Penyebab Bencana

1161 Words
Di ujung mata, kulihat Bagus di samping yang seperti tengah melihat ke layar ponsel milikku. Tak ingin ia melihat chat dari Kakakku, segera kutarik ponsel dan menyimpannya dalam saku kembali. “Bukannya itu tadi chat dari Esti?” Kulirik dirinya setenang mungkin. Berharap ia tak khawatir dan bertanya lebih. “Iya, dia selamat. Sedang di hotel. Tak perlu cemas.” Bahunya bergerak naik turun, menghela napas. Seperti ada kelegaan di tiap embusan. “Setelah kita selesai dengan pendataan ini, langsung balik ke hotel saja. Nggak perlu ke sini lagi. Bahaya! Takutnya terjadi bencana susulan.” Aku hanya mengulas senyum. Sudah paham betul dengan pikirannya. Aku yakin ia ingin bisa berlama-lama dengan Mbak Esti. Ada sebersit rasa kasihan dengannya. Aku yakin, jika nanti mereka bertemu di hotel, Mbak Esti tak mungkin semanis tadi. Sebab tak akan ada paparazi di sana. Untuk apa ia berakting, jika bukan demi pencitraan? “Aww!!” Kami menoleh berbarengan, mendengar rintihan Fara di sebelah kiri kami. Terlihat ia mengernyit menahan betis kakinya yang sedang diobati seorang tenaga medis. Terlihat luka menganga di sana. Mungkin, terkena sesuatu saat tubuhnya hampir terseret angin tadi. Apalagi, ia memakai celana pendek, yang mungkin membuatnya lebih mudah tergores. Sementara Geisya terlihat cemas, memeluk bahu sahabatnya dengan memberi kalimat penyemangat. Bersama Lucky, yang juga tampak mengusap-usap kepala Fara dengan menyenderkan kepala gadis itu di bahunya. Hhh ... aku mendengus. Dasar buaya, bisa-bisanya ia mengambil kesempatan di tengah bencana seperti ini. Ponsel Bagus berdering nyaring, ketika jeritan beberapa anak kecil dan ibu-ibu sedang diurus para relawan. Aku melirik layar ponsel yang menampakkan wajah Bu Winda di sana. Perempuan memang seperti itu, insting keibuannya begitu kuat. Bagus tampak enggan untuk menerima panggilan. Hanya terdiam menatap Andoid dalam genggamannya. “Nggak diangkat, Gus?” Ia langsung menoleh seperti kaget. Tersenyum kecut. “Apa yang bakal kujawab, jika Mama tanya soal Kakakmu?” Dering telepon berhenti sejenak, beberapa detik setelahnya kembali terhubung. “Bu Winda bakal terus mengulang teleponnya, jika tak tahu kabar tentangmu. Begitulah ibu,” ucapku sok bijak. Bagus melihat orang-orang di depan kami yang antre untuk diobati, beberapa bersitegang dengan para relawan. Kudengar samar-samar ada yang tak terima dipisah dengan keluarganya. Yang lain menangis mencari anggota kelompoknya hilang. Begitu ramai, lebih ke kacau. “Lihatlah mereka, Al. Aku nggak mau Mama makin khawatir mendengar semua ini.” Aku mengangguk, mengerti posisinya. Kulirik lagi ponsel miliknya yang masih terus menyambungkan panggilan. “Kirimkan saja sebuah pesan bahwa kamu baik-baik saja. Beri beliau kabar dengan alasan yang logis.” Sedikit ragu ia memutar bola matanya. Lantas mantap mengetik beberapa kata dan mematikan ponselnya setelah itu. “Kenapa? Kalau seperti itu Bu Winda malah makin cemas, Gus.” Kepalaku menggeleng dengan sendirinya. “Sudah kukurimkan pesan, jika sinyal sedang buruk efek angin tadi.” Kini aku mengangguk, setuju dengan alasannya. “Hei ... kalian tak apa-apa?” Sebuah suara lembut di belakang, menolehkan kami bersama. Mbak Esti berdiri di sana, didampingi Doni dengan raut penuh cemas. Yang membuatku seketika geram, adalah rambut keduanya yang tampak basah. Bahkan tetes-tetes air masih mengucur pelan dari ujung rambut Mbak Esti, membasahi pakaian atasnya. Dari sudut mata, kulihat Bagus yang sama geramnya denganku. Namun, ia bukan lelaki yang terburu mengambil keputusan. Setenang mungkin, ia akan diam beberapa waktu untuk mencerna. “Kamu dari mana saja, Mbak. Kenapa bisa pisah dari kita, sih?” Aku yang selalu mementingkan ego, langsung menghujaninya dengan pertanyaan beruntun. “Mama juga telepon, khawatir dengan kita,” selorohku kesal dengan sedikit emosi, melirik Doni yang begitu tenang di sampingnya. “Doni yang nyelametin aku, Al. Kalo bukan karena dia, mungkin aku seperti kalian di sini.” “Tapi kamu nggak mikirin kita semua di sini. Padahal kita berangkat bareng-bareng. Harusnya kita tetap bersama. Seperti janjiku pada Mama.” Kuputar badan kesal, kembali menghadap para korban di depan yang riuh dengan masalahnya masing-masing. Mbak Esti berjalan melingkar di sampingku, lalu duduk di pinggir kursi sebelahku. Menatapku dengan wajah bersalah. “Maafkan aku. Bencana tadi terlalu tiba-tiba. Aku bahkan nggak ingat kenapa Doni bisa menyeret dan membawaku menjauh dari gulungan angin besar itu.” Kulirik ujungnya rambut basahnya yang masih meneteskan air. “Kenapa rambutmu bisa basah begini?” Ia memundurkan tubuh sedikit. Menyentuh dan menyibakkannya ke belakang. Tingkahnya jadi aneh, berbicara tergagap dengan pandangan mata yang tak fokus. Aku tahu betul dengannya. Jika sudah seperti itu, apa yang diucapkannya adalah kebohongan. “I-itu tadi, kena debu. Makanya pas sampe hotel aku langsung keramas.” Sebenarnya aku juga ingin menanyai Doni. Kenapa keduanya bisa berbasah-basah seperti ini berbarengan. Namun, Keberadaan Bagus di samping mengurungkan niatku. Ia bisa semakin kecil hati. Aku tak ingin melukai hatinya. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Bagus. Hanya diam melirikku dan Mbak Esti yang tepat berada di sebelahku. “Sudah selesai semua? Di hotel aman kan? Yuk balik!” Lucky menyudahi kecanggungan kami dengan berdiri memapah Fara di sampingnya. Kami semua mengangguk, turut berdiri dan mengikuti langkahnya yang lebih dulu beranjak. Aku memilih berada di barisan paling belakang. Tepat setelah Doni dan Mbak Esti. Saat baru beberapa jengkal kami melangkah. Sosok yang selalu mengikuti Doni tetiba membuatku tersentak. Aku berhenti seketika, menghadap wajah pucat di hadapanku yang menyungging sebelah. Perempuan berkebaya cokelat itu tampak mengerucutkan bibir, membentuk sikap seperti hendak meniup. Lehernya bergerak ke kiri dengan gerakan patah-patah. Lantas, mengembuskan sedikit napas, yang langsung menciptakan gulungan angin kecil di sana. “Jadi, kamu?” Sosok itu menolehkan kepala cepat padaku. Seiring dengan buyarnya angin kecil di sebelah kiriku. Aku menatapnya penuh geram, masih diam di tempat. Bagus yang sadar jika aku tak mengikuti jejak lainnya, menoleh ke belakang. “Kenapa, Al?” Seketika telunjukku menuding sosok yang kini menajamkan pandang padaku. “Dia penyebab semua ini.” Semua turut melihatku, tetapi tak mengerti maksud yang telah kukemukakan. “Dia siapa? Doni?” Mbak Esti mengikuti arah telunjukku yang menuju Doni, sebab sosok itu berada tepat di belakangnya. Aku menggeleng. Bahkan lupa jika hanya aku yang dapat melihat perempuan tak kasat mata itu. “Bukan! Wanita itu!” Lainnya melihatku dengan kening mengerut, seperti tak mengerti. Sementara sosok itu malah menyungging jemawa. “Wanita apa? Jangan ngaco kamu, Al!” Lucky yang berada beberapa meter di depan berbicara begitu lantang. “Kalian tak akan mengerti!” ucapku membela diri. “Apa kamu sudah nggak waras?” Mbak Esti kembali menyudutkanku. Aku mulai bingung. Posisiku sedang salah, dan mereka tak akan percaya begitu saja. “Jangan ngaco kamu, Al. Nggak ada wanita lain kecuali mereka bertiga.” Bagus turut bersuara. Aku mulai kesal, saat akan menjejak kembali, perempuan berkebaya itu lenyap meninggalkan. Aku berdecak. Tak mengerti lagi harus bagaimana. “Sudahlah, bencana yang terjadi hari ini adalah murni karena alam. Ingat, di pantai memang rawan terjadi angin kencang. Nggak ada hubungannya dengan manusia atau wanita apa yang kau maksud tadi.” Kembali Mbak Esti berasumsi. Kini semua melirikku sinis, seolah aku bagai orang gila tak berakal. Kembali memutar badan ke depan dan meneruskan langkah. “Aku takkan menyerah,” gumamku di belakang Doni.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD