Gelang Hitam

1074 Words
Mbak Esti langsung berdiri ketika menemukan wajahnya. Segera ia melangkah untuk mendekat, namun secepatnya dicegah oleh Papa. Tubuh Papa tetiba berdiri di hadapannya, berusaha menghalangi. Menatapnya tajam, lalu menggeleng. Mbak Esti meneguk ludah, mengangguk pelan lalu kembali menjatuhkan diri di kursi. Papa membalikkan tubuh, menatap Doni yang masih bergeming dengan wajah sumringah. “Mau apa kamu ke sini?” Tanpa menjawab, Doni mengangkat tangan dan menyodorkan beberapa tumpuk buku. “Punya Esti,” ucapnya tenang. Papa hampir melangkah, tetapi dihentikan Bi Sumi yang langsung berjalan sedikit membungkuk di hadapannya. Ia menerima buku itu dan berbicara lirih pada Doni yang tidak bisa kami dengar dari sini. Anehnya, Doni seketika pergi tanpa ingin masuk atau bertemu dengan Mbak Esti yang tampak gelisah sejak kedatangannya di depan. Wajah Mbak Esti terlihat berharap, begitu sendu. Namun, ia tak mungkin mengingkari janjinya sendiri. Apalagi di depan keluarga Bagus seperti ini. Bi Sumi berbalik, setelah memastikan Doni pergi dari rumah, dengan mengimpit buku-buku punya Mbak Esti di depan dadanya. Ia melangkah menuju Mbak Esti. “Taruh di kamar saja, Bi.” Anggukan patuh diterimanya dari Bi Sumi yang langsung melengos ke dalam rumah. Entah, apa yang diucapkannya pada Doni hingga dengan mudahnya pemuda itu pergi tanpa mengucap pamit. Seperti terhipnotis. Kulirik wajah semua orang di ruangan ini. Tak ada senyuman. Hanya muka masam yang kulihat pada tiap raut wajah mereka, seperti kesal karena tiba-tiba di hadapkan dengan seseorang yang tengah menjadi bahasan. Mbak Esti menunduk. Pasti hatinya saat ini sedang kacau, antara malu sekaligus tak enak jadi satu. Entah, tak bisa kugambarkan perasaannya. “Sudah, sudah. Kita anggap masalah ini selesai. Tak perlu dibahas lagi.” Pak Darma menutup kecanggungan kita. “Sudah pada makan belum? Kita makan siang sama-sama ya.” Mama menambah untuk melunakkan ketegangan ini. Sesegera mungkin beliau menarik tangan Mbak Esti dan mengajaknya masuk. Mungkin, mau mempersiapkan makanan untuk tamu agung yang hampir terkuras emosinya. Aku hanya bisa menyandarkan tubuh di sofa untuk mengurangi segala kepeningan ini. Bi Sumi kembali masuk dalam ruang tamu, membawa minuman di atas nampan. Napasku kembali tercekat, melihat sosok di belakangnya yang tampak meringis kepadaku. Sial! Apa maksudnya? Kenapa makhluk itu menampakkan diri di saat seperti ini? Kuarahkan pandang ke bawah, menghindari tatapan sosok hitam yang kian menciutkan nyaliku. Berharap saat kembali menengadah, makhluk itu tak tampak kembali. Kulihat Bi Sumi di depan meja yang tingginya sebatas lutut orang dewasa. Ia duduk bersimpuh dan menata gelas-gelas di depan tiap orang. Dentingan gelas kaca yang beradu dengan meja, menambah ramai suasana hati kami yang sedari tadi memanas. Rupanya di belakang Bi Sumi, sosok itu masih terus ada. Bisa kulihat sekelebat bayangnya dari sudut mata, meski tak sepenuhnya kulihat secara detail. Aku benar-benar tak mengerti. Kenapa wanita yang puluhan tahun hidup damai bersama kami, tetiba punya makhluk seperti itu? Apa ia sengaja melakukannya, tetapi untuk apa? Apa ia sedang ada masalah? Sudah terlalu lama aku tak menanyakan tentang dirinya. Dulu, kami lumayan dekat. Ia selalu bercerita tentang segalanya padaku. Anak semata wayangnya, kebunnya di desa. Semuanya. Apa kabar hewan-hewan ternaknya di desa? Ah, aku terlalu sibuk mengurus diri sendiri, sampai lupa menyempatkan waktu bercengkerama dengannya. Kulirik dirinya yang kini tepat di hadapanku. Ia membalas lirikanku, tersenyum. Garis halus pada kelopaknya tampak jelas di sana. Entah, sudah berapa lama aku tak lagi menatap mata sendu itu. Beberapa rambut putih tampak menyembul di antara yang hitam. Selama itukah aku mencampakkannya? Aku hampir lupa kapan terakhir kali melihatnya tertawa bersamaku. Ia adalah malaikat penolong yang selalu menjadi sandaran, di kala amarah Mama dan Papa memuncak. Menjadi tameng terkuat, jika aku sedang tersakiti. Kubalas senyumannya dengan merekah. Aku sampai lupa pada sosok yang masih setia di belakangnya. Senyuman Bibi benar-benar mampu meneduhkanku. “Al ....” Aku terkesiap, menolehkan kepala pada pemilik suara yang memanggilku. Kutemukan wajah Bagus yang seperti heran menatapku. Alisnya saling bertaut. “Ya ...,” jawabku yang membuat alisnya semakin naik. “Kamu melamun?” Aku terdiam, tak langsung menjawab pertanyaan darinya. Membuatnya mengoyak sedikit tubuhku. Tubuh ini bergoyang seiring tarikannya. Membuatnya terkekeh. “Bisa-bisanya kamu tak sadar di saat seperti ini.” Aku meringis kecut, berusaha kelihatan lucu agar ia tak menanyaiku kembali. Tak mungkin kuceritakan padanya, jika aku melihat sosok hitam itu. Ia tak mungkin percaya. Sebab tak melihatnya sendiri. Bisa-bisa dikira aku tak waras. Terlalu parno. Namun, sampai kapan aku memendam semua ini? Apa orang-orang bisa menerima jika aku punya kemampuan khusus yang tiba-tiba saja datang ketika aku dewasa? Kulihat lagi Bi Sumi yang kini berdiri membelakangiku. Berjalan masuk menuju dalam rumah. Sosok yang mengikutinya tampak menutup wajahnya dari sorotan cahaya. Seperti kesakitan, tubuhnya meliuk menghindari. Aku mengikuti dari mana arah kilauan putih itu. Ada secercah cahaya yang menyilaukan mata saat kulihat Bagus yang masih tertawa di sampingku. Tepatnya pada pergelangan tangan. Sebuah gelang hitam. Ya, gelang itu tampak berkedip-kedip pada pandangan mataku. Bahkan terasa menembus retina hingga ke tengkorak. Apa ini? Cahaya lain tampak menyilaukan. Berasal dari kedua orang tua Bagus. Jadi, mereka bertiga memakai gelang yang sama? Aku dibuat penasaran dengan benda itu. Seperti ada kekuatan magis di dalamnya. Kupegang lengan Bagus dan menariknya. Memperhatikan gelang itu penuh saksama. Pria kekar ini diam saja saat kucermati benda pada pergelangannya. Tak menolak atau berontak. Pasrah. “Gelang apa ini? Kenapa kalian bertiga menggunakannya?” Ia mulai menarik lengan kekarnya. Mengulas senyum disertai embusan napas pelan. Ia menyandarkan tubuhnya pada sofa. Seperti mencoba tenang. “Ini dari Ki Pratna. Orang pintar yang kuceritakan itu. Sebagai tameng untuk kami dari segala kejahatan.” Ia mengangkat jemari tangan kiri menempel pada bibirnya, mendekat pada telinga dan membisiki ku. “Juga sebagai pengikat Esti. Agar kami lebih terikat kuat. ” Bibirnya menyeringai licik saat kulirik. Mataku memicing melihat lagi gelang itu. Apa benar benda itu mampu? Aku tak yakin. Melihat sikap Mbak Esti selama ini padanya. “Tapi, semuanya akan berhasil, jika Esti juga punya perasaan yang sama denganku. Jika tidak, akan sia-sia belaka.” Senyumnya kini masam, tak selega sebelumnya. Aku menarik sudut bibir. Dalam hati aku berkata, ‘Meski tanpa gelang itu pun, bakal berhasil. Selagi Mbak Esti mau membalas perasaannya.’ “Itu tergantung kamu. Bagaimana caramu untuk menarik pikat. Sementara hatinya masih bertaut dengan pemuda barusan.” Kugerakkan mata pada pintu depan rumah, lalu meliriknya kembali. Bibirnya merengut, seakan penuh sesal. “Bagaimana denganmu? Masih mau dengan tawaran bengkel itu? Jika iya, tahulah apa yang harus kau lakukan.” Aku menggigit bibir, mengangguk sekali. “Tak akan ku sia-siakan. Tinggal menunggu waktu saja.” Ia menjentikkan jari, “Sepakat.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD