Terlambat

1094 Words
Mbak Esti melirikkan bola mata padaku dan Lucky, disertai wajah cemas. Ia menggeleng. Membuat kami tak mengerti. Bibirnya mencecap beberapa kali, seperti menahan rasa sesak di d**a. Ia mengembuskan napas lega, lalu menutup panggilan. Aku mengendikan bahu. Menaikkan sebelah alis. Begitu pun Lucky, dagunya diangkat sedikit untuk bertanya. “Ditutup begitu saja,” katanya dengan nada lirih. Menaruh ponsel di atas meja. “Lalu?” tanyaku penasaran. Belum sempat Mbak Esti menjawab rasa penasaran kami, Semua mahasiswa tergopoh memasuki kelas dan duduk di bangku masing-masing. Membuatku berdiri dari kursi yang akan diduduki. Seorang gadis berambut pirang berdiri tepat di sampingku. Menunggu agar aku pergi. Aku segera bangkit, mengembalikan kursi tempatnya duduk. “Selamat pagi ....” “Pagi ....” Seluruh mahasiswa menjawab salam pada sosok yang berjalan dengan memandang seluruh orang dalam ruangan menuju kursi depan. Seorang dosen memasuki ruang Mbak Esti, membuatku dan Lucky buru-buru beranjak dan pamit keluar. Pria berkacamata dengan usia sekitar lima puluhan itu, melihatku dan Lucky berjalan sedikit membungkuk sampai pada pintu ruang. Kuanggukkan kepala dan sedikit tersenyum untuk berpamit. Meski kami dari keluarga terpandang, Mama selalu mengajarkan agar kami memakai unggah-ungguh ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua. Sopan santun harus selalu diterapkan pada siapa pun, tanpa memandang status. Kami berjalan menuju gedung sebelah kampus, sekolah kami dengan langkah sedikit cepat. Saat melintas di depan sebuah ruang, kulihat wajah Doni menyeringai di depan pintu dengan menyilangkan kedua lengan di d**a. Aku tak percaya harus bertemu lagi dengannya di saat yang tidak tepat seperti ini. Tanganku langsung mengepal, geram. Ingin rasa membalas perbuatannya semalam, tetapi tak mungkin kulakukan di daerah kampus seperti ini. Bisa-bisa aku kena skors dan membuat catatan merah pada buku. Aku hanya mengatupkan bibir semakin rapat saat melihatnya. Kami bagai dua kubu musuh yang saling bertikai. Menampakkan wajah geram, dengan kumpulan emosi yang siap ditumpahkan. Saat kaki ini berhenti melangkah, Lucky menyeretku kasar. Aku masih berpandang pada sosok yang masih setia bergeming di depan pintu. Ia menaikkan dagu, menampakkan seringai jahat. Tangan kanannya bergerak keluar dari impitan, menyodorkanku sebuah jari tengah. Gigiku kian bergemeletak, dengan napas memburu. Lucky mencoba menyeretku lebih kuat. Agar segera pergi dari tempat kami berdiri. Hingga kuikuti tarikan Lucky, ketika Doni membalikkan badan, masuk ke ruangannya. Kami pun berjalan kembali dengan langkah lebih cepat, memburu waktu. “Apaan sih kamu, Al. Jangan gegabah dulu. Nanti kita cari cara yang lebih halus buat dia.” Kulepas tangan Lucky kasar dan mendelik padanya. “Kamu nggak tahu, apa yang sudah Doni lakukan semalam pada kami semua!” Lucky menautkan alis. Berhenti melangkah. Rupanya ia benar-benar tak mengerti. Aku yakin, seharusnya berita ini sudah menyebar luas. Tak mungkin jika tak ada seorang pun yang merekam kejadian keracunan masal semalam. Aku berpikir sejenak. Pasti semua ini sudah dibereskan oleh Pak Darma, dengan segala uangnya, ia pasti mudah membungkam semua tangan dan mata setiap orang. “Tak ada berita apa pun yang kulihat di sosmed Raharja's Family ....” Aku celingukan ke kiri dan kanan, memastikan tak ada orang lain yang mendengarkan. Lantas, menyeret Lucky ke pojok tembok ruangan yang tampak sepi, lalu berbisik padanya. “Semua tamu keracunan, gara-gara Doni sialan itu. Dia memasukkan sesuatu dalam minuman para tamu, dan kami sekeluarga hampir masuk penjara!” Matanya membelalak. “Apa? Bagaimana bisa Doni masuk?” Ia bersuara sedikit lantang, membuatku membungkam mulutnya dengan telapakku rapat-rapat. “Jangan nge-gas! Nanti aku ceritakan semuanya. Kasus ini pun belum rampung, dan aku belum tahu informasi terbaru dari Papa. Aku hanya berharap semuanya clear.” Mataku masih jelalatan ke sekitar, berharap tak ada yang mendengar percakapan kami. Ia menggerakkan kepala naik turun pelan. Langsung kulepas bungkaman tanganku dari mulutnya. “Jadi, kalian semua memang sengaja menutupi berita ini?” Kini suaranya lebih kalem, malah terkesan berbisik. Aku mengangguk. “Bantu kami juga menutup semua ini.” Ia mendengus, mendekatkan wajah padaku. Lantas mengucapkan sebuah kata. “Bodoh!” Wajahku seketika geram. Tak mengerti kenapa ia malah berbicara seperti itu padaku. “Siapa yang kausebut bodoh?” Alisku terangkat. Menajamkan pandang. “Kalian sekeluarga. Siapa lagi?” Aku menariknya lagi ke pojok tembok yang lebih sepi. “Apa maksudmu, hah?” Kutarik kemeja bagian atasnya, tak terima dengan sebutan yang ia lontarkan untuk kami. Ia hanya pasrah, malah terkekeh dengan seringai sinis. “Jika kamu tahu itu perbuatan Doni, kenapa tak kalian jebloskan saja dia ke penjara?” Kulepas cengkeraman tangan ini dan menarik napas sebentar. “Sudah kucoba. Tapi tak ada bukti kuat untuk meyakinkan. Bahkan, Papaku sendiri tak percaya dengan ceritaku.” Ia menyisir rambut blonde dengan jemarinya ke belakang. Seperti ingin memberi solusi. “Lalu, kenapa kalian menutupi ini?” Kusilangkan kedua lengan di d**a, menyandarkan tubuh pada tembok di belakangku. “Itu yang membuatku tak mengerti. Kenapa Papa dan Pak Darma lebih memilih menghilangkan semua perkara ini, daripada harus mengusut kasus dan mengungkap pelakunya.” Kudongakkan wajah ke atas. Lantas, menoleh sedikit pada sahabatku itu. “Entah kamu percaya atau tidak. Tapi aku yakin, Doni melakukan semacam ilmu pengasihan pada seluruh keluargaku. Terutama Mbak Esti dan kedua orang tuaku. Hingga dengan gampangnya semua orang takluk padanya.” Lucky memukul lenganku pelan, terkekeh lagi. “Jaman segini kamu masih percaya begituan? Haha ... Aldi, Aldi ....” “Aku serius, Ky. Bahkan aku bisa merasakannya!” Kutampilkan mimik tegang padanya. “Kamu cenayang?” Ia menunduk, menyemprotkan tawa dan menutup mulutnya dengan punggung tangan. “Akan kubuktikan suatu saat nanti.” Mantap aku berbicara untuk meyakinkannya. Ia hanya tersenyum dan menggeleng. Lantas, mengangkat lengan kiri dan melihat jam tangan miliknya. Matanya membelalak, seperti terkejut. “Al, kita sudah lewat jam. Mati kita!” Ia berjalan cepat mendahuluiku. Membuatku tergopoh mengikuti langkahnya. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Pantas saja suasana sekolah sudah lenggang, bahkan terkesan sepi. Aku lupa jika guru jam pelajaran pertama, didahului oleh guru galak yang akan mengomel panjang, saat tahu kami terlambat masuk. Ku salip Lucky dengan berlari lebih kencang. “Weh, Al!” Kami berlarian seperti bocah yang sedang beradu balap. Saling senggol dengan tawa cekikikan. Hingga ketika kami hampir sampai pada kelas. Ponselku bergetar, mendendangkan lagu Beggin dari Maneskin, pertanda panggilan masuk. Lucky mendahuluiku masuk kelas, sementara aku sibuk mengambil ponsel dari saku celana di depan ruang. “Papa?” gumamku sendiri. Tepat di depan pintu, guru yang terkenal killer, menyambutku dengan menyilangkan tangan. Lalu, menarik paksa handphone dari tanganku begitu saja “Aku sita ponsel ini!” Aku tercengang. Masih menengadahkan tangan yang sempat menggenggam ponsel. “Masuk, ujian akan dimulai!” Wanita dengan postur bulat itu mendelikkan mata, menurunkan gagang kacamatanya. Aku meneguk ludah, mengangguk pasrah. Lalu masuk dengan perasaan tak enak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD