Beraksi

1097 Words
“Astagaa! Aldi!” Jeritan Mama seketika menggema menyambut kedatanganku yang dipapah oleh Bagus. Ia yang tengah duduk membaca buku di teras rumah langsung panik, terus histeris sembari mengikutiku yang berjalan pincang dalam rangkulan Bagus, sembari mengecek seluruh tubuhku. Aku sendiri kaget melihat beberapa goresan dan luka yang tadi tak sempat kulihat. Bahkan di beberapa bagian tampak lebam membiru. Secepat itu. "Aldi!! Kok bisa sampai begini, sih. Ayo ngaku, kamu balapan?" Aku dan Bagus bergeming, kami terus berjalan sampai ke dalam rumah. Ia membaringkanku di atas sofa ruang tamu. Lantas, menyelonjorkan kaki yang sempat tergores aspal. “Aw ... pelan-pelan, Gus.” Aku sedikit merintih, saat luka-luka di tubuh tersentuh sofa. Mama tampak tergopoh, jejeritan memanggil Bi Sumi untuk mengambil kotak P3K. Gegas, pembantu kami itu, sigap datang dengan benda yang diminta Mama. Dalam wajah penuh cemas, Mama langsung menarik kotak dari tangan Bi Sumi. Lantas, menyuruhnya pergi. Meski Bi Sumi sudah meminta untuk melakukannya untukku. “Tak usah, biar aku saja. Urus bagian dapur.” Bi Sumi mengangguk patuh, lalu berlalu menghilang di balik tembok. "Ahh ... sakit, Ma." Mama menempelkan kapas pada luka di telapak tanganku. Begitu perih kurasa, saat luka yang menganga tersentuh dinginnya cairan antiseptik. Penuh khawatir wajah Mama terus mengernyit, seolah turut merasakan sakit. Jadi benar apa kata orang-orang. Jika anak sakit, orang tua juga ikut merasakannya. Baru kulihat semua itu nyata di depan mataku saat ini. Hingga Mama lupa dengan keberadaan Bagus sebagai penolong. "Maaf, aku pamit ya, Al, Tante ...,” ucap Bagus sopan. Kami menoleh padanya berbarengan. Ketika ia sudah berdiri dan siap untuk beranjak pergi. Mama menghentikan aktivitasnya padaku. "Eh, ya ampun. Maafin tante ya, Gus. Kok buru-buru, sih?" tanya Mama menengadahkan wajah. Penuh canggung, Bagus seolah memberi alasan tak jelas. "Masih ada pekerjaan, Tante." Kilahnya mencoba berbohong. Padahal aku tahu, ini hari minggu. Seharusnya ia free dari segudang pekerjaannya di kantor. "Kok tumben, sih, kamu ini? Biasanya kalau sudah ke sini ‘kan malas pulang. Apa nggak mau ketemu Esti dulu?" Aku dan Bagus berpandangan. Lantas, kubuka suara. "Mbak Esti ‘kan pergi sama Doni, Ma." Alis Mama bertaut. Seperti bingung. "Hah? Kapan?" Mama terlihat semakin linglung. "Tadi pagi,” jawabku jelas. Suasana seketika hening sesaat. Mama tampak menggerak-gerakan bola mata, mencoba mengingat. Sedang Bagus juga tampak turut keheranan. "Doni itu yang mana, ya?" tanya Mama yang membuat aku dan Bagus melongo tak percaya. Kami saling berpandangan. Kulirik Mama yang masih kebingungan. "Mama beneran nggak ingat?" Ia menggeleng ragu, bola matanya menampakkan keraguan. Kucoba membaca pikiran Mama. Ah, benar. Rupanya ia sekuat hati mengingat nama yang kusebut. Aku semakin yakin bahwa Doni menggunakan semacam pelet atau sejenisnya untuk keluargaku. Bagus melirikku lalu mengendikan dagunya untuk bertanya. Kubalas dengan senyuman. Dahinya mengerut, tampak ingin tahu apa yang terjadi pada Mama. Tak bisa kujelaskan begitu saja, apa yang sudah kulihat. Sebab, aku tak yakin jika ia percaya. Aku juga tak mau memberitahu siapa pun perihal kemampuan yang kupunya. Suara tawa renyah dua orang terdengar mendekat di depan teras rumah. Tepat di ambang pintu, kulihat dua sosok manusia yang sempat kuikuti, sebelum akhirnya membawaku pada kecelakaan kecil. Bagus tampak sedikit kesal, rahangnya mengeras, menatap keduanya. Ia pun benar-benar berpamit pergi. Kala tepat di depan pintu mereka berpapasan, Doni melirik Bagus dengan seringai mengejek. Sedangkan Bagus kulihat lebih tegar dari sebelumnya, ia hanya berjalan lurus tak peduli. Hanya melirik dengan tatapan tajam pada Doni. Aku terheran lagi, seketika Mama melunak dan meleleh melihat paras Doni, ia memperlakukannya bak pangeran, takluk. Mempersilakannya dengan sopan dan suara lembut. Padahal ia tadi sempat lupa, aneh. Beberapa perbincangan mereka membuat otakku penuh dan pusing. Entah apa yang terjadi, gaungan suara asli dan suara hati mereka seakan meraung-raung di telingaku. "Ahh ... diam!!" sentakku keras pada otakku sendiri, membuat mereka bertiga terdiam menatapku. "Aldi! Kamu nggak sopan ya ...,” kata Mama dengan mata membulat. "Bu-bukan kalian, Ma." "Kumat lagi tuh anak," ejek Mbak Esti menyungging. "Jangan asal ngomong, Mbak! Kamu nggak tahu apa yang kurasakan!" Sekelebat bayangan tiba-tiba berjalan cepat mendekatiku. Kini ia tepat di depanku, menatapku lekat dengan wajah buruknya. Ya, wanita berkebaya merah itu kini menyeringai menghalangi pandang. Aku shock! Begitu buruk tak seperti sebelumnya. “Aaa ... jangan, jangan, pergi!" ucapku refleks sembari merentangkan tangan mencoba mengusir. "Aldi ...!!" Seketika aku terdiam saat Mama membentak. Lagi-lagi penampakan itu menghilang begitu saja. Ketiga orang di depanku memandang dengan wajah tak suka. "Dasar gila!" kata Mbak Esti kasar. Wajahku memanas, terbakar emosi. Andai mereka tahu ini kelakuan Doni, pasti mereka mengusirnya seketika. Kulirik Doni di sebelah Mbak Esti. Ia sedikit menyunggingkan bibir ke atas. Aku muak! Mama bahkan lupa dengan luka dan apa yang kualami. Terpincang-pincang aku berdiri, ingin pergi masuk ke kamar. Sudah terlalu malas dengan sikap mereka. Saat mulai menyeret langkah, sekilas kulihat lagi tali merah menjuntai, aku menoleh cepat. Namun, sama seperti sebelumnya, seketika gambaran tali itu menghilang begitu saja. Sial! Doni benar-benar mengerjaiku. Kulirik lagi wajah pemuda sok polos itu. Geram menyelimutiku. Meski tertatih, aku berjalan menuju kamarku di lantai atas. Tanpa bantuan siapa pun. *** Kubaringkan tubuh dengan perlahan. Ah... perih di sekitar tubuh ini membatasi gerakku. Penuh hati-hati ku tata tubuh agar tak tergores apa pun. Drrt ... drrt .... Ponsel bergetar mengagetkanku. Kuambil benda pipih dalam saku. Tampak wajah Lucky, temanku. Segera kuseret layar itu ke atas, lalu menempelkannya pada telinga. "Hei, Aldi, kamu lupa ta?" "Sorry, Ky, tadi sudah sempat otw. Tapi ada sedikit kendala, jadi sekarang pulang lagi.” Kudengar bibirnya berdecak. “Gimana, sih? Bokapku nungguin , nih!” Tanpa banyak bicara, kuganti panggilan suara ke video untuk menjelaskan apa yang terjadi. Lalu, ku posisikan kamera ke bagian tubuh yang luka. "Apa itu, Al?” Ku posisikan kembali kamera pada wajah, lalu berkata, “Menurutmu apaan?” Wajah itu seketika terkikik di sana, “Jadi, kamu habis nyium aspal?” Ia semakin terkekeh. "Kamu ini nggak malah prihatin, malah ngetawain. Teman macam apa itu?" kataku dengan wajah dongkol. "Sorry, Al. Okelah rebahan saja dulu biar cepat sembuh. Oh ya, tadi aku liat Mbak Esti boncengan sama cowok masuk ke rumah depan bengkel Bokap. Siapa dia? Pacarnya?" Kupingku langsung memanas ketika mendengar orang yang disebut. Malas aku mendengar cerita tentang Doni. "Nggak tahu, Ky. Nggak kenal tuh.” Aku berusaha menampakkan wajah biasa, meski dalam hati kesal kurasa. "Oh, oke. Ya sudah tak lanjut bantu bokap, ya. Cepat sembuh!” ucapnya diakhiri dengan hilangnya wajah lucu temanku itu. Kutekan kunci layar, lalu kulempar smartphone-ku di kasur begitu saja. Entah, bagaimana aku menjelaskan ke Mbak Esti perihal Doni. Namun, aku nggak mau jika sampai ada sesuatu melukai dirinya. Akan kupikirkan cara lain untuk menjauhkan keduanya. Harus!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD