah, semua pikiran ini membuatku tak bisa lagi memejam, kulirik jam beker di atas meja sebelah ranjang, pukul 03.30. Masih terlalu pagi untukku berpisah dengan nyamannya kasur. Aku menikmati hangatnya selimut dengan membenamkan kembali tubuh ini di bawah naungan penutup tubuh ini. Hmm ... nikmat sekali. Ponsel bergetar pada nakas, membuatku membuka sedikit selimut yang menutup kepala. Rupanya ada notif masuk. Kurentangkan tangan mengambil ponsel yang masih menyala. Mataku membulat melihat nomor yang sebelumnya menggangguku. Apa lagi yang diinginkannya kali ini? Ku seret layar bar tanpa membuka pesan. “Suka dengan permainanku?” Gigiku seketika bergemeletak, geram. Kini aku yakin, jika dia adalah Doni. Sungguh, ia benar-benar menguras emosiku hari ini. Kubuka pesan dan memencet gambar gagang telepon di bagian atas. Apa ia masih tak mau mengaku dan mengelak? Beberapa kali nada dengung tanpa diangkat kudengar memenuhi telingaku. Pengecut! Kututup panggilan. Lantas, mengulangnya kembali. Empat kali nada ‘tut' kudengar, lalu ... suara embusan napas terdengar dari seberang. Kutajamkan telinga dan merapatkan ponsel untuk bersiap mendengar sambutannya. “Halo ....” Mataku membelalak saat mendengar suara pertamanya. Aku terperangah, tak bisa membalas sapaannya. Ternyata yang kudengar adalah suara seorang wanita, begitu lembut. Siapa dia? Jadi, tebakanku selama ini salah? Sebentar! Bisa jadi dia adalah Doni yang membuat suaranya menjadi seperti perempuan. “Ini aku, Al.” Kutajamkan pendengaran untuk mengingat siapa pemilik suara. Aku seperti pernah mendengar suara seperti ini sebelumnya. Tetapi siapa? Suaranya kalem dengan sedikit nada yang dibuat-buat. Aku yakin ia sengaja, agar aku tak segera mengenalinya begitu saja. “Siapa kau?” tanyaku sinis. Berharap ia kembali bersuara, agar aku bisa kembali mengingat siapa sebenarnya dia. Ia terkikik, menertawakanku. Aku kesal! “Jangan main-main denganku!” ancamku keras. Tawanya semakin panjang, dengan nada ejekan yang membuatku kian gatal. Semakin penasaran. Tak ada lagi ucapan dari mulutnya. Hanya embusan napas beserta tawa ledekan yang terus ia lontarkan. Membuatku muak! Kuakhiri panggilan dan membuang ponsel serampangan di kasur. Geram menyelimutiku. Arrgh ... kesal rasanya. Pandai sekali ia memainkan suasana hatiku. Aku berdecak, menyibak kasar selimut yang menutupi tubuh. Dinginnya AC seketika menelusup dalam kulit yang hanya berbalut kaos oblong tipis dan celana kolor. Kududukkan tubuh dan memandang ponsel yang berada di sebelah kiri ku. Kuambil sedikit ragu, lalu mengusap layar. k****a kembali pesan dari si misterius. Lalu mengetikkan sebuah kalimat. [Apa maumu?] Kulihat statusnya seketika online, dan pesanku berubah jadi centang biru, pertanda terbaca. Beberapa detik, kutunggu status online-nya menjadi ‘mengetik’.  Namun, tak kunjung berubah meski detik berubah menjadi menit. Kembali aku mendengus dan sebal. Kujambak rambut sendiri. Bodoh! Kenapa aku malah terseret dalam permainannya? Pasti inilah yang diinginkannya. Kesal, juga marah. Saat ini ia pasti tertawa puas melihatku yang kian geram. Aku harus tenang, tak boleh terburu-buru. Akan kuikuti semua permainannya, hingga di saat yang tepat nanti, aku bisa mengungkap siapa sosok di balik nomor misterius ini. Sepertinya aku benar salah duga. Meski nada suaranya dibuat-buat. Aku tahu persis jika itu suara wanita. Bukan lelaki yang sedang menyamar. Jadi benar aku salah duga. Tetapi, siapa dia? Bukankah selama ini Doni yang sering membuat masalah dengan keluarga kami? Lantas, siapa perempuan misterius itu? Kenapa ia tak mau mengungkap jati dirinya? Selama ini, aku tak pernah bertemu dan punya masalah dengan seorang wanita mana pun. Mataku berputar untuk mengingat. Meski sudah sekuat mungkin menerka-nerka, tetapi tak kutemukan sebuah nama pun yang pernah punya masalah denganku. Oh, aku ingat seseorang! Mungkinkah Adinda? Lalu untuk apa? Apa ia terlalu sakit hati saat aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, dan lebih memilih Lucky, sahabatku? Saat itu aku tak mau lagi bertengkar dengan Lucky. Aku yang sudah berkawan sejak kecil, tak mau ribut saat tahu Lucky dan Adinda ada perasaan sama. Aku harus merelakan rasa cintaku, daripada kehilangan seorang sahabat baik seperti Lucky. Semua kenangan indah bersama Adinda waktu itu, kini memutar di otakku. Segala hal menyenangkan yang pernah kujalani bersamanya, membuat rasa rindu kini terbesit di hati. Tetapi ... Ah, tidak! Harus kutepis semua hal ini. Agar aku tak lagi terperangkap dalam kungkungan rindu. Ini salah! Bagaimana jika benar dia adalah Adinda? Yang kini malah membuatku geram dan kian penasaran. Aku tak boleh terbuai lagi dengan rayuannya. Ia sudah tega mendua dan menikungku dari belakang. Perempuan seperti itu takkan pernah baik jika dijadikan pasangan. Kling! Suara notif pesan masuk. k****a tiga kata yang ia ketik. [Tebak saja sendiri] diikuti emoticon menyeringai. Aku berusaha sesantai mungkin dan tak gegabah membalas. Ia pasti suka dan ingin aku menjadi geram. Untuk itu, tak kubalas dulu pesannya kali ini. Akan kubiarkan ia yang berbalik penasaran padaku. Tak akan kublokir dan memberinya kesempatan untuk terus mengusik. Agar ia semakin bingung dengan permainannya sendiri. Ya, harusnya seperti ini. Aku mesti lebih kalem menanggapi. Bukankah aku Aldi yang selalu mendapatkan apa yang kuinginkan? Dengan caraku sendiri, aku kudu mencari informasi tentangnya. Agar tak menjadi masalah yang semakin merumitkan otakku. Kling! [Jangan sok cuek, aku tahu kamu kepikiran] Hanya k****a pesan yang masuk, tanpa berniat membalas. [Kita bahkan punya ikatan yang kuat, lebih dari sekedar teman atau saudara] Dahiku mengerut, apa maksudnya? Pesan beruntun kembali masuk. [Aku akan terus mengganggu waktumu] [Sampai kau muak] [Camkan itu!] Bibirku menyungging. Rupanya kini ia yang penasaran. Aku berhasil memancing emosinya. Rasakan itu! Kling! Lagi, pesan kembali masuk. Tetapi bukan dari nomor tadi. Siapa lagi ini? [Suka dengan permainanku?] Apa-apaan ini? Kenapa chat ini muncul lagi? Tetapi, apa nomor ini adalah orang yang sama? Kubiarkan saja, tanpa ingin membalas pula. Membuang waktuku saja. Saat akan menaruh ponsel kembali pada meja, satu pesan kembali masuk. Kulirik sebentar untuk memastikan. [Kau simpan di mana kacamataku?] Mataku membelalak, jadi dia ... Doni? Kini aku yakin, jika nomor sebelumnya benar bukan dirinya. Lantas, siapa wanita itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD